Chereads / BEN ABRAHAM / Chapter 28 - 28. Hanya Kamu

Chapter 28 - 28. Hanya Kamu

"Alen, kau disini?" Pertanyaan bodoh justru keluar dari mulut Ben.

"Kenapa Ben? Kau tidak ingin aku menganggu kemesraan kalian?" Tanya balik Alena dengan suara bergetarnya.

Ben berjalan mendekati Alena, berusaha menyentuh pundak istrinya. Tetapi Alena justru menghindarinya dengan melangkah mundur.

Ben menatap Alena dengan kening berkerut. Sedangkan Alena tampak menunjukkan wajah memerah, menahan sedih dan amarah. Dia tidak menyangka jika Ben akan kembali melukai hatinya, dengan cara yang begitu menyakitkan.

"Kau salah paham, Alen! Dia Delara, teman kuliahku dulu. Kami memang dekat, dan aku merasa senang karena bisa kembali bertemu dengannya." Terang Ben memberi penjelasan.

Seketika ekspresi wajah Alena berubah. Dia tampak malu karena sudah menuduh suaminya berselingkuh. Terlebih wanita itu ternyata adalah teman lama Ben yang sangat akrab dengan suaminya.

"Maafkan aku." Ucap Alena menundukkan kepala.

"Tidak masalah. Aku Delara, kau pasti istri barunya Ben?" Balas wanita cantik yang kini sudah berdiri dihadapan Alena.

"Iya. Aku Alena." Jawab Alena menjulurkan tangannya.

Delara tersenyum manis, sambil membalas uluran tangan Alena. Ben pun mendekati keduanya, lalu merangkul pinggang istrinya. Kemudian dia mempersilakan Delara untuk duduk dikursi ruang tamu, dan dia pun juga ikut duduk disana bersama Alena.

"Kalian lanjutakan mengobrolnya! Aku akan mengambilkan minum." Pamit Alena, dan setelahnya dia pun meninggalkan Ben untuk mengobrol berdua dengan Delara.

Ben melanjutkan obrolannya bersama Delara, teman yang sudah sangat lama tidak ditemuinya.

"Istrimu sangat cantik, Ben. Kau sungguh pandai memilih wanita." Puji Delara yang membuat Ben tersenyum senang.

"Tentu saja. Aku memiliki selera yang bagus bukan?" Senang Ben menunjukkan seringainya.

"Kau tidak pernah berubah, Ben. Selalu percaya diri." Senyum kecil Delara. "Tapi sepertinya dia seorang wanita yang pencemburu." Ucap Delara lagi.

"Dia sedang hamil, jadi sedikit lebih sensitive." Jelas Ben yang membuat Delara menunjukkan wajah terkejutnya.

"Benarkah? Selamat untuk kalian. Robin akan menjadi seorang Kakak sebentar lagi." Ucap Delara senang, setelah mengetahui kabar dari sahabatnya.

Ben menganggukan kepala sambil tensenyum senang. Dia juga sangat bahagia ketika mendengar kabar jika istrinya itu tengah mengandung. Tetapi keadaan waktu itu, juga membuat dirinya sedikit takut dngan keadaan Alena dan calon anak mereka.

Bagaimana tidak. Ada yang sedang berusaha mengincar nyawa istri dan calon anaknya. Untunglah Takdir masih berpihak padanya, hingga Alena berhasil selamat dari maut yang mengincarnya.

"Jadi, apa yang membawamu ke Indonesia Delara? Apa kau sedang menikmati liburan?" Tanya Ben yang dibalas gelengan kepala oleh Delara.

"Jadi untuk apa?" Tanya Ben lagi.

"Aku kemari untuk menemui Gion, Ben." Jawab Delara pelan. Seakan tersirat kesedihan disetiap ucapannya.

"Untuk apa lagi Delara? Dia sudah begitu banyak menyakiti dirimu. Dia meninggalkan dirimu begitu saja dan menikahi Elena. Kau bahkan sampai kehilangan bayimu." Kesal Ben menanggapi sikap Delara yang begitu mudah terpengaruh akan rasa cintanya.

"Ini bukan salahnya, Ben. Ini salahku karena sudah menyembunyikan fakta yang sesungguhnya. Aku tidak jujur padanya, dan kau tentu juga tahu bagaimana sikap Ayahku kepadanya!"

"Harusnya kau memang mendengarkan Ayahmu, Delara! Pria seperti Gion tidaklah pantas untukmu."

"Kau mengatakan itu bukan karena cemburu kan Ben?"

"Cemburu? Pada siapa?"

"Pada mantan istrimu, Elena."

"Tidak mungkin. Aku menikahinya hanya karena dia tengah mengandung putraku. Setelah Robin lahir waktu itu, aku langsung menceraikan dirinya. Aku hanya ingin anaknya, bukan Ibunya." Terang Ben yang kini tampak menatap wajah Delara yang sedang panik.

"Ben, sepertinya....." Delara menggantungkan ucapannya saat pandangannya tertuju pada Alena yang sedang berdiri tidak jauh dari tempat mereka.

"Ada apa Delara?" Tanya Ben mengikuti arah pandang sahabatnya.

Betapa terkejutnya Ben saat mendapati wajah sedih istrinya. Dilihatnya air mata juga sudah mulai menggenang dipelupuk matanya. Alena pasti salah paham lagi, hingga membuatnya kembali menangis karena rasa sedih.

Alena membalikkan tubuhnya, dan membawa kembali nampan yang berisi minuman digenggamannya. Dia tidak kuasa mendengarkan penuturan Ben tadi. Dia tidak akan rela jika harus dipisahkan dengan bayinya. Jika nanti Ben akan menceraikan dirinya, dia tidak akan mungkin membiarkan Ben mengambil anaknya. Dia lebih memilih pergi bersama calon bayi mereka, dari pada harus dipisahkan dari bayinya.

