Dewa mengernyit bingung. Aku mengelus alisnya yang berkerut. "Jangan kebanyakan mikir begini. Cepat keriput nanti. Gak enak banget istri masih seger gini suaminya udah tua."
Dewa tertawa, "tega ya kamu ngatain Mas tua."
Aku tersenyum. "Tua-tua gini aku sayang loh, Mas."
"Mas lebih sayang. Sayang banget." Dewa memicingkan mata menatapku. "Kamu serius suka sama Mas dari SMP? Masih ingusan kamu waktu itu. Udah berani-beraninya suka-sukaan. Sama orang ganteng lagi."
Aku mencubit pipinya gemas. "Pede, ya. Gantengan Bang Elang waktu itu. Sekarang aja Mas yang unggul."
Dewa kembali tertawa. Hidungnya mendusel-dusel pipiku. "Kalau tahu kamu juga suka, udah pacaran dari dulu kita, Sayang."
Aku terkekeh geli, "gimana mau pacaran. Mas kan dulu cuek banget. Kaku. Tiap bikin PR sama Cindy di rumah Mama, Mas tuh kayak gak suka ke aku. Tahunya Mas yang suka sama aku dari lama. Dari jaman merah putih, kan?" Dewa mengangguk di ceruk leher ku. "Jiwa pedofil sudah tertanam sejak lama," lanjutku.
"Ya gimana, diperlakuin beda takutnya kamu yang gak suka. Niatnya Mas mau bilang suka pas kamu udah masuk SMA. Eh, keburu Mas yang kuliah di luar negeri. Terus niat lagi mau bilang ke kamu pas Mas udah lulus kuliah. Kamunya waktu itu lagi deket sama laki-laki bodoh itu. Yaudah, keterusan di Jepang, sekalian mau nata hati waktu itu. Sakit hati soalnya lihat kamu makin cantik tapi pacar orang."
"Terus kenapa habis S2 balik ke sini? Kenapa gak kerja di sana?"
"Karena Mama cerita kamu putus dan gak jadi nikah sama si Doyon-Doyon itu. Kesempatan emas gak boleh di sia-siain."
"Dion namanya, Mas."
Aku tertawa mendengar Dewa dengan sengaja mengganti nama Dion dengan Doyon.
"Terserah. Yang penting Mas bahagia bisa milikin kamu seutuhnya. My wife."
***
Aku berjalan mondar-mandir di depan reseptionis. Padahal aku hanya ingin bertemu Dewa. Tapi kenapa harus ribet begini?
Lima menit aku berjalan seperti setrikaan, akhirnya Dewa tiba juga.
"Hei, kenapa?"
Aku segera memeluk Dewa. Rasanya lega setelah melihatnya di depan mataku. "Aku mau ke ruangan Mas. Tapi gak boleh naik ke atas," Aku melirik sinis perempuan dibalik meja reseptionis.
Dewa mengecup pelipisku sebelum berjalan mendekat ke karyawannya yang tidak sopan sama sekali.
Hell yeah!
Aku ini istrinya Dewa Anggara. Suamiku itu direktur sekaligus anak pemilik perusahaan ini. Berani-beraninya dia memperlakukan aku seperti tadi.
"Sinta, besok-besok kalau istri saya berkunjung langsung suruh ke atas saja. Jangan dibiarkan menunggu seperti ini."
Aku memicingkan mata tajam ke arah perempuan di depan ku. Tahu rasa, kan dia. Seenaknya mengusirku dari kantor mertuaku sendiri.
"Maaf, Pak Dewa. Saya tidak tahu kalau beliau istri Bapak," ucapnya sambil menunduk hormat. Kentara sekali dia takut melirikku.
"Besok saya bakal pampang poto saya besar-besar di lobi ini. Biar kamu gak main usir seenaknya."
"Sayang, udah. Ayo ke ruangan Mas." Dewa segera menggandeng tanganku menuju lift yang akan membawa kami ke ruangannya.