Menghabiskan waktu seharian di taman dengan keempat sahabatku membuat aku merasa sedikit lega. Meski liburan batal, gak masalah. Toh, masih ada mereka yang mampu untuk menghiburku di sini.
Setelah mengantarkan Fia kembali ke rumahnya, aku menyempatkan diri untuk mampir ke toko kue milik Cindy, tetanggaku. Aku ingin membeli kue kesukaan Bunda sebelum pulang ke rumah.
"Hai, Nin." Sapaan yang kudapat saat memasuki toko kue milik Cindy.
"Hai," balasku sambil tersenyum ramah menyamakan keramahannya saat menyapaku. "Eh, ada Mama juga di sini. Tumben," lanjutku saat wanita paruh baya yang seumuran Bunda datang menghampiri kami.
Aku dan Cindy adalah sahabat dari kecil. Rumah kami bersebelahan. Dulu kami satu SMA. Kami sering menghabiskan waktu bersama. Tapi semuanya sudah jarang kami lakukan sejak Cindy memilih merintis karir dengan berbisnis kue sambil melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi. Ia menjadi sibuk. Kadang pergi pagi pulang malam.
Di hari libur pun ia tidak pernah ada waktu kosong. Karena toko kuenya laris manis hingga sekarang, tidak pernah sepi pembeli. Sedangkan aku melanjutkan kuliah dan bertemu dengan empat sahabatku. Bersenang-senang, banyak waktu luang. Jarang sibuk seperti Cindy.
Walaupun jarang bertemu, tapi kami selalu menyempatkan diri untuk berkomunikasi melalui sosial media. Dan soal aku memanggil Mama Cindy dengan sebutan 'Mama' juga karena disuruh oleh orangnya.
"Hahaha iya, Nin. Mama lagi lowong jadi bantuin Cindy di toko. Kamu dari mana?" tanya Mama Eka sambil menggandeng lenganku mengelilingi etalase kue.
"Hati-hati, Nin. Mama kalo udah begitu pasti ada maunya," ucap Cindy sambil berlalu karena harus melayani pembeli yang baru saja memasuki toko.
Aku terkekeh mendengarnya. "Habis dari taman, Ma. Sama temen kuliah," jawabku.
"Udah dapet pengganti si brengsek itu belum?"
Aku kembali terkekeh geli. Mama Eka memang tahu semua yang terjadi pada keluargaku. Mengingat beliau dan Bunda adalah sahabat dari masa SMP dan mereka memang kompak janjian untuk membuat rumah yang bersebelahan.
Friendship goal banget.
"Belum, Ma. Mama ada calon gak buat Indi?" godaku sambil mencolek lengannya yang menggandeng lenganku. Ada kilatan bahagia di mata tuanya. Kenapa?
"Duh, kebetulan banget kalo gitu. Mama maunya kamu sama Dewa aja."
Wait!
Dewa?
Dewa anaknya Mama Eka?
Dewa abangnya Cindy?
Dewa?
Dewa?
Mas Dewa?
Pria sedingin musim salju itu? Gak! Mama Eka pasti bercanda. Aku mana mungkin bersanding dengan Dewa. Dia pria terdingin yang pernah kukenal.
Aku masih mengingat bagaimana dulu ekspresinya saat aku sering bermain dan menginap di rumah Cindy. Dewa selalu menatapku dengan pandangan tidak suka. Cih, dia kira aku menyukainya? No!
Astaga! Semoga saja aku salah dengar.
Mama Eka kadang kalau bercanda memang kelewat batas. Dan aku berharap ini juga candaannya untukku.
Aku hanya merespon ucapan Mama Eka dengan tawa kikuk. Lalu aku dan Mama Eka kembali mengelilingi etalase kue untuk memilih kue apa yang Ayah dan Adikku sukai. Karena kue untuk Bunda sudah aku dapatkan.
Sesekali Mama Eka akan bertanya tentang keseharianku di kampus. Apakah aku akan kuliah lebih lama lagi? Atau aku akan menyelesaikan studiku secepatnya?
Aku merasa nyaman dengan wanita sebaya Bunda ini. Mama Eka itu persis seperti Cindy yang lembut tapi kadang juga blak-blakan kalau tidak suka dengan seseorang.
"Makasih, Ma, Indi pamit dulu," ujarku.
Mama Eka mengangguk, "Jangan lupa besok," katanya membuatku terkekeh.