Kepanikan yang tadi menyelimuti dirinya, kini berubah menjadi rasa bahagia bercampur haru. Kala mendengar penuturan dari sang dokter, yang mengatakan jika istrinya tengah mengandung.
Ben benar-benar tidak menyangka, jika dirinya akan kembali menjadi Ayah. Dia akan memiliki seorang anak lagi dari Alena, istri yang sangat dicintainya. Dia sudah menyadari jika perasaannya untuk Alena adalah cinta, sejak dirinya tadi merasakan kekhawatiran yang teramat sangat ketika mendengar kabar buruk yang menimpa Alena. Dia tidak ingin kehilangan Alena, dan rasa takut kehilangan itulah yang menyadarkan dirinya.
Ben kini menatap senduh tubuh lemah istrinya. Alena masih balum sadar dari pingsannya, dengan punggung tangan kanan yang terhubung infus. Rasa bersalahnya kembali muncul, kala mendapati wajah pucat istrinya yang masih tertutup rapat. Tangannya kini terulur untuk menggenggam tangan Alena. Mengecupnya lama, seolah ingin menunjukkan rasa kasih sayangnya.
Setelahnya, tangan itu dia ulurkan kearah perut Alena. Mengelus dengan pelan dan bergumam, "Terimakasih karena kamu bisa bertahan untuk tetap bersama Daddy dan Mommy. Tetaplah sehat dan kuat didalam sana ya, sayang! Daddy sangat ingin melihat dirimu lahir kedunia ini." Setitik air mata jatuh membasahi pipi Ben.
Tadi Alena memang sempat mengalami pendarahan. Dia terlalu stres dan shock akan kejadian yang baru saja menimpa orang terdekatnya. Dokter tadi mengatakan jika kandungan Alena sangatlah lemah, dan sedikit sekali kemungkinan untuk bisa menyelamatkan janinnya.
Namun takdir tampaknya berkata lain. Janin itu akhirnya bisa bertahan, dan membuat hati Ben merasa lega. Setidaknya dia tidak kehilangan calon bayinya bersama Alena. Setegas dan sekajam apa pun seorang Ben Abraham, dia tetaplah sosok pria yang memiliki jiwa kebapakan.
Dulu saat pertama kali dia melihat Robin lahir kedunia, dia sangat bahagia. Dia bahkan rela menyewa seorang pengasuh dengan gaji mahal untuk menjaga putranya. Karena waktu itu Elena tidak mau mengurus anak mereka, dan justru memilih pergi bersama Gion.
Ben tidak memperdulikan Elena saat itu. Bahkan hingga saat ini pun sama. Yang ada difikirannya kala itu hanya Robin, putranya. Dia ingin mengambil alih hak asuh Robin, dan sesegera mungkin menceraikan Elena.
"Permisi, Tuan." Suara seorang pria yang sangat tidak asing baginya. Membuat lamunannya buyar dan kembali tersadar.
"Ada apa Alex?" Tanyanya mendapati Alex yang berdiri membelakangi pintu.
"Pihak yang berwajib ingin menemui Anda, Tuan. Mereka ingin menannyakan tentang mobil Anda yang mengalami kecelakaan tadi." Jelas Alex dengan sopan.
"Baiklah. Aku akan segera keluar sebentar lagi." Jawab Ben yang kemudian mengecup singkat perut rata istrinya, lalu berjalan keluar mengikuti Alex.
"Ada yang bisa saya bantu, Pak?" Tanya Ben yang kini sudah berhadapan dengan dua aparat kepolisian yang menangani kasusu kecelakaan mobilnya.
Kedua aparat kepolisian itu menoleh, lalu salah satu diantara mereka mulai menjelaskan maksud dan tujuannya datang menemui Ben. Polisi itu menjelaskan jika ada sesuatu yang janggal pada kecelakaan tersebut. Dan pihak kepolisian meminta ijin padanya untuk melakukan pemeriksaan mendalam pada mobil yang sudah tak berbentu itu.
Ben pun mengijinkannya. Dia juga ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dan jika benar ada yang mensabotase mobilnya, maka Ben pasti akan mencari dan menangkap pelaku tersebut. Dia tidak akan semudab itu memaafkan seseorang yang hampir saja mencelakai istri dan calon bayinya.
Setelah urusannya dengan kedua polisi tersebut selesai. Ben kembali masuk kedalam kamar Alena. Dilihatnya, disana Alena masih belum membuka mata.
Alex yang sejak tadi berdiri dibelakangnya pun juga ikut merasa sedih melihat kondisi dari Nyonya Alenanya. Alexa tahu betul seberapa lincah dan cerianya Alena saat mengurusi rumah, suami, dan anaknya. Dia bahkan tak pernah mendengarkan Nyonya besarnya itu mengeluh. Yang selalu diperlihatkannya hanyalah senyum ramah dan raut wajah ceria.
"Alex, jam berapakah sekarang?" Tanya Ben dengan suara datarnya.
"Pukul 12.00, Tuan." Jawab Alex setelah melihat jarum jam yang melilit dipergelangan tangan kirinya.
"Jemputlah Robin disekolah, lalu bawa dia kemari! Aku akan menjaga Alena disini. Dan jika nanti dia sudah sadar, dia pasti senang saat melihat Robin ada didekatnya." Jelas Ben dengan suara yang sarat akan kesedihan.
Dia memang sedang bersedih, dan suaranya pun tidak bisa menipu suasana hatinya saat ini.
