Aku mengangguk mengiyakan. Masih ingat jelas waktu sekolah pesona Dewa bagaimana. Walaupun dia tidak pernah berpacaran. Aku cukup tahu banyak perempuan yang suka rela menjadi pacarnya. Tapi ditolak oleh Dewa.
"Gue juga baru beberapa kali ketemu sama Pet. Pertama kalinya pas lagi jalan sama Mas Ando. Ketemu di Mall sama Mas Dewa sama si Pet itu. Lagi makan. Yaudah diajak gabung. Terus setelahnya ketemu di mananya lupa gue. Dia juga follow instagram gue. Gue follback. Kebanyakan postingannya foto rame-rame bareng Mas Dewa."
Aku diam saja mendengar cerita Cindy. Entah kenapa aku penasaran akan sosok Pet. Dia terlihat misterius.
"Terus pas nikahan lo, kan dia ngobrol sama Mama. Gue cuma bentar doang waktu itu dengar. Dia kayak gak percaya gitu Mas Dewa udah nikah. Padahal baru kemarin mereka selesain gelar masternya. Dia gak tahu kalo Mas Dewa ternyata punya pacar. Soalnya Mas Dewa gak pernah cerita, katanya. Dia kira cuma dia aja perempuan yang deket sama Mas Dewa."
Aku mendengkus jengkel dalam hati. Tuh, kan. Bener apa yang aku pikirkan. Si Pet-Pet itu suka sama suamiku. Ish.
"Eh, tapi kenapa lo nanya si Pet itu?"
"Enggak apa-apa sih. Cuma penasaran aja. Pernah ketemu pas gue sama Mas Dewa siap beli cincin. Ya, gitu deh."
"Lo cemburu?" Cindy tersenyum jail ke arahku.
"Menurut lo?" tanyaku bete.
Cindy tertawa. Hampir saja Vanilla Latte nya menyembur ke arahku.
***
"Mas, nanti pulang jam berapa?"
Aku berjalan mendekat ke arah Dewa yang berdiri di depan cermin lemari sambil membawa dasi. Kemudian memasangkan ke lehernya.
"Biasa, jam empat. Kenapa? Kamu mau pergi?"
Aku berdeham, "aku mau ke rumah Tika. Bantu-bantu dia beres-beres buat acara tunangannya nanti malam."
Dewa mengangguk sambil mencium kening ku. Setelah selesai memasangkan dasinya, aku mengambil jasnya yang ku letakkan di tepi ranjang lalu kembali memasangkan ke tubuh tegapnya.
"Pulang jam berapa?" tanyanya.
"Jam lima lewat mungkin. Terus malamnya kita ke sana lagi. Mas gak sibuk, kan?"
Dewa menggeleng. "Kerjaan gak pernah Mas bawa pulang kecuali emang urgent." Lengannya sudah bertengger manis di pinggangku.
"Yaudah, awas aja kalo nanti malam tiba-tiba ada alasan yaa." Aku mengecup bibir Dewa sekilas, "ayo sarapan."
Dewa membalikkan tubuhku. Lengannya masih berada di sana. Hanya saja dia mendorongku berjalan sambil berpelukan.
"Mas lepas." Aku tertawa karena tingkahnya.
"Gak bisa lepas. Permanen ini, Sayang."
Aku mencubit lengannya dengan gemas. Dia tertawa sambil menggendongku ala bridal style yang membuatku terpekik kaget.
***
Aku dan Dewa dalam perjalanan ke rumah Tika. Jarak rumahnya dengan rumahku tidak terlalu jauh seperti rumah Amel ataupun Fia.
Perumahan kami hanya berbeda arah dari simpang tiga. Perumahanku sebelah kiri dari jalan raya. Sedangkan perumahan Tika di sebelah kanan.
"Yang ini?"
Aku mengangguk. Rumah orangtua Tika lebih mewah dari rumah orangtuaku. Ayahnya memang lebih kaya. Tidak heran kalau acara tunangannya semewah ini.
"Udah cantik belum, Mas?"
Dewa memeluk pinggangku posesif dengan satu tangannya. "Istri Mas selalu cantik. Bangun tidur aja cantik."
Aku terkekeh geli. "Gombal ih."