Kehamilan yang semakin hari semakin menyulitkan dirinya, membuat Alena kesulitan untuk mengontrol emosinya sendiri. Seperti pagi ini, dia sudah menangis sampai 3 kali. Masalahnya hanya sepele, karena Ben tidak mengizinkan dirinya untuk memasak sarapan.
Ben hanya khawatir tentang kesehatan Alena dan janin yang ada dikandungan istrinya itu. Tetapi siapa sangka, jika kekhawatirannya justru disalah artikan oleh Alena. Istrinya itu mengira jika Ben sudah bosan dengan masakan yang disajikannya. Hingga Ben terpaksa kembali mengalah dan membiarkan Alena untuk berkutat dengan peralatan dapurnya.
"Mommy, kapan kita akan pergi jalan-jalan?" Tanya Robin setelah menelan habis susu vanilanya.
"Mommymu masih belum sehat betul Robin. Dia masih membutuhkan banyak istirahat." Ben justur menjawab pertanyaan yang bukan ditujukan untuknya.
"Kenapa Ben? Aku baik-baik saja. Lagi pula aku juga sudah berjanji pada Robin untuk mengajaknya pergi." Ucap Alena.
"Kau masih belum sembuh benar, Alen. Aku tidak akan membiarkanmu pergi." Tegas Ben yang seketika membuat wajah Alena berubah murung.
Alena menundukkan kepalanya, tampaknya dia akan kembali menangis lagi. Dan gerakannya saat ini adalah suatu cara untuk menyamarkan air matanya.
"Jangan memulainya lagi Alen! Kau sudah terlalu banyak menangis akhir-akhir ini." Ucap Ben mendekatkan dirinya pada Alena.
"Kau jahat Ben. Kau ingin mengurungku dirumah ini. Aku hanya ingin pergi sebentar bersama Robin, tetapi kenapa kau tidak mengizinkannya?" Ucap Alena sesenggukan.
"Mommy jangan menangis. Robin tidak apa-apa jika kita tidak jadi pergi. Robin tidak ingin Mommy sakit lagi." Robin turun dari kursinya dan berjalan menghampiri Alena. Dia menyentuh telapak tangan Mommynya, dan mengecupnya berkali-kali.
Alena menggenggam tangan Robin, lalu tersenyum kepada putranya itu. Dia merasa terharu dengan perhatian Robin untuknya. Dia juga tidak menyangka jika Robin kini mulai bisa menghilangkan sikap manjanya. Mungkin ini efek karena sebentar lagi Robin akan menjadi seorang Kakak.
"Kita akan tetap pergi sayang, Mommy sudah berjanji padamu. Benar kan Ben?" Tanya Alena dengan wajah memohonnya.
Ben yang melihat wajah Alena pun jadi tidak tega untuk melarang istrinya pergi keluar. Dia pun akhinya menyetujui permintaan Alena dengan beberapa syarat.
"Baiklah, Alen kalian boleh pergi. Tetapi Alex akan ikut bersama kalian! Dan satu lagi, segera hubungi aku jika terjadi sesuatu!" Tegas Ben yang disambut senyum merekah diwajah istrinya.
"Terimakasih Ben. Aku mencintaimu." Ucap Alena yang kemudian mengecup singkat pipi kiri suaminya.
**
Siang hari, sepulang Robin dari sekolah. Alena langsung mengajaknya pergi, diantar oleh Alex orang kepercayaan suaminya. Mereka akan berkunjung kerumah panti, tempat Alena dibesarkan.
Mobil yang membawa keduanya, kini sudah sampai dipekarangan sebuah rumah sederhana. Rumah satu lantai dengan nuansa putih yang mendominasi. Halaman depan rumah tersebut tampak luas beralaskan rerumputan. Beberapa jenis tanaman dan juga pepohonan tampak asri menyejukkan.
Alena sangat merindukan tempat ini. Halaman luas tempatnya bermain dahulu. Tempat yang menjadi favoritenya untuk bermain kejar-kejaran bersama Elen. Entah kenapa fikirannya kini tertuju pada Elena. Wanita yang dulu pernah menjadi sahabat baiknya. Tetapi itu semua tak bertahan lama. Sebab setelah mereka dewasa, mereka justru tampak saling bermusuhan.
"Kau datang kemari Alena?" Sapa seorang wanita paruh baya yang tampak berjalan keluar menyambut kedatangannya.
