Ah, sialan.
Ternyata dia tidak memakai atasan apapun. Pakai singlet atau apa kek. Biar mata polos ini tidak ternoda.
Aku berdehem sedikit. "Mas, ini buburnya."
Jijik. Kenapa suaraku tiba-tiba melembut begini? Efek canggung kali ya?
"Sini," ujarnya serak.
Astaga. Suaranya kenapa terdengar seksi di telingaku?
Dengan canggung aku mendekat hingga berdiri tepat beberapa senti dari kasurnya. "Aku taruh di sini ya, Mas. Harus dimakan, pesan Mama."
Dia hanya berdeham saja menanggapi ucapanku. Dingin kan? Ck.
"Mas," panggilku saat melihat dia tidak ada pergerakan akan bangun dari posisi berbaringnya.
Aku duduk di tepi kasur sambil memperhatikan wajah tampan yang sudah ditumbuhi bulu-bulu halus di sekitar dagu dan rahang. Tanpa sadar tanganku terulur untuk menyentuhnya. Namun tidak jadi, karena tangannya lebih dulu menghentikan gerakan tanganku.
Dia memandangku dengan tatapan yang entah bagaimana. Apa dia marah? Tentu saja, Nin! Bodoh. Dia tidak suka jika disentuh sembarangan. Aku menarik tanganku yang digenggamnya, tapi tidak bisa.
Dewa kemudian duduk menyandar ke kepala ranjang. Tanganku masih belum di lepasnya.
"Mas," cicitku. Aku benar-benar gugup di tatap seperti ini.
"Sini," pintanya.
Aku mengerutkan kening. Maksudnya?
"Nampannya. Sini," lanjutnya. Tuh kan, irit ngomong juga.
"Lepas dulu makanya, gimana mau ngambil," ucapku berusaha terlihat biasa saja walaupun jantungku berdegup tidak beraturan. Genggaman tangannya kuat tapi tidak menyakiti.
"Mangkuk buburnya aja siniin," ujarnya keras kepala.
Aku memutar bola mata kesal. Ini maksudnya apaan coba? Kenapa dia tidak mau melepaskan tanganku? Kelewat lembut kali ya kulit tanganku, makanya di pegang mulu.
Aku mengambil mangkuk bubur dengan tangan kiri, karena yang digenggamnya adalah tangan kanan. Aku menyodorkan mangkuk ke arahnya.
"Suap," katanya lagi.
Astaga. Apalagi ini? Kenapa dia menjadi manja begini? Kan hamba jadi meleleh, Tuhan.
"Suap pake kaki?" tanyaku sinis. Dia berdecak kemudian melepaskan tanganku.
Satu suapan mulai masuk ke mulutnya. Sebenarnya jika hanya menyuapkan saja aku biasa saja. Karena aku juga sering menyuapkan Abangku kalau ia sedang jatuh sakit. Tapi masalahnya bukan itu. Matanya. Kenapa mata Dewa selalu menatapku begitu? Ada yang aneh dari wajahku?
"Hambar," komentarnya saat suapan kedua masuk ke mulutnya. Namun pada suapan ketiga dia menggeleng. Hanya dua sendok? Mana kenyang!
"Lagi, Mas. Biar ada tenaga," ujarku berusaha menyendokkan bubur ke mulutnya.
"Gak enak," keluhnya sambil menolak suapanku.
"Gak mungkin. Bubur buatan Mama yang paling enak," ungkapku.
Karena memang benar. Saat aku sakit saja pasti bubur buatan Mama Eka yang aku inginkan.
"Coba aja," suruhnya.
Aku coba mencicipi bubur yang sudah aku sendok agar masuk ke dalam mulutku. Enak. Gak hambar.
"En...." Ucapanku terputus saat benda kenyal menyentuh bibirku. Astaga, dia menciumku?
Dewa menciumku?
Dewa?
Tidak-tidak!
Bukan mencium, tapi dia sudah melumatnya. Mencecapi setiap inci bibirku. Aku mendorong pelan dadanya. Tapi dia tidak berhenti juga. Dewa malah memperdalam ciumannya sambil menahan tanganku di dadanya.
Astaga, degupan jantungnya persis dengan jantungku.
"Ini, baru enak." Aku masih diam membatu.
"Gimana, Nin?" Suara Mama Eka mengagetkanku.