"Sepertinya dia salah paham Ben. Jelaskan segalanya pada Alena! Dia tampak sedih mendengar ucapanmu tadi." Tutur Delara.

"Sepertinya kesalah pahaman ini akan terus berlangsung selama dia hamil." Ucap Ben mengusap wajahnya kasar.

Selama Alena mengandung, dia memang sangat sensitive. Hal-hal yang kecil saja bisa membuat dia menangis, apa lagi kesalah pahaman seperti ini. Dan Ben yang sudah mulai terbiasa dengan keaadaan istrinya, hanya bisa bersabar dan memberikan penjelas agar istrinya itu bisa kembali memaafkannya.

"Kau harus memaklumi keadaannya Ben. Dulu saat aku hamil, aku juga merasakan hal seperti Alena. Tapi tampaknya dia lebih beruntung, karena ada kau disisinya." Delara berucap dengan mengukir senyum sedihnya. Walau pun dia tampak tersenyum, tetapi Ben tahu betul bagaimana perasaan Delara saat ini.

Masa lalu Delara sangatlah memprihatinkan. Dulu dia gan Gion saling mencintai, tetapi Ayah Delara menentang hubungan keduanya. Delara yang tidak ingin melukai hati Ayahnya, terpaksa mengakhiri hubungannya dengan Gion secara sepihak. Sampai suatu saat, takdir kembali menguji dirinya. Delara positive mengandung, dan itu adalah hasil buah cintanya bersama Gion.

"Tolong jangan bersedih Delara! Aku yakin kau akan menemukan kebahagiaanmu sebentar lagi." Jelas Ben mengusap punggung sahabatnya.

"Semoga saja." Balas Delara mengusap air mata yang entah sejak kapan sudah membasahi pipinya. "Aku pergi dulu Ben. Dan jelaskan segalanya kepada istrimu, agar dia tidak salah mengerti tentang perkataanmu tadi." Delara memeluk sekilas tubuh Ben, lalu berlalu pergi meninggalkan kediaman sahabat lamanya itu.

Ben langsung menuju kamarnya, setelah mengantar kepergian Delara sampai depan pintu rumahnya. Dia membuka pintu kamarnya bersama Alena, dan melihat sosok istrinya tengah berbaring diatas ranjang dengan selimut yang membungkus seluruh tubuh mungilnya.

Ben berjalan menghampiri ranjang, mendudukan diri disamping tubuh istrinya yang tampak bergetar dibalik selimut tebal. Dia mengulurkan tangannya untuk menarik selimut tersebut, tetapi sangat sulit karena Alena menahan selimut itu agar tidak bergeser dari tempatnya.

"Alen, dengarkan aku! Kau salah mengartikan semua ucapanku tadi." Jelas Ben berusaha memberi pengertian kepada istrinya.

"Apa yang salah Ben? Aku mendengar semuanya. Kau tidak menginginkan aku. Kau hanya menginginkan bayi didalam kandunganku. Kau akan membuangku setelah aku melahirkan bayi ini kan?" Ucap Alena sesenggukan. Dia bahkan masih bertahan dibalik selimut tebal yang membungkus seluruh tubuhnya.

Ben mulai geram. Dia membalik dengan kasar tubuh Alena, hingga selimut yang dikenakannya terjatuh kelantai. "Kenapa kau berfikiran seperti itu, Alen? Jika aku tidak menginginkan dirimu, aku tidak akan mungkin menikahimu."

"Kau berbohong. Kau tidak pernah menginginkan diriku, apa lagi mencintaiku." Air mata Alena semakin deras. Membuat hati Ben teriris saat menatap keadaan istrinya itu.

Ben tidak pernah bermaksud menyakiti Alena. Dia bahkan sudah menyadari perasaannya untuk Alena. Tetapi wanita hamil satu ini memang sedang sulit diajak berkomunikasih, hingga setiap hal kecil saja bisa membuatnya menitihkan air mata.

Ben membawa tubuh Alena kedalam pelukannya. Berharap dengan begitu bisa menjelaskan rasa cintanya untuk Alena. Ben bisa merasakan jika tubuh yang berada didalam pelukannya masih bergetar. Dia mengecup puncak kepala Alena berkali-kali, seolah ingin menyimpan aroma tubuh istrinya.

Alena masih saja menangis didalam pelukan suaminya. Dia sebenar juga lelah, harus selalu menangis karena hal-hal kecil. Tetapi hormon kehamilan membuatnya seperti ini, dan dia tidak bisa mengontrol suasana hatinya sendiri.

"Aku mencintaimu Alen. Dan aku sangat menginginkan kalian berdua. Kau dan juga calon anak kita. Kehadiran dirimu melengkapi kehidupanku dan juga Robin. Aku membutuhkanmu untuk merawat serta mendidik anak-anakku." Ben semakin mempererat pelukannya, menunjukkan jika ucapannya adalah sebuah kebenaran.

"Tapi ucap----"

"Tidak ada tapi, Alen! Aku mencintaimu. Tidak cukupkah itu?" Ben memotong ucapan Alena, lalu mengecup keningnya.

Dia melepaskan pelukannya pada Alena, sebelum menghapus sisa-sisa air mata yang ada dipipi istrinya. Alena menahan nafas, saat kini wajah Ben sangat dekat dengannya. Alena bahkan bisa merasakan deru nafas Ben yang mengenai wajahnya.

Ben semakin mendekatkan wajahnya. Menempelkan bibirnya pada bibir Alena. Dia melumat lembut bibir merah delima yang sudah menjadi candu baginya. Bibir yang sejak awal sudah membuatnya tertarik pada sosok Alena.

TO BE CONTINUED.