Ben berjalan memasuki kantornya, setelah tadi dia terlebih dahulu mengantarkan Robin ke sekolah. Beberapa hari ini dia memang sedang disibukkan oleh pekerjaan. Terlebih adanya kontrak baru bersama kliennya beberapa hari lalu.
Ben memang selalu bekerja dengan penuh tanggung jawab. Dia tidak pernah mengecewakan rekan bisnisnya. Dan hal itulah yang membuat banyak orang ingin melakukan kerja sama dengan perusahan yang dipimpinnya.
Baru beberapa menit Ben mendudukkan diri dikursi kebesarannya. Ponselnya kini berdering nyaring menyalurkan suara pada telinga. Ben mengeluarkan ponsel yang sejak tadi berada disaku. Mendial nomer yang tampak sedang menghubungi dirinya.
"Hallo." Ucap Ben menjawab telepon tersebut.
"Hallo Tuan Ben. Apakah ada sudah mengechek e-mail anda?" Balas seorang pria melalui sambungan teleponnya.
"Aku baru saja sampai dikantor. Ada apa?"
"Saya harap Anda mengechek e-mailnya terlebih dahulu. Semua laporan dan hasil penyelidikan sudah saya kirimkan."
"Baiklah. Aku akan membacanya." Ben mengakhiri sambungan teleponnya, lalu beralih pada layar komputer yang ada diatas mejanya.
Dia mulai membaca satu per satu e-mail yang masuk pada akun pribadinya. Dan setelah menemukan pesan yang dicarinya, dia pun mulai membaca dengan serius e-mail tersebut. Satu per satu kata dia cerna dengan sempurna. Beberapa gambar yang terlampir juga mulai dia cermati.
Ben sedikit terkejut saat membaca hasil laporan tersebut. Tetapi tampaknya dia sudah memahami situasinya. Dengan rahang yang mengeras, menahan amarah. Dia pun tampak mendial kembali nomer yang tadi baru saja menghubunginya.
"Iya, Tuan Ben." Ucap pria disebrang sana.
"Apakah laporan yang kau kirimkan ini benar adanya?" Tanya Ben menuntut.
"Iya Tuan. Saya sudah memastikan semuanya. Dan wanita itu adalah orang yang menyabotase mobil yang dikendarai istri anda." Jelas pria itu lagi.
"Baiklah. Terimakasih untuk bantuannya. Akan segera ku kirimkan bayaran untukmu."
"Terimakasih Tuan." Sambungan telepon pun terputus.
Ben meletakkan kembali ponselnya diatas meja. Dia tidak habis pikir, bagaimana bisa seseorang yang dianggap istrinya itu baik, ternyata adalah orang yang sudah tega ingin mencelakai Alena. Ben harus menuntaskan masalah ini. Dia tidak ingin jika wanita itu kembali berulah dan melukai istrinya berserta calon anak mereka.
**
Alena baru saja keluar dari dalam kamar mandi, saat Ben memasuki kamar mereka. Pendangan mereka bertemu untuk beberapa detik, sebelum akhirnya Alena terlebih dahulu memutus kontak mata mereka.
Ben sempat menengguk salivanya pelan, saat menatap tubuh istrinya yang hanya dibalut haduk slutut. Tubuh istrinya itu tetap terlihat mungil dan sexy. Terlebih ada beberapa bagian yang mulai sedikit berisi.
Ben kini berjalan menghampiri Alena yang tengah berdiri didepan almari. Istrinya itu tampak sedang memilih pakaian mana yang hendak dikenakannya. Namun Ben yang memang sudah sangat tergoda dengan istrinya itu, langsung memeluk tubuh mungil sang istri dari arah belakang.
"Ben apa yang kau lakukan? Lepaskan aku!" Kesal Alena merasa risih dengan pelukan sang suami.
"Kau berusaha menggodaku, Alen?" Gumam Ben mengecupi bahu istrinya.
"Siapa yang menggoda dirimu Ben? Aku baru saja selesai mandi, dan ingin memilih pakaianku sekarang. Lebih baik kau lepaskan tanganmu ini! Dan biarkan aku memilih pakaian yang akan ku kenakan!"
"Untuk apa berpakaian, Alen? Aku lebih suka kau telanjang tanpa sehelai benang pun."
"Hilangkan sifat mesummu itu, Ben! Sebentar lagi kau akan kembali menjadi Ayah, tidak malukah dirimu itu?" Ejek Alena, masih berusaha melepaskan pelukan sang suami.
"Untuk apa malu, aku masih berpakaian lengkap. Harusnya kau yang malu Alen, kau hanya menggunakan selembar haduk ini untuk menutupi tubuhmu." Ucap Ben diakhiri tawa pelannya.
"Kau menyebalkan Ben!" Kesal Alena, melepas paksa tangan suaminya.
Ben tersenyum tipis saat berhasil menggoda istrinya. Dia pun tetap mengikuti Alena dari belakang, hingga membuat istrinya itu kesal dan menampakkan wajah cemberutnya.
