Suara berisik dari arah dapur seolah sudah menjadi suasana baru didalam kediaman Abraham. Alena selalu menghabiskan waktunya disana hanya untuk memasak sarapan, makan siang, dan makan malam. Meskipun ada banyak pelayan disana, namun dia tidak bisa menahan diri untuk memasak makanan bagian keluarga kecilnya.
Sudah sebulan lebih Alena menjadi bagian dari keluarga Abraham. Menjadi seorang istri dan juga Ibu secara bersamaan. Kadang tingkah Ben dan Robin memang tidak ada bedanya. Jika Robin bersikap manja karena usianya, maka Ben bersikap manja untuk menarik perhatian istrinya. Sering kali Ben merajuk saat Alena lebih memilih tidur bersama putranya, dan Alena kembali harus mengalah menuruti keinginan suaminya. Dia terpaksa meninggalkan Robin yang sudah terlelap, lalu kembali kekamarnya.
Selesai dengan kegiatan memasaknya, Alena kini beralih kearah meja makan untuk menata menu makan siang untuk keluarganya. Hari ini dia tidak menjemput Robin, karena putranya itu akan pulang bersama sang Ayah.
Alena baru saja mencuci tangannya, saat tiba-tiba mendengar langkah kaki yang menuju kearahnya. Alena membalikkan tubuhnya yang langsung disambut Robin dengan pelukan erat dikakinya.
"Robin sayang, kau sudah pulang?" Alena berjongkok sambil mengusap wajah berpeluh putranya.
Robin menganggukan kepala, lalu kembali memeluk Alena. Menenggelamkan wajahnya pada bahu Mommynya. Alena tersenyum sambil membalas pelukan Robin, mengusap punggung putranya dengan pelan lalu menggendongnya untuk menuju kamar.
"Mommy akan membantumu berganti pakaian, setelah itu kita makan siang bersama." Ucap Alena masih dengan menggendong tubuh mungil sang putra. "Zemi, tolong buatkan jus jeruk untuk Robin dan juga kopi untuk Ben!" Pinta Alena pada salah satu pelayan yang ada disampingnya.
"Baik, Nyonya." Balas Zemi yang langsung mengerjakan tugasnya.
Alena berjalan meninggalkan dapur, dan mulai menaiki satu per satu anak tangga yang akan membawanya menuju kamar sang putra. Dia memasuki kamar Robin, dan mendudukan putranya ditepian ranjang.
Alena menatap sekilas pada wajah putranya yang terlihat lemas, lalu mengusap pipi Robin dan bertanya, "Apa kau sakit, Robin? Kanapa wajahmu terlihat murung begitu?"
Robin mendongak menatap wajah cantik Mommynya, lalu tersenyum dan menjawab, "Aku baik-baik saja, Mommy. Aku hanya lapar."
"Baiklah. Ganti pakaianmu terlebih dahulu, lalu turun untuk makan siang!" Mengelus kepala Robin, lalu berjalan kearah lemari untuk mengambilkam pakaian ganti Robin.
Selesai memberikan pakaiannya kepada Robin, Alena keluar dari kamar sang putra dan berjalan kembali menuju dapur. Disana dia sudah melihat keberadaan Ben yang duduk santai pada salah satu kursi yang tersedia. Suaminya itu tampak sedang mengutak-atik ponselnya, dan mengacuhka kehadirannya. Dia menghampiri suaminya, dan mendudukan diri disampingnya.
"Kau sudah lapar? Ingin makan sesuatu?" Tanya Alena menatap kearah suaminya.
Ben mendongakkan kepalanya untuk menatap kearah Alena. Dia menatap istrinya dengan mata tajam seperti biasa, sorot mata yang selalu membaut nyali Alena menciut.
"Buatkan aku kopi!" Perintah Ben dengan nada tak terbantahkan.
Alena mengerutkan keningnya, menatap pada cangkir kopi yang sudah ada dihadapan suaminya. Cangkir kopi yang tampak penuh dan belum tersentuh. "Kopimu sudah ada dihadapanmu, Ben!" Ucap Alena merujuk pada cangkir kopi yang ada dihadapan suaminya.
"Aku ingin kopi buatanmu, Alen! Bukan buatan Zemi!" Tolak Ben dengan ketegasannya.
