Aku kira Mama Eka tidak mengetahui apa yang dilakukan Dewa padaku. Ternyata salah! Mama Eka melihat semuanya. Tapi membiarkan saja. Jangan tanya bagaimana mukaku saat ini. Rasanya aku lebih baik ditelan bumi hidup-hidup, daripada berhadapan seperti ini dengan Mama Eka.
Walaupun air mukanya tenang saja, aku tahu Mama Eka menahan sesuatu yang siap dilampiaskan kepada aku dan Dewa.
"Sejak kapan kalian. . ah, tidak, tidak. Maksud Mama, kalian ada hubungan khusus?" Pertanyaan Mama Eka sama sekali tidak membuatku mengangkat wajah.
"Tidak ada yang mau menjawab pertanyaan Mama? Dewa? Nindi?"
Terdengar Mama Eka menghembuskan napas kasar. Sepertinya beliau kesal dengan kebisuan yang terjadi di antara aku dan Dewa. Aish. Kenapa Dewa sama sekali tidak bersuara sih? Bukannya dia yang memulai semuanya? Dia yang lebih dulu menciumku. Dasar kurang ajar!
Sebenarnya aku ingin sekali mengatakan kalau itu ulah Dewa. Tapi aku bingung. Aku juga menikmati permainan bibir Dewa. Posisiku serba salah di sini.
"Baiklah. Sepertinya rencana Mama harus cepat dilaksanakan," ucap Mama Eka kemudian berlalu pergi meninggalkan aku dan Dewa yang duduk termangu. Tidak tahu harus berbuat apa.
Aku menoleh ke sebelah kananku, di mana Dewa duduk dengan santai sambil bersilang kaki. Ck. "Mas, kenapa gak jelasin ke Mama kalau itu cuma...," Dewa sudah berdiri dan hendak melangkah pergi sebelum ucapanku selesai.
What the hell!
"Mas!"
Aku jengkel melihat sikapnya yang seolah tidak terjadi hal apapun.
"Biarin aja Mama dengan pikirannya. Toh, kamu juga menikmatinya."
Astaga, bajingan sialan!
Setelah mengatakan itu, dia berlalu menuju kamarnya meninggalkan aku seorang diri duduk membeo seperti orang bodoh.
***
"Kenapa lo?"
"Gue lagi mikir, gimana caranya balas dendam ke Dewa?"
"Hah? Dewa? Yang tetangga lo itu, bukan?"
Aku mengangguk membenarkan ucapan Risa. Saat ini, aku dan Risa sedang duduk bersilah di atas karpet berbulu tebal di kamarku. Risa dengan dunianya -drama korea- dan aku dengan duniaku -berpikir untuk balas dendam kepada Dewa.
"Emang dia ngapain lo sih? Sampai segitunya."
"Dia nyium gue, Ris. Tanpa permisi. Kesel gue!"
"Sok polos lo. Biasanya juga yang begituan udah biasa sama lo. Apa kabar yang pacaran bertahun-tahun itu. Lebih dari itu malah lo pernah. Dasar," cibir Risa kepadaku.
"Anjir! Tapi jelas ya status gue begituan sama siapanya. Nah, ini? Baru juga ketemu lagi sejak beberapa tahun yang lalu, Riiiisss. Dan lo mau tahu apa yang lebih memalukan?"
Risa mengangguk semangat.
"Saat dia lagi enak-enaknya. Saat gue mulai menikmatinya. Nyokapnya dateng, dan yaaaahhh, tercyduk!"
Risa benar-benar terbahak hingga memegangi perutnya.
"Sumpah ya lo, sial banget," ujarnya disela-sela tawanya.
Kambing!
"Emang si Dewa itu gimana? Tampan kah? Baik kah? Bajingan kah?" tanya Risa sambil berusaha menormalkan suaranya dari sisa tawa.
"Mmm, tampan sih. Baik? Gak tahu juga gue. Ke Cindy sih dia baik. Jelas lah ya, adeknya. Bajingan? Kayaknya gak mungkin. Yang gue denger dari Cindy, jalan sama cewek aja dia gak pernah."
"Prince ice?"
Aku mengangguk. Kaku banget mah si Dewa. Dinginnya gak bisa di angetin pake pelukan deh.
"Terus, ciumannya gimana? Kaku kayak orangnya?"
"Ya enggak. Ciumannya enak. Bikin gue lupa lagi ciuman sama es. Lembut banget sentuhannya. Pokoknya. . aish, kenapa lo nanya ciumannya sih?"
"Terus kenapa lo jawab? Bodoh ih," Risa mencibirku.
"Tai lo,"
"Lo..." Ejekan yang akan keluar dari mulut Risa terhenti saat bunyi ketukan di pintu kamarku di iringi suara Bunda memanggil namaku.
"Ya, Bun?" teriakku menyahuti.
Pintu terbuka dan masuklah sosok Bunda. "Sibuk gak, Kak?"
Aku menggeleng. Kemudian Bunda duduk di tepi kasur sambil memperhatikan aku dan Risa bergantian.
"Kenapa, Bun?"
Bunda menggeleng sambil tersenyum. Senyum yang aku yakini ada makna tersembunyi dibaliknya.
"Yaudah, lanjut lagi ngobrolnya. Kalau lapar langsung ke bawah ya. Bunda udah masak banyak untuk kalian."
Aku dan Risa kompak mengangguk semangat.