"Nginap sini dong, Mas. Aku masih pingin ngobrol sama Nindi,"
Aku memeluk Cindy sebentar kemudian beralih ke Mama Eka dan Bunda.
"Cuma jarak lima rumah dari sini, Dek. Gak usah lebay, kayak rumah kami itu di luar kota."
Mama Eka dan Bunda tertawa. Memang, Dewa sengaja membangun rumah yang berdekatan dengan rumah orangtua kami. Katanya, agar aku tidak kesepian kalau ditinggal kerja sama dia. Jadi bisa main ke rumah Bunda atau Mama.
Masalah rumah, aku sempat geleng-geleng kepala melihat rumah yang dibangun Dewa. Rumah Ayah sama Papa kalah jauh. Terlalu mewah dan megah menurutku. Tapi Dewa ya Dewa. Ada saja alasannya menjawab dumelanku saat itu.
"Kami pamit, Ma, Bun," ucap Dewa sambil menyalami keduanya. Ayah dan Papa sudah disalami tadi waktu mereka masih mengobrol di taman belakang. Dan kedua bapak-bapak itu masih betah di sana.
"Besok jadi mampir ke toko kue kan?"
Aku mengangguk saat Cindy bertanya. Setelahnya kami pamit.
***
"Besok Mas udah mulai kerja? Aku sendirian dong di rumah," keluhku.
Dewa baru saja keluar dari kamar mandi saat aku bertanya. Sedangkan aku sudah berselonjor sambil bersandar di kepala ranjang. Mataku mengikuti tiap gerak-gerik Dewa mulai dari dia membuka kaos dan melemparnya ke atas sofa, sampai dia bergabung denganku di atas ranjang.
"Iya, seharusnya kan minggu depan. Tapi Mas percepat. Biar akhir tahun bisa lowong waktunya buat honeymoon."
Aku memicingkan mata ke arahnya. "Kenapa gak seminggu ke depan aja kita honeymoon? Kan lumayan lama sih, Mas."
Dewa berbaring di atas pahaku. "Seminggu itu sebentar, Sayang. Akhir tahun bisa dua sampai tiga mingguan. Lebih puas."
"Alesan!"
Dewa terkekeh. "Ibadah gak?"
Aku mencubit pipinya sebelum memulai ritual malam kami.
***
Langit tampak cerah. Sudah sepuluh menit aku duduk di sudut cafe tempat aku dan para sahabatku biasa berkumpul.
Hari ini Risa mengajakku dan yang lainnya untuk menghabiskan waktu bersama. Dan sudah kuduga mereka akan ngaret seperti sekarang.
"Hai istrinya Dewa Anggara. Gak lama, kan?"
Sapaan pertama dari mulut Risa saat dia, Amel dan Tika bergabung di meja tempatku sekarang.
"Kenapa cuma bertiga? Fia mana?" tanyaku.
"Nyokap nya sakit lagi. Gak ada yang jagain. Bokap nya lagi ada kerjaan di luar kota dan nanti sore baru balik."
Aku mengangguk paham. "Habis dari sini ke tempat Fia?"
Mereka kompak mengangguk. Masih ku ingat terakhir ibu Fia masuk rumah sakit bertepatan dengan hari duka keluargaku. Saat Oma meninggal. Dan itu sudah dua bulan lebih.
Sesaat pembicaraan teralihkan saat Tika dengan hebohnya bercerita mengenai pacarnya yang akan melamar. Amel yang bersemangat bercerita mengenai putusnya dia dengan sang kekasih yang overprotectiv. Dan Risa yang antusias mengganggu keduanya dengan andai-andai yang belum tentu terjadi.
"Eh, Nin, laki lo udah tahu kita bakal pulang malem, kan? Soalnya mau ke tempat Fia pasti bakal lama di sana."
Aku mengangguk. "Ini baru gue sms Mas Dewa. Biar dia jemput di rumah Fia aja entar."
"Lah? Terus lo ke sini tadi naik apaan?" tanya Tika.
"Dianter."
"Duh, yang nikah yang nikah enak banget elah," cerocos Risa.
"Duh, yang jomlo yang jomlo iri aja elah."
Aku dan Tika terbahak mendengar balasan Amel untuk Risa.
"Kampret lo," kesal Risa
***
"Gimana hari pertama ngantor Pak Dewa?"
Dewa terkekeh mendengar pertanyaan ku. "Lumayan," jawabnya.
"Enak?"
"Lumayan melelahkan," ucapnya.
Aku tersenyum sambil mengelus punggung tangannya di tautan tanganku. Saat ini kami sedang dalam perjalanan pulang ke rumah dari rumah Fia.
"Kalau lelah seharusnya Mas gak usah jemput. Biar tadi Risa aja yang anter aku balik."
Dewa membawa genggaman tangan kami ke depan bibirnya. Mengecup lama dipunggung tanganku.
"Obat lelah Mas itu kamu."
Aku tersenyum. Perasaanku menghangat. Baru delapan hari aku menjadi istrinya. Tapi rasa nyaman di dekatnya seperti sudah bertahun-tahun menikah. Apa selama ini perasaanku buat Dewa belum sepenuhnya hilang? Apa move on ku selama enam tahun lebih itu sia-sia?