Chereads / BEN ABRAHAM / Chapter 18 - 18. Kenyamanan

Chapter 18 - 18. Kenyamanan

Seusai menjalani meeting dengan beberapa kliennya, Ben memutuskan untuk kembali ke kantornya. Dia akan menuntaskan beberapa pekerjaan yang belum tersentuh olehnya, agar dia bisa secepatnya pulang ke rumah.

Ben memanglah orang yang giat dalam bekerja, selalu menuntaskan pekerjaannya tepat waktu. Mungkin itu juga yang membuat perusahaannya berkembang pesat seperti saat ini. Dia selalu menekankan kepada karyawannya untuk selalu disiplin dalam bekerja, karena kedisiplinan adalah sebuah kunci menuju kesuksesan.

Banyak yang melihat Ben sebagai seseorang yang arogan dalam berbisnis. Tetapi bagi para karyawannya, Ben adalah sosok tauladan yang paling mereka hormati. Dari Ben mereka belajar banyak hal tentang artinya loyalitas dan kedisiplinan. Hal yang membuat mereka bertahan dalam kesetian dan tanggung jawab untuk mengabdikan diri pada perusahan Ben.

Setibanya di kantor, Ben langsung menuju ruangannya. Duduk dibalik meja kebesarannya, sambil menekuri beberapa berkas penting untuk kelangsungan perusahaannya. Banyak proposal pengajuan kerja sama yang ditujukan untuk perusahaannya. Namun Ben tetap harus menyeleksinya, dia tidak mau tertipu lagi. Pengalaman mengajarkan dirinya untuk selalu berhati-hati dalam memilih rekan berbisnis. Hal serupa tidak perlu terulang kembali, agar dia tak mengalami kerugian untuk kedu kali.

Waktu sudah semakin sore. Dan berkas yang tadinya menggunung kini sudah lenyap satu per satu, berpindah tempat menuju meja sekertaris didepan sana. Ya, pekerjaan Ben memang sudah selesai. Namun besok pagi dia harus kembali menjalani aktifitas yang sama.

Ben mematikan komputernya, lalu memakai kembali jas kerja yang tadi dia letakkan pada sandaran kursi. Menyambar kunci mobi yang ada didalam laci, lalu berjalan keluar dari ruangannya. Dia sempat menyapa sekilas Betty yang tampak masih sibuk menata berkasnya tadi, sebelum dirinya menghilang dari balik pintu lift yang tertutup rapat.

Mobil yang dikendarainya kini mulai melaju kencang membelah jalanan padat Ibu kota. Deretan mobil berbaris seolah sudah menjadi pemandangan yang biasa dilihatnya saat hendak menuju rumah. Dan ketika ingatannya menangkap bayangan keceriaan Robin dan Alena saat menyambutnya pulang, dia kembali bersemangat dan ingin segera sampai.

Tak butuh waktu lama, mobilnya kini sudah berhenti tepat di halaman rumah. Ben berjalan cepat untuk masuk kedalam rumah, tidak sabar untuk melihat secara langsung keceriaan istri dan anaknya.

"Zemi, dimana Robin dan Alena?" Tanya Ben pada wanita paruh baya yang merupakan salah satu pelayan dirumahnya.

Memang saat memasuki rumah tadi, Ben tak menemukan sosok Alena. Istrinya itu tidak ada diruang tengah maupun area dapur. Padahal biasanya saat Ben pulang, Alena tampak sibuk didalam dapur untuk memasak makan malam bagi keluarganya. Istrinya itu memang selalu suka melakukan pekerjaan rumah. Dari mulai memasak, membersihkan rumah, dan mencuci pakaian. Padahal didalam rumah ini sudah tersedia beberapa pelayan yang selalu siap mengurus dirinya. Namun Alena tetap bersikeras untuk melakukannya sendiri, dia tidak ingin selalu merepotkan orang lain untuk melakukan pekerjaan yang mudah.

Awalnya Ben menolak keras keinginan istrinya itu. Namun saat Alena merajuk, dia terpaksa menyetujuinya. Tetapi hanya untuk memasak saja, sebab dia tidak ingin melihat istrinya kelelahan karena terlalu sibuk membersihkan rumah.

"Nyonya ada di kamar Tuan muda, Tuan." Jawab Zemi menoleh sekilas pada majikannya, lalu kembali sibuk pada tumpukan piring yang ada dihadapannya.

Ben melangkah lebar menuju kamar sang putra. Merasa tidak sabar untuk bertemu dengan istri dan anaknya. "Alen, Rob....bin." Teriak Ben yang diakhiri suara pelannya karena melihat isyarat yang ditunjukkan oleh Alena.

"Sstttt... pelankan suaramu Ben! Robin baru saja tidur." Menempelkan jari telunjuknya pada bibir, lalu menarik selimut sebatas pinggang sang putra.

Ben menghela nasaf lega, lalu menatap kearah Alena yang tampak berjalan menghampiri dirinya. "Apakah Dia sudah baikan?" Tanya Ben dengan suara yang dibuat sepelan mungkin.

