Suara dering ponsel mengganggu tidurku. Aku mencari benda pipih tersebut sambil meraba-raba kasur yang sedang ku tiduri. Tanpa melihat nama yang tertera dilayarnya, aku mengusap ikon hijau.
"Halo?"
[Nin, are you okay?"]
"Hmm."
["Lemes banget, Neng. Kumpul yok. Mumpung yang lain juga free. Minggu kemaren juga gak sempet kumpul. Ya ya ya?"]
"Jemput gue setengah jam lagi."
["Wokeh!"]
"Jangan ngaret!" Teriakku sebelum memutuskan sambungan telepon. Terdengar jelas kekehan di seberang sana. Dasar ratu ngaret!
Risa, salah satu sahabatku yang paling mengerti aku luar dan dalam. Pokoknya segala aib tentangku dia pasti tahu. Tidak heran sih, mengingat dia orang yang paling kepo di antara sahabatku yang lain. Tapi jangan salah, dia orang yang paling bisa dipercaya. Apapun cerita kalian ke dia, dijamin aman tidak terbeberkan.
***
"Mau ke mana, Kak?"
Terdengar suara bunda dari arah sofa di ruang tamu. Di sana juga ada adikku yang sedang asik menonton televisi, dan ayah yang sibuk dengan lembar bacaannya, koran.
Aku menghampiri bunda kemudian duduk di sebelahnya. "Mau kumpul sama temen, Bun. Kakak ijin, ya?" Bunda mengangguk tanda setuju.
"Pulangnya jangan kemalaman." Suara Ayah menyahuti.
"Kakak nginep di tempat Risa, Yah. Ada tugas kuliah juga," kataku. Ayah hanya diam dengan pandangan yang hanya tertuju pada koran yang sedang ia pegang. Aku memandang bunda, beliau tersenyum kemudian mengangguk.
Aku bangkit dari dudukku, menyalami kedua orangtuaku lalu sedikit menjaili adikku dengan menarik rambutnya hingga ia meringis. Masih baik kan aku? Tidak sampai membuatnya berteriak.
Aku mendengar suara klakson mobil di luar sana. Sepertinya ratu ngaret sudah tidak ngaret lagi. Baguslah.
Aku bergegas keluar dari rumah dan menghampiri mobil Risa kemudian masuk ke kursi penumpang di belakang. Dengan santai aku duduk berpangkukan tas kecilku.
"Jalan, Pak," ucapku.
"Anjir. Lo kira gue supir, hah? Buruan pindah depan!"
Astaga. Suaranya benar-benar merusak gendang telinga makhluk hidup di muka bumi. Aku hanya terkekeh kemudian pindah ke kursi penumpang di sebelah kemudi.
"Udah bisa senyum lo? Kemarin aja uring-uringan. Dasar lebay," cibirnya.
"Diem lo, bangsat. Gue turun nih!" kesalku. Tanpa pikir panjang Risa langsung menginjak gas mobilnya.
"Ambekan ih si Eneng," ejeknya. Aku hanya mendengkus. Dia memang pinter merusak moodku.
"Yang lain udah di TKP?" tanyaku saat kami berhenti di persimpangan dan lampu merah sedang menyala.
"Bahasa lo kampret banget. Berasa jadi agen apaan gue," ujar Risa.
"Agen cogan, maybe," sahutku. Kami pun sama-sama tertawa.
Satu lagi yang harus kalian ketahui. Risa ini sangat suka koleksi cogan alias cowok ganteng. Bukan untuk dijadiin pacar apalagi selingkuhan. Maksud koleksi di sini itu, dia suka milih-milih temen. Yang ganteng aja dijadiin temen. Giliran yang jelek mah amit-amit dia mau deket.
Kalau ditanya, emang Risa cantik banget sampai milih-milih segala?
Beuh, jangan salah ya. Di antara kami berlima, cuma Risa yang mukanya ke barat-baratan. Ditambah rambut pirangnya. Makin menekankan kesan kalau dia orang barat beneran. Padahal? Enggak sama sekali. Tampang Risa mah nipu.
Cantik? Sudah pasti. Kalau enggak cantik, mana berani dia koleksi cogan. Ya kali, orang jelek koleksi cogan. Gak punya kaca berarti.
"Gak mau turun lo?" suara Risa membuyarkan pikiranku tentangnya. Ternyata kami sudah sampai di sebuah cafe yang menjadi rumah kedua bagi kami sejak tiga tahun lalu. Tepatnya, saat kami baru mengenal dunia perkuliahan.
"Tiga cabe udah di dalem emang?" tanyaku. Ini kedua kalinya aku bertanya hal yang sama.
"Udah. Dari sejam yang lalu mereka di sini. Si Fia udah gak tahan katanya pengen ngisep."
"Dasar. Perokok ulung."
Kami berdua kembali tertawa mengingat bagaimana kalau Fia sudah terkena serangan 'pengen' nya itu.