Alena menggelangkan kepalanya, seolah sudah terbiasa dengan tingkah kekanakan suaminya. Dia membawa cangkir kopi tersebut kembali kedapur, meminta Zemi untuk mengantarkannya kepada Alex yang tengah duduk santai dihalaman depan. Lalu dia mulai membuatkan kopi sesuai permintaan suaminya.
Selesai membuatkan kopi untuk suaminya, Alena kembali kemeja makan dan meletakan kopi buatannya dihadapan Ben. Tepat saat itu pula, Robin sudah turun dari kamarnya dan mengambil duduk disamping Alena.
Mata Robin tampak berbinar saat melihat banyak makanan ditengah meja. Beberapa adalah makanan favoritenya yang sejak kamarin dia minta kepada Alena, dan Mommynya itu benar-benar memasakkan menu makanan sesuai seleranya.
"Kau ingin makan yang mana dulu, Robin?" Tanya Alena saat melihat putranya itu menatap masakannya dengan penuh minat.
"Aku ingin chicken wing, Mommy." Jawab Robin.
"Baiklah. Mommy akan mengambilkannya untukmu." Mengambil piring milik sang putra, lalu mengisinya dengan chicken wing buatannya.
"Terimakasih, Mommy." Ucap Robin mengambil alih kembali piring makanannya.
"Kau ingin makan apa, Ben?" Alena beralih kepada suaminya. Dia memang memasak banyak sekali menu makanan western siang ini. Dari mulai steak, pasta, chicken wing, dan juga cream soup.
"Hemm? Aku ingin steak saja, Alen." Jawab Ben.
Alena pun melakukan hal yang sama kepada suaminya. Mengambil alih piring dan mengisinya dengan sepotong daging steak sesuai keinginan Ben.
Mereka makan siang dalam diam. Robin tampak antusias menghabiskan chicken wing yang ada diatas piringnya. Sedangkan Ben tampak sibuk memotong daging steaknya. Dan Alena memakan cream soupnya dengan tenang. Makan didalam piring Robin habis lebih dahulu, lalu dia menambahkan lagi pasta kedalam piringnya. Dia tampak makan dengan lahap, dan membuat Alena tersenyum bahagia.
"Masakan Mommy memang benar-benar enak." Puji Robin dengan mulut penuh pasta.
"Jangan makan terlalu banyak, Robin! Nanti perutmu sakit." Tutur Ben setelah menyudahi makan siangnya. "Aku harus kembali kekantor, Alen. Pekerjaanku sudah menunggu." Mengelap mulutnya dengan selembar tisue, lalu mulai bangun dari posisi duduknya.
Ben menghampiri Alena, mengecup keningnya cukup lama. Setelahnya berganti kepada sang putra. Dia berjalan keluar rumah, diikuti Alena yang mengantar keberangkatannya hingga pintu depan. Ben memasuki mobilnya, menyalakan mesin hingga mobil itu melaju untuk kembali kekantor.
Alena kembali memasuki rumahnya, dan melihat Robin berlari menaiki tangga untuk menuju kamarnya. Cepat sekali putranya itu menyelesaikan makan siangnya. Dia pun kembali kedapur untuk membantu Zemi membersihkan meja makan.
**
"Sialan kau, Ben! Kau sudah menyetujui penawaran dariku, tapi kau tetap tidak mau menjawab panggilan telepoku." Kesal Elena membanting ponselnya diatas ranjang.
Sudah beberapa hari ini dia mencoba menghubungi Ben, namun pria itu tak satu pun menjawab panggilan darinya. Hal itu tentu saja membuat Elena geram. Dia pasti akan menemui Ben nanti, untuk menagih janji yang sudah mereka berdua sepakati.
Elena berjalan keluar dari dalam kamarnya. Menuruni anak tangga untuk menuju halaman belakang rumahnya. Tepat saat dirinya hendak berbelok menuju halaman belakang, samar-samar dia mendengar suara suaminya. Dia mengintip sebentar dari arah tempatnya. Dan benar saja, suaminya itu tengah berbincang dengan seseorang melalui sambungan teleponnya.
"Iya, Ma. Gion masih berusaha menemukan Gisella." ---
"Mama tidak perlu datang kemari! Biar Gion saja yang mengurus semuanya." ---
"Iya. Gion akan mengabari Mama secepatnya." ---
Seperti itulah pembicaraan sepihak yang terdengar oleh Elena. Suaminya itu tampaknya sedang berbincang dengan Ibu mertuanya. Mereka pasti sedang membahas tentang adik Gion yang sudah lama menghilang.