"Pergilah Ben! Aku tidak ingin melihat wajahmu!" Marah Alena.
Ben menahan senyum saat melihat amarah istrinya. Dia bukannya pergi seperti permintaan Alena, tetapi justru membawa tubuh sang istri kedalam pelukannya.
"Jangan mengusirku. Aku tidak ingin tidur sendiri malam ini." Bisik Ben dengan nada sensualnya.
"Ben--" Alena hendak perotes, tetapi Ben lebih dulu membungkam mulutnya dengan ciuman yang memabukkan.
Alena mengalungkan lengannya pada leher suaminya, menikmati ciuman lembut yang tengah mereka lakukan. Dia bahkan tidak sadar jika kini Ben sudah berhasil melepaskan lilitan handuk yang menempel ditubuhnya.
Ben membawa tubuh istrinya menuju ranjang, membaringkannya dengan sangat perlahan. Dia melepaskan bibirnya dari bibir Alena, lalu dengan nafas memburu dia berkata, "Aku menginginkanmu sekarang juga Alen."
Alena yang memang sudah terbakar oleh nafsu, hanya bisa menganggukan kepala. Semenjak dirinya hamil, dia memang belum pernah melakukannya lagi dengan sang suami.
Malam ini keduanya larut dalam suasana cinta. Ben bergerak dengan begitu hati-hati, tidak ingin menyakiti calon buah hati mereka. Suara derit ranjang, semakin menambah gairah keduanya. Hingga mereka berhasil mencapai puncak kenikmatan yang tiada tara.
**
Pagi hari setelah bengun dan membersihkan diri, Alena langsung keluar kamar unutuk membangunkan sang putra. Setelah Robin sudah bangun dan menuju pintu kamar mandi, dia menyiapkan segala kebutuhan putranya itu. Dia memang selalu begitu, melakukan segala tugasnya sebagai seorang Ibu tanpa mau diganggu.
Selesai menyiapkan kebutuhan Robin, Alena bergegas menuju dapur tempat favoritenya. Disana dia mulai melakukan aktivitas seperti biasanya, memasakkan menu sarapan untuk keluarga kecilnya.
Didalam kamar, Ben baru saja bangun dari tidurnya. Dia menoleh kesamping dan tidak menemukan keberadaan Alena disisinya. Ben menghela nafas berat, dia tahu dimana istrinya sekarang berada. Alena pasti sedanh memasakan sarap untuknya dan juga Robin. Dia seolah sudah hafal dengan kebiasaan istrinya itu.
Ben bengun dari tidurnya, lalu berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Dia tidak akan berlama-lama didalam sana, karena ingin segera turun untuk menikmati sarapan bersama istri dan anaknya.
"Selamat pagi, Mommy." Sapa Robin dengan senyum riangnya.
"Selamat pagi juga sayang. Duduklah, kau ingin sarapan apa?" Balas Alena bertanya.
"Aku ingin sereal saja Mommy." Jawab Robin yang disambut anggukan kepala oleh Mommynya.
Alena langsung saya mengambil kotak sereal yang ada ditegah-tengah meja. Menuangkannya pada mangkuk kecil, lalu ditambahkannya dengan susu vanila. Dia menaruh mangkuk terasebut dihadapan sang putra, membuat Robin tersenyum sambil mengucapkan terimakasih.
Tak lama Ben terlihat menuruni anak tangga. Dia berjalan menuju ruang makan, mengecup kening istri dan putranya sebelum mendudukkan dirinya pada kursi khusus kepala keluarga.
Baru saja Alena ingin menanyakan menu apa yang diinginkan oleh sang suami. Tetapi suara dering ponsel membuat Alena mengurungkan niatnya untuk bertanya.
"Hallo." Ucap Ben setelah menerima panggilan masuk tersebut.
"Kau sudah menemukanya? Dia memang tidak bisa bersembunyi terlalu lama." Ucap Ben lagi dengan tawanya.
"Baiklah, nanti aku akan kesana bersama Alena. Pastikan dia mengakui segala perbuatannya!" Tagas Ben yang kemudian memutuskan panggilan teleponnya.
"Dari siapa Ben?" Tanya Alena penasaran. Pasalnya dia tadi mendengar namanya ikut disebut.
"Dari kepolisian. Mereka sudah menangkap orang yang menyabotase mobil yang kau kendarai." Ucap Ben dengan santainya. Berbanding terbalik dengan raut wajah Alena yang tampak terkejut dan ketakutan.
Ben menatap istrinya dengan kening berkerut. Dia tidak menyangka jika Alena akan menunjukkan ekspresi ketakukan seperti saat ini. Ben mengulurkan tangannya untuk menggenggam tangan istrinya. Berusaha menenangkan dan memberikan kekuatan pada wanita yang dicintainya itu.
"Tenanglah, Alen. Dia tidak akan berani menyakiti dirimu, selagi ada aku bersamamu." Ucap Ben diakhiri senyum tulusnya. Membuat hati Alena sedikit menghangat akan sentuhan dan senyuman yang ditunjukkan oleh suaminua.
TO BE CONTINUED.