Senja telah tiba, menampakan warna jingga pada langit diatas sana. Ben baru saja datang dan langsung memarkirkan mobilnya dihalam rumah. Dia bergegas masuk kedalam dengan kekotak pizza pesanan sang putra. Dia yakin jika Robin pasti sangat senang menerima pizza dati Daddynya.
Berlari menaiki anak tangga, lalu berjalan menuju kamar sang putra. Dia bahkan tidak berfikir untuk menganti pakaiannya terlebih dahulu, yang ada difikirannya saat ini hanyalah istri dan anaknya.
Ben tidak bisa bekerja dengan serius hari ini. Pertengkarannya dengan Alena selalu saja memenuhi fikirannya. Dia menyesal sekaligus merasa bersalah akan tindakannya kemarin. Dia tidak pernah bermaksud melukai Alena, apalagi menganggap istrinya hanyalah sebuah objek untuk menuntaskan kebutuhannya. Ben tidak pernah sesikit pun berfikiran seperti itu. Dia tertarik kepada Alena, karena wanita itu adalah sosok yang baik dan tepat untuk menjadi Ibu penganti bagi putranya.
Hati Ben sempat teriris, saat mendengar penuturan istrinya yang berkata jika dia ingin dianggap sebagai pengasu Robin saja. Ben tidak setega itu. Dia mencintai Alena, hanya saja dia belum menyadari segalanya. Mungkin jika Alena pergi, barulah dia merasakannya.
"Mommy mual? Apakah Mommy tertular penyakitku?" Terdengar suara Robin, saat Ben baru saja membuka pintu kamar sang putra.
"Mommy tidak apa, sayang. Mommy baik-baik saja." Jawab Alena mengelus kepala sang putra. Keduanya kini tampak baru saja keluar dari arah kamar mandi, sambil berpegangan tangan.
"Tapi Mommy muntah. Apakah Mommy juga pusing?"
"Tidak sayang, Mommy baik-baik saja." Alena kembali memberikan penjelasan kepada sang putra. Dia memang tidak sedang sakit, dia hanya sedang mengandung.
Ya. Sesaat setelah Ben pergi menuju kantornya tadi, Alena merasakan mual yang teramat dalam. Dia sempat muntah beberapa kali, dan merasa jika tubuhnya sangat lemas. Ketika dia mengechek periode bulananya, ternyata memang terlambat selama dua minggu.
Tidak ingin hanya menduga-duga saja, akhirnya Alena pergi ke apotik untuk membeli alat tas kehamilan. Dan benar saja, terdapat dua garis merah disana. Dia sempat shock akan fakta ini. Dia belum siap mengandung, dia tahu betul jika Ben tidak mencintainya. Dan hal itu membuatnya takut. Dia takut jika Ben tak menerima kehadiran buah cinta mereka, dan memaksanya untuk melenyapkan bayinya sendiri.
Dia tidak ingin jika janin yang tak berdosa ini menjadi korban. Dia akan melindungin janinnya, meskipun itu harus menyembunyikan fakta dari suaminya.
"Kau baik-baik saja, Alen?" Tanya Ben yang kini sudah berdiri tepat dihadapannya. Terlihat raut kekhawatiran yang ditujukan oleh suaminya itu. Tetapi Alena lebih memilih untuk tidak peduli.
Alena menganggukan kepala, lalu kembali berjalan melewati suaminya. Ben yang merasa diacuhkan, hanya bisa menarik nafas panjang. Dia harus bersikap lebih baik lagi kepada istrinya, jika ingin mendapatkan maaf dari Alena.
"Ini pizza pesananmu Robin. Makanlah, tapi jangan sampai kekenyangan!" Ben menyerakan kotak pizza tersebut kepada sang putra. Lalu dia berjongkok untuk menyamakan tinggi badan putranya.
"Terimakasih Daddy." Jawab Robin dengan senyum lebarnya.
Ben tersenyum tipis, lalu memeluk sang putra seraya berbisik, "Apakah Mommymu sakit sayang?" Bisik Ben ditelinga sang putra.
Robin menganggukan kepala, lalu ikut berbisik ditelinga Daddynya, "Mommy sudah muntah 2 kali, Daddy. Aku takut jika Mommy tertular penyakitku."
"Mommy pasti baik-baik saja. Sekarang makanlah pizzamu! Tawarkan kepada Zemi dan Finesia juga!" Pinta Ben.
