Aku melihat sekeliling ruangan yang dipenuhi sanak-saudara dari pihak Bunda. Sofa di sudut kanan ruang keluarga diduduki oleh bocah-bocah dari usia lima sampai enam tahun. Mereka saling tindih. Saling berlomba untuk memanjat ke atas sandaran sofa. Dimaklumi, namanya juga bocah.
Di karpet sebelah kanan ruangan ada adik dan kakak-kakak Bunda yang sedang duduk melingkar. Pastilah sedang bergosip ria. Ada yang suka membuka aib keluarganya. Ada yang suka membuka aib keluarga temannya. Dan masih banyak lagi bahan gosip dari mulut mereka.
Pandanganku terakhirku terpaku pada sosok wanita paruh baya yang lebih tua dari Bunda. Duduk sendirian di kursi kayu dekat jendela. Sama sekali tidak terganggu dengan kebisingan dari orang-orang di sekitarnya.
Aku masih ingat. Dulu dia juga turut andil dalam membelaku. Saat Oma dan dan anak perempuannya menyakitiku secara beruntun. Aku tidak membencinya karena ulah anaknya. Aku hanya kasihan. Wanita sebaik dia harus menanggung beban berat sendirian setelah suaminya meninggal sepuluh tahun silam.
"Tante mau minum?" sapa ku saat menghampirinya. Dia mendongak. Menatap tepat ke mata ku. Bibirnya menyunggingkan senyum keibuan sama persis seperti Bunda. Ya, wajar, dia kakak tertua Bunda. Tante Nina.
"Sini duduk," Dia menepuk ruang kosong di sebelahnya. Aku duduk sambil menghadap jendela.
"Tante melamun lagi?"
Dia tertawa, "hobi baru tante setelah kejadian memalukan itu, Nin."
Aku menghela napas pelan. "Seharusnya itu sudah bisa dilupakan, Tan. Nindi udah baik-baik aja. Tante juga harus baik-baik aja. Tante harus bahagia. Banyak yang sayang sama Tante."
Aku duduk menghadapnya. Memperhatikan wajahnya yang tidak lagi muda. Banyak keriput di sela-sela wajahnya. Tapi tidak mengurangi kecantikan yang terpahat di sana.
"Tan, Nindi sayang sama Tante. Tante sama kayak Bunda. Orang yang Nindi hormati. Nindi gak mau lihat Tante begini terus. Terima keadaan. Semuanya akan baik-baik aja."
Tante Nina tersenyum ke arahku. Tangan keriput nya menyentuh pipiku. Mengusapnya dengan sayang. "Bodoh mereka yang menyakiti kamu, Nin. Mereka benar-benar bodoh. Tante merasa gagal menjadi ibu. Tante merasa gagal menjadi anak. Dan tante juga merasa gagal menjadi tante yang sebenarnya buat kamu."
"Nindi udah terima semuanya, Tan. Sekarang Tante lihat kan? Nindi baik-baik aja. Nindi udah bahagia."
"Tante tahu. Tante bisa lihat semuanya di mata kamu. Sinar yang dulu pernah direnggut oleh Sissy dan Oma, kini Tante lihat sinar itu hadir lagi. Lebih terang dari sebelumnya. Terus seperti ini ya, Nak? Bahagia. Buktikan ke mereka, bahwa kamu bisa membangun bahagia tanpa campur tangan mereka."
Aku mengangguk tersenyum. "Sissy kenapa gak ikut, Tan?"
"Tante larang. Kalau dia masih punya malu sama kamu seharusnya ya begini. Dia gak usah menampakkan diri di depan kamu dan keluarga kamu."
"Jadi pas nikahan Nindi itu juga Tante larang?"
Tante Nina mengangguk. "Tante gak mau dia buat ulah di hari bahagia kamu, Sayang. Biarpun dia bilang sudah berubah dan mau minta maaf. Mau memperbaiki lagi hubungan kalian sebagai sepupu, tante gak bisa percaya gitu aja sama dia. Dia memang duplikat Oma. Licik."
***
"Hai,"
Aku tersenyum. Tanpa menoleh pun aku tahu siapa pemilik lengan kekar yang melingkar di tubuhku.
"Yakin kita nginap di sini, Mas?"
"Yakin. Kamu aja yang gak yakin. Kenapa, hm? Rumah Bunda loh ini."
"Nggak apa-apa. Cuma gak nyaman aja terlalu lama ketemu mereka."
"Besok pagi-pagi mereka udah pada balik kok. Sebelum kamu bangun."
Aku menghela napas. Cuaca benar-benar tidak mendukung untuk mereka kembali ke kota asalnya. Dan Bunda terlalu takut membiarkan keluarganya pulang dalam keadaan hujan badai begini.
Aku membalikkan badan. Mengalungkan kedua lenganku di leher Dewa. "Aku mau jujur."
Alis Dewa terangkat sebelah, tanda dia bertanya.
"Aku udah suka sama Mas sejak masih SMP."