Aku hanya mengangguk, kemudian berjalan menuju lemari di mana Bunda masih sibuk mencari kerudung merah yang ia maksud. Aku memeluk Bunda dari belakang. Aku benar-benar butuh asupan tenaga darinya.
Seolah tahu apa yang sedang menjadi bebanku, Bunda mengelus dan menepuk-nepuk kecil punggung tanganku yang melingkar diperutnya.
"Kakak mau liburan sama yang lain ke Lombok, Bun. Nginep di Villa nya Om Indra. Boleh ya?"
Bunda langsung membalikkan badan untuk menghadap ke arahku. Kemudian tangan halusnya yang sudah memiliki sedikit keriput itu menangkup wajahku.
"Boleh. Ke manapun Bunda kasih ijin. Asal Kakak gak murung lagi. Bunda gak mau Kakak kepikiran hal yang kemarin-kemarin itu. Bunda mau anak gadis Bunda yang cantik ini bahagia terus. Jangan nangis lagi. Kami semua sayang sama Kakak. Ayah, Bunda, Abang, Adek. Te Rini, Te Dini, Te Mira, Te Ina, Om David dan Om Indra. Mereka semua sayang sama Kakak. Kakak jangan berkecil hati. Masih banyak laki-laki di luaran sana yang rebutan pingin punya masa depan seperti Kakak. Lupain yang lalu ya, Kak? Berarti dia bukan jodoh Kakak. Ini jalan terbaik yang Tuhan kasih. Jangan salahkan takdir Kakak lagi. Semua anak Bunda punya takdir baik dan bagus. Kakak cantik. Sangat cantik malahan. Jangan minder cuma karena dia gak milih Kakak. Tuhan tahu mana yang terbaik buat makhluknya," kata Bunda sambil menatap lembut padaku.
Aku meleleh. Melelehkan air mata maksudnya. Bunda memang terbaik dalam memberikan nasehat untuk anak-anaknya.
"Tuh kan, Kakak nangis dengar pidato singkatnya Bunda," ucapku sambil menyeka air mata.
"Ululuuuu, sini peluk Bunda."
Dengan segera aku memeluk erat wanita terhebat di hidupku. Walaupun 'mereka' tidak memihakku, setidaknya masih ada keluarga kecil dan keluarga Ayah yang sayang padaku.
Aku tersenyum saat di pelukan Bunda. "Kakak sayang bunda. Tak terhingga," ucapku yang mengundang tawa Bunda.
"Bunda aja yang di sayang? Ayah enggak?" sahutan dari pintu kamarku mengalihkan perhatian aku dan Bunda.
Ayah melangkah masuk kemudian berdiri di belakangku. Aku melepaskan diri dari pelukan Bunda. Sekarang posisinya, aku berada di antara keduanya. Ayah membelai rambutku dengan sayang. Kemudian mencubit pipiku dengan gemas.
"Anak gadis Ayah kurusan. Jangan semuanya jadi pikiran. Ke mana Kakak mau pergi, silakan. Tapi ingat, di sini, di rumah ini, tetap tempat Kakak untuk pulang. Paham?"
Aku mengangguk antusias kemudian tersenyum. Aku memeluk Ayah dengan erat.
"Kakak sayang Ayah juga. Sayang banget."
Setidaknya aku beruntung memiliki orangtua seperti mereka. Yang selalu mengerti aku. Meski Ayah cenderung keras dalam mendidik kami. Tapi beliau orang yang paling anti melihat anak-anaknya tersakiti. Makanya pas malam itu, Ayah langsung....
Ah, sudahlah. Lupakan! Pokoknya aku sayang mereka, Tuhan.
"Ayo ke bawah, Yah, biarkan Kakak istirahat dulu. Itu kantung mata udah kayak panda. Gak tidur semalem ya?" tanya bunda membuatku tersenyum lebar.
Tidur sih, cuma tidak lama karena tugas kuliah benar-benar banyak yang harus dikerjakan tadi malam. Mana pulang dari kelab malamnya kelewat batas lagi. Alhasil tepar duluan dan kebangun karena inget tugas.
"Udah makan?" tanya Ayah kali ini saat beliau sudah mencapai ambang pintu kamarku.
"Udah, Yah," jawabku dan Ayah serta Bunda melangkah pergi setelah menutup pintu kamar.
Aku segera membaringkan diri dan memeluk guling. Ah, nyaman sekali. Aku akan tidur sebentar lalu turun ke bawah.