Robin pun berlari keluar kamar untuk membagi pizzanya dengan para asisten rumah tangga. Sedangkan Ben kini mendudukan diri disamping Alena yang tengah duduk ditepian ranjang sang putra dengan memainkan ponselnya.
"Alen, aku ingin minta maaf padamu." Ucap Ben, tetapi tak dihiraukan oleh istrinya.
"Aku tahu, aku salah dan sangat keterlaluan. Tapi apakah harus kau mengacuhkan diriku seperti ini?" Alena masih tak bergeming sedikit pun.
"Alen, jawablah aku! Aku tidak akan sanggup jika terus kau acuhkan seperti ini!" Ben mulai menarik tangan istrinya, hingga tubuh Alena kini menghadap padanya.
Alena menutup hidunya, sambil menunjukkan ekspresi yang tidak mengenakkan. "Kau bau Ben. Pergilah kekamarmu dan mandi! Baumu sangat tidak enak." Alena bangkit dari posisinya, lalu berjalan keluar meninggalkan Ben yang masih bertanya-tanya.
**
Ben baru saja menyelesaikan ritual mandinya. Dia tidak ingin Alena merasa risih saat berdekatan denganya dan mencium aroma tubuhnya. Dia sudah tampak segar dan wangi, tetapi istrinya itu tidak kunjung memasuki kamar mereka.
Dengan langkah lebar, Ben berjalan menuju kamar sang putra. Dia mengerutkan keningnya saat mendapati pintu kamar Robin yang terkunci rapat. Tampaknya Alena benar-benar menguji kesabarannya. Dia pun kembali menuju kamarnya, dan membiarkan Alena terlelap dulu dalam tidurnya.
Selang beberapa waktu, Ben sudah mulai gusar dalam pembaringannya. Dia bangun dari posisinya, dan berjalan menuju kamar Robin yang berada tidak jauh dari kamarnya. Dia membawa kunci cadangan kamar tersebut, dan membukanya.
Dilihatnya Robin dan Alena sudah terlelap. Ben berjalan menghampiri ranjang, lalu membaringkan tubuhnya disamping Alena. Dia memeluk tubuh istrinya dari belakang, menghirup wangi tubuh Alena yang sudah menjadi candu baginya. Beberapa kali dia juga mengecup puncak kepala istrinya, seolah dengan begitu dia bisa sedikit menghilangkan rasa bersalahnya.
"Maafkan aku, Alen. Aku benar-benar menyesal." Gumam Ben yang kemudian ikut memejamkan matanya, menyusul istri dan juga putranya yang sudah lebih dulu terlelap.
**
Cahaya matahari pagi mulai memasuku celah tirai dikamar Robin. Alena membuka matanya perlahan, merasakan adanya tangan kekar yang melilit dipinggangnya. Dia menolehkan kepalanya, mendapati wajah suaminya yang masih terpejam.
Alena menghela nafas berat, saat mendapati telapak tangan suaminya yang berada tepat diatas perutnya. Ini belum saatnya, atau lebih tepatnya dia tidak akan pernah mau untuk mengutarakan fakta tentang kehamilannya. Dia yakin jika Ben tidak akan mau menerima kehadiran bayi yang dikandungnya.
Perlahan tapi pasti, tangan mungilnya kini terulur untuk ikut menyentuh permukaan perutnya yang masih rata. Alena menahan haru, saat menyadari jika dirinya akan menjadi seorang Ibu yang sesungguhnya. Seorang Ibu yang tengah mengandung, dan akan melahirkan bayinya.
"Maafkan Mommy, sayang. Mommy tidak bermaksud untuk menyembunyikan keberadaanmu. Mommy hanya tidak ingin kehilangan dirimu. Mommy akan berjuang dan berusaha untuk melindungi dirimu. Mommy berjanji." Setitik air mata jatuh membasahi pipinya, dan dengan cepat tangan Alena terulur untuk menghapusnya.
Tangan Alena kini perlahan memindahkan tangan kekar Ben yang begitu posesif memeluknya. Cukup susah baginya melepaskan diri dari lilitan tangan suaminya. Ben memang selalu begitu, dan memeluk tubuh istrinya saat tidur adalah suatu kebiasaan baru baginya.