Berulang kali Elena menjelaskan jika usaha suaminya itu akan sia-sia. Namun ucapannya itu tak pernah didengar, sehingga menimbulakan perdebatan didalam rumah tangga mereka. Elena berdecak kesal, lalu memilih untuk kembali kedalam kamarnya saja. Dia malas jika nanti bertemu dengan Gion dan memulai kembali perdebatan diantara keduanya.
**
Ben baru saja memberhentikan mobilnya dipekarangan depan rumah. Dia lalu keluar dari dalam mobil, dan memasuki rumah. Tampak beberapa pelayan yang sedang membersihakn ruang tamu dan ruang tengah. Namun Ben mengacuhkan keberadaan mereka dan justru terus melangkah kearah kamarnya.
Kamar yang dia masuki tampak sunyi tak berpenghuni. Istrinya itu pasti tengah menemani sang putra bermain dikamarnya. Selalu saja begitu, dia harus merengek dahulu untuk mendapatkan perhatian dari istrinya. Berebut perhatian Alena dengan sang putra seolah menjadi kebiasaan baru baginya.
Melepaskan dasi dan juga kemejanya, Ben lalu berjalan kearah kamar mandi untuk membersihkan diri. Selang beberapa menit saja, dia sudah keluar dari sana dan mulai mengenakan pakaiannya. Dia berjalan keluar kamar untuk menuju kamar putranya. Dia akan membawa kabur Alena dari sana, dan menguncinya dikamar mereka. Mungkin dengan begitu dia bisa menghabiskan waktu berdua saja dengan istrinya.
Ben membuka pelan pintu kamar Robin, lalu mengintip sedikit dari cela pintu. Dia melihat Alena tengah membatu Robin mewarnai gambarannya. Putranya itu memang suka sekali menggambar, dan hampir setiap minggu dia meminta untuk dibelikan caryon baru.
Membuka lebar pintu kamar putranya, dan melangkahkan kaki untuk masuk kedalam. Ben kini sudah berdiri diatara Robin dan juga Alena yang tampak masih sibuk dengan gambarnya.
"Kenapa kau masih disini, Alen? Tidak tahukah kau jika ini adalah waktuku untuk bersamamu?" Ucap Ben dengan nada tingginya.
Memberhentikan aktivitas menggambarnya, lalu mendongakkan kepala. Alena bisa melihat dengan jelas raut wajah suaminya yang tampak sedang menahan amarah. "Tapi ini belum selesai, Ben! Bolehkah aku disini dulu? Sebentar saja, nanti aku akan menyusulmu." Pinta Alena menunjukkan wajah manisnya.
Wajah manis yang ditunjukkannya tampak tidak berguna. Sebab saat ini Ben justru terlihat sangat marah. Dia menarik pergelangan tangan Alena hingga istrinya itu berdiri dari posisinya. Ben hendak melangkan pergi dengan menarik tangan istrinya. Namun tarikan dibawah kakinya, menahan Ben untuk melanjutkan langkahnya.
"Biarkan Mommy disini, Daddy! Mommy sedang membantuku menyelesaikan gambar baru." Ucap Robin dengan wajah memohonnya.
"Tidak Robin! Daddy akan memanggilkan Finesia untuk membantumu." Menarik tangan Alena untuk keluar dari dalam kamar sang putra.
Mereka kini sudah berada didalam kamarnya sendiri. Ben menyentak tangan Alena, lalu mengunci pintu kamarnya. Dia berjalan mendekati istrinya dengan menunjukan seringai kemenangannya. Dia merasa puas bisa berhasil membawa Alena keluar dari kamar putranya, lalu mengunci diri bersama disini.
Alena menelan ludah susah payah saat melihat Ben berjalan menghampirinya dengan melucuti pakaiannya sendiri. Dia mengerutkan keningnya, sambil melangkah mundur menghindari suaminya. Dia yakin jika suaminya itu akan berulah lagi. Padahal hampir setiap malam mereka melakukannya, dan Ben seolah merasa tidak puas dengan semuanya. Karena setelah mendapatkannya, dia pasti akan meminta lagi dan lagi.
TO BE CONTINUED.