Alen tersenyum melihat ekspresi dan juga nada bicara Ben yang tidak seperti biasanya. Ben yang biasanya selalu berteriak dan marah-marah, kini berubah menjadi manis saat mempertanyakan kondisi putranya. Dia tidak ingin menganggu putranya yang baru terlelap, terlebih saat ini Robin dalam kondisi kurang sehat sehingga membutuhkan banyak istirahat.

"Demamnya sudah turun, Ben. Tadi dia sempat menolak untuk minum obat, dia selalu beralasan jika obatnya pahit dan tidak enak. Tetapi setelah aku membujuknya dengan janji akan mengajaknya pergi jalan-jalan, dia jadi mau untuk meminum obatnya secara rutin." Jelas Alena memaparkan kondisi putra mereka. Bagaimana cara Robin yang selalu beralasan saat harus meminum obat, dan bagaimana cara yang dilakukannya hingga bisa membujuk sang putra.

"Dia memang selalu susah jika diminta untuk meminum obat. Bahkan aku harus memarahinya terlebih dahulu, agar dia mau meminum obatnya." Ben menatap senduh pada wajah damai putranya yang terlelap itu. Terlebih saat dia harus mengingat masa lalu. Saat dimana Robin tengah sakit, dan dia selalu marah-marah karena sang putra tidak mau meminum obatnya.

Alena mengelus pelan bahu suaminya. Mencoba memahami suasana hati Ben yang berubah menjadi sebuah ketakutan. Suaminya itu pasti sangat mencemaskan kondisi putra mereka, dan mengingat masa lalu itu hanya akan kembali membuatnya semakin terluka.

Selama 5 tahun ini Ben membesarkan Robin seorang diri. Menjadi orang tua tunggal bagi putra semata wayangnya. Sangat tidak mudah bagi seorang pria untuk melakukan semu itu. Dia harus bekerja untuk kelangsungan hidupnya, sekaligus merawat dan membesarkan sang putra. Maka tak heran jika dulu Alena melihat Ben sebagai seorang pria yang kejam dan kasar. Mungkin keadaan yang membuatnya bersikap seperti itu. Dia ingin putranya itu patuh dan menuruti segala ucapannya. Karena selama ini dia sudah cukup lelah untuk menjalankan tugas ganda sebagai seorang Ayah sekaligus Ibu bagi putranya.

"Kau pasti lelah. Ayo ku antar kau ke kamar!" Mengambil alih tas yang ada ditangan suaminya, lalu mengamit lengan Ben dan membawanya menuju kamar mereka.

Mereka kini sudah ada didalam kamar. Alena meletakkan tas suaminya diatas soffa dekat meja riasnya. Sedangkan Ben kini tampak terduduk lemas ditepian ranjang.

"Kau ingin mandi? Aku akan siapkan air untukmu." Menawarkan bantuan untuk suaminya, lalu berjalan memasuki kamar mandi untuk menyiapkan kebutuhan sang suami.

Baru saja langkah kakinya memasuki perbatasan pintu kamar mandi, namun tubuhnya kembali berbalik dan menabrak dada keras Ben yang kini berdiri dihadapannya. Ben menarik tangannya, dan kini suaminya itu tengah memeluknya dengan begitu erat.

"Ada apa Ben?" Tanya Alena membalas pelukan suaminya.

"Terimakasih Alen, terimakasih sudah mau menjaga Robin untukku." Ucap Ben dengan nada suara lembutnya. Ben benar-benar bukan seperti Ben yang biasanya. Dia kini tampak manis dengan segala perubahan sikapnya.

"Tidak perlu berterimakasih, Ben. Ini sudah tugasku sebagai Ibunya." Jawab Alena masih memeluk tubuh suaminya.

"Andai saja aku bertemu denganmu sejak dulu, Alen." Gumam Ben ditengah pelukanya. Gumaman pelan yang masih bisa terdengar oleh telinga Alena.

**

Beberapa boneka yang tergeletak dilantai kamar seolah tidak bisa membuat tawa gadis kecil itu kembali ada. Dia merindukan Ibunya, rindu juga dengan suasana hangat sebuah keluarga.

"Olfi, kenapa kamarmu berantakan seperti ini sayang?" Tanya sebuah suara yang tidak lain adalah Ayahnya.

"Aku bosan bermain Daddy, jadi ku biarkan saja begini." Jawab gadis kecil itu dengan mengerucutkan bibirnya.

Gion yang merasa gemas dengan wajah lucu putrinya, kini berjalan menghampirinya dan langsung membawa tubuh kecil Olfi kedalam gendongannya.

"Princessnya Daddy sedang bosan bermain? Emmm.. bagaimana kalau kita membeli ice cream saja?" Tawaran Gion membawa kembali senyum ceria yang biasanya terpatri pada wajah lugu sang putri.

Olfi tersenyum senang, lalu dengan antusianya dia menjawab, "Aku mau Daddy. Aku mau ice cream dengan rasa strawberry."

"Kau ingin ice cream dengan rasa strawberry? Baiklah, Daddy akan membelikan satu untukmu. Sekarang kita harus pergi untuk membelinya."

Olfi mengangguk cepat. Lalu saat menyadari jika ada salah satu anggota keluarganya yang tidak ikut bersama mereka, dia kembali melontarkan pertanyaannya, "Kemana Mommy, Daddy? Apakah kita tidak akan mengajaknya untuk makan ice cream bersama?"

TO BE CONTINUED.