**
Robin baru saja keluar dari dalam kelasnya. Dia berjalan sambil sedikit berlari untuk menemui seseorang yang menjemputnya. Ya, memang tadi Alena sudah berjanji padanya untuk menjemput Robin sepulang sekolah. Tapi ternyata ada sebuah insiden yang membuat Alena tidak bisa menempati janjinya.
Robin sudah berdiri didepan gerbang sekolahnya. Menengok kekanan dan kekiri untuk melihat mobil jemputannya. Dia berdiri dengan menggoyang-goyangkan pergelangan kakinya. Sampai tiba-tiba ada seorang gadis kecil yang berdiri disampingnya.
Gadis kecil itu tampak tersenyum dan menatap wajah Robin dengan penuh bianar bahagia. Dan Robin yang merasa dirinya diperhatikan pun, ikut menengokkan kepalanya dan menatap balik gadis kecil itu.
"Ada apa?" Tanya Robin dengan nada tak bersahabat.
Gadis kecil itu mengerjapkan mata beberapa kali, kala tersadar dari lamunannya tadi. Senyum diwajahnya pun tak pernah pudar. Bahkan semakin melebar.
"Heiii.. kau tidak bisa bicara ya?" Tanya Robin lagi sedikit menguncang tubuh gadis tersebut.
"A--aku, bisa kok." Jawabnya terbata.
Robin mengerutkan keningnya. Ternyata gadis kecil yang berdiri disampingnya itu bisa bicara, dan suaranya sungguh merdu menggema didalam gendang telinga Robin.
"Kau penolongku waktu itu." Ucap gadis kecil itu lagi, membuat kening Robin semakin mengerut.
Tin..tin..
Suara klakson dari mobil yang baru saja datang dan berhenti tepat didepan kedua anak kecil tersebut.
"Tuan muda, mari masuk! Kita harus segera kerumah sakit, sebab Nyonya Alena ada disana." Ucap seorang pria dewasa yang baru saja keluar dan membukakan pintu untuk Tuan mudanya.
"Mommy dirumah sakit? Kenapa dengan Mommyku, Alex?" Tanya Robin sedikit panik.
"Nyonya Alena baik-baik saja. Dia tadi hanya pingsan."
"Ya sudah. Ayo kita segera kesana, Alex!" Masuk kedalam mobil dengan terburu, dan diikuti Alex yang langsung menutup pintu untuknya.
Mobilnya kini mulai melaju untuk menuju rumah sakit tempat Alena dirawat. Robin bahkan sudah lupa jika dirinya tadi sedang berdiri bersama gadis kecil yang belum dia ketahui namanya.
**
Alena mengerjapkan matanya. Mencoba menerima cahaya yang hendak memasuki indera pengelihatannya. Pandangannya dipenuhi dengan nuansa putih yang mendominasi. Aroma khas antiseptik bercampur dengan pengharum ruangan, kini memasuki indera penciumannya.
Alena tahu jika dirinya sedang berada dirumah sakit. Dia ingat betul kala menatap tubuh kaku sahabat baiknya itu. Dia tidak menyangka, jika siang itu adalah hari terakhirnya bertemu dengan Silvi.
Alena datang kekaffe siang itu, karena permintaan dari Silvi. Silvi ingin meminjam mobilnya untuk pergi menyerahkan tugas kekampusnya. Alena sempat ingin ikut bersamanya. Tetapi Silvi tidak memperbolehkannya, dengan alasan Alena akan bosan jika harus menunggu dirinya dikampus sendirian. Jika Alena menunggu dikaffe, pasti banyak yang akan menemaninya mengobrol. Termasuk Valleria dan karyawan-karyawan lainnya.
"Kau sudah bangun, Alen?" Tanya Ben membuyarkan lamunan Alena.
Alena hanya mampu mengedipkan matanya, seolah bibirnya keluh dan terkunci rapat. Dia tidak bisa berkata-kata.
"Kenapa kau sembunyikan kehamilanmu dariku Alen? Apa aku tidak berhak untuk mengetahuinya?" Tanya Ben lagi sedikit menuntut. Dia tidak menggunakan kata-kata kasar dan nada tinggi lagi. Dia tidak mau jika nanti Alena akan kembali marah padanya.
Alena menatap dalam manik mata suaminya. Pandangannya kini berubah menjadi senduh dan ketakutan. Dia tidak ingin jika nantinya, Ben akan menyakiti janin yang ada didalam kandungannya.
Alena menggelengkan kepalanya dan bergumam lirih, "Jangan sakiti dia Ben! Kalau kau tidak ingin merawatnya, biar aku saja yang membesarkan dirinya seorang diri." Memeluk perut ratanya dengan sangat posesif.
Tubuh Ben menjadi kaku. Dia tidak menyangka jika Alena begitu ketakutan dengan dirinya. Alena bahkan berfikir, jika Ben akan menyakiti bayinya sendiri.
Bagaimana mungkin? Ben bukanlah orang yang setega itu. Dia bahkan sangat bahagia kala mendengar kabar kehamilan istrinya. Yang disesalinya hanya satu, yaitu terlambat untuk mengetahui isi hatinya sendiri. Entah karena kurang peka, atau memang benar-benar bodoh. Dia tidak bisa memahami perasaan dan keinginan hati terdalamnya. Dia baru menyadari segalanya, ketika sosok Alena hampir menghilang dari kehidupannya.
"Apa yang kau katakan Alen? Aku tidak akan mungkin menyakiti anakku sendiri."
TO BE CONTINUED.