Alena menurunkan kakinya dari atas ranjang, berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah selesai dengan ritual mandi paginya, dia kini membangunkan Robin yang sudah harus kembali bersekolah. Sudah hampir 3 hari Robin tidak datang kesekolah, dan ketika suhu tubuhnya mulai kembali normal. Robin harus kembali hadir disekolah untuk mengikuti pelajarannya.
Alena kini tampak sedang sibuk didapur, melakukan aktivitas favoritenya dipagi hari. Memasakan sarapan untuk keluarga kecilnya.
Meskipun sedang tidak enak badan, tetapi Alena tidak pernah meninggalkan tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang istri juga Ibu. Dia selalu menyempatkan waktunya untuk memasakan dan mengurus sang putra.
Selang beberapa waktu, Robin datang dengan menggendong tas ranselnya. Lalu tak lama munculah Ben yang juga sudah terlihat gagah dan rapi dalam balutan jas kerjanya. Alena sempat terkagum saat melihat penampilan suaminya. Tetapi dengan cepat dia mengubah ekspresinya itu, agar Ben tak semakin besar kepala.
"Mommy, apakah hari ini Mommy mau mengantarku kesekolah?" Tanya Robin diselah kunyahannya.
"Kau ingin Mommy yang mengantarkanmu kesekolah sayang?" Tanya Alena yang dibalas anggukan kepala oleh putranya.
"Tidak. Robin akan berangkat kesekolah bersama Alex." Sela Ben.
"Mommy akan mengantarmu kesekolah sayang. Tunggulah sebentar!" Alena berjalan meninggalkan ruang makan untuk menuju kamarnya.
Ben mengikuti langkah istrinya. Dan ketika sudah berada didalam kamar, dia kembali mencekram tangan istrinya. "Apa yang sebenarnya kau inginkan, Alen? Kau selalu saja menguji kesabaranku. Sudah ku katakan jika Alex yang akan mengantar Robin kesekolah. Jadi kau tidak perlu mengantarnya!" Bentak Ben dengan nada tingginya.
"Kenapa Ben? Apakah sekarang aku juga tidak boleh mengurus Robin? Lalu apa gunanya aku ada disini Ben, jika kalian sudah tidak memerlukan diriku? Apakah sudah saatnya aku pergi Ben?" Tanya Alena dengan suara bergetar. Dia sedang berusaha menaha rasa sakit didalam hatinya. Air matanya sudah mulai menggenang dipelupuk mata, sekali saja dia berkedip, maka dengan mudahnya air mata itu akan lolos membasahi pipinya.
Ben merutuki kebodohannya. Sekali lagi dia melukai hati Alena, dan membuat istrinya itu hampir menitihkan air mata. Ben bisa melihat dengan jelas pancaran kesedihan dari wajah istrinya. Perlahan tangannya terlepas dari pergelangan tangan istrinya. Dia kini menampakan raut wajah bersalah, dan menggumamkan kata maaf beberapa kali. Tetapi Alena tidak memperdulikannya, dan justru pergi meninggalkan dirinya.
**
Ben kini sudah berada dikantornya. Tetapi fikirannya tidak pernah lepas dari bayangan wajah istrinya yang penuh luka. Dia sudah terlalu sering menyakiti Alena. Bahkan setelah meminta maaf pun, dia masih saja mengulanginya.
Tumpukan berkas yang berada diatas meja, dia acuhkan begitu saja. Entah kenapa dia memiliki firasat yang tidak baik. Terlebih saat tadi dia melihat wajah seduh dan penuh luka diwajah istrinya. Rasa bersalahnya semakin dalam, dan membuatnya semakin tersiksa dalam kegelapan.
Lamunanya berakhir, saat dia mendengar nada dering ponselnya berbunyi. Dilihatnya nama Alex tertera disana. Ben pun menjawab panggilan masuk tersebut.
"Ya, Alex. Ada apa?"
"Tuan. Saya baru saja mendapatkan berita, jika mobil yang dikendari nyonya Alena mengalami kecelakaan. Kacelakaan itu cukup parah, dan diperkirakan jika pengendaranya tidak mungkin selamat."
Suara Alex dari seberang sana, bagaikan batu besar yang menghantam tepat dihatinya. Ben menjatuhkan ponsel yang tadi digenggamnya, lalu berlari secepat mungkin untuk menemui Alex yang berada diluar kantornya.
Pikirannya kini hanya tertuju pada satu nama, yaitu Alena. Istrinya.
TO BE CONTINUED.