"Haii, Ibu Deasy. Bagaimana kabarmu?" Balas Alena memeluk wanita paruh baya tersebut.
"Seperti yang kau lihat. Aku baik-baik saja." Ucap Ibu Deasy mengurai pelukannya. "Ohh haii.. pria tampan, siapa namamu?" Tanyanya pada Robin yang berdiri disamping Alena.
"Aku Robin, Grendma." Jawab Robin menampakkan deretan gigi susunya.
"Kau lucu sekali boy, ayo kita masuk!" Ajak Ibu Deasy pada keduanya.
Mereka pun masuk kedalam rumah panti tersebut. Beberapa anak kecil yang mengenali Alena tampak menghampiri dirinya. Mereka memeluk Alena secara bersamaan, hingga tubuhnya mundur beberapa langkah. Robin yang melihat itu pun langsung menyingkirkan satu per satu anak tersebut, hingga tidak ada lagi yang memeluk Alena.
"Jangan memeluk Mommy terlalu kencang, nanti adik bayiku bisa terluka!" Marah Robin pada anak-anak panti tersebut. Tampaknya sikap arogan Ben menurun pada putranya.
Seluruh mata kini menatap pada Alena. Mereka baru saja mecerna perkataan Robin beberapa detik lalu. Sedangkan Alena hanya bisa terseyum menanggapi tatapan mata dari orang-orang disekitarnya.
"Kau sedang mengandung, Alena?" Tanya Ibu Deasy dengan raut wajah bahagianya.
Alena mengangguk pelan, membuat Ibu Deasy langsung kembali memeluknya. Sedangkan Robin kini tampak sudah kembali akrab dengan anak-anak panti lainnya. Memang begitulah dunia anak-anak, mereka tidak pernah saling bermusuhan. Mereka hanya akan marah beberapa detik saja, lalu setelahnya dia akan melupakannya.
Ibu Deasy membawa Alene masuk kedalam ruangannya untuk beristirahat. Meninggalkan Robin yang sedang asik bermain dengan teman-teman barunya. Robin memang mudah akrab dengan siapa saja. Pembawaannya yang ramah dan ceria, membuat siapa saja nyaman berada didekatnya.
"Jadi, sudah berapa bulan usia kandunganmu Alena?" Tanya Ibu Deasy memulai percakapan.
"Baru 8 minggu." Jawab Alena mengelus perut ratanya
"Kau harus menjaganya dengan baik. Ibu selalu berdoa untuk kebahagianmu bersama keluargamu."
"Terimakasih Bu. Berkat doa dari Ibu, aku bisa memiliki keluargaku yang sekarang."
Ibu Deasy tersenyum sekilas, sebelum akhinya kembali bertanya dengan hati-hati. "Ada yang ingin Ibu tanyakan padamu. Apakah benar jika suamimu itu adalah mantan suami dari Elena?"
Alena tersenyum sambil menganggukan kepalanya. "Itu benar Bu. Apakah Elena yang mengatakannya?"
"Iya. Beberapa hari yang lalu dia sempat datang kemari dan mengolok-olok dirimu. Tetapi aku yakin jika apa yang diucapkannya tidaklah benar. Aku yakin jika kau adalah wanita yang baik Alena. Aku yang membesarkan dirimu, dan aku tahu betul bagaimana sifatmu."
"Dia memang belum berubah. Aku tidak tahu lagi bagaimana cara untuk kembali berbaikan dengannya."
"Ini bukan salahmu Alena. Kau sudah cukup banyak mengalah darinya. Dan jangan pernah terpengaruh pada ucapannya. Kau harus tetap berusaha untuk mempertahankan rumah tanggamu!" Nasihat Ibu Deasy begitu memotivasi. Membuatnya yakin jika pilihannya saat ini adalah pilihan yang terbaik.
"Aku akan berusaha." Senyum Alena.
**
Sudah hampir 20 kali Ben menghubungi Alena, tetapi istrinya itu tidak mau menjawab telepon darinya. Dan Ben yang merasa geram pun langsung menghubungi Alex untuk memastikan segalanya.
"Iya, Tuan." Terdengar suara Alex dari sebrang sana.
"Dimana Alena? Apakah dia baik-baik saja? Kenapa dia tidak menjawab telepon dariku?" Tanya Ben bertubi-tubi.
"Nyonya masih berada dipanti asuhan bersama Tuan muda, Tuan. Mereka baik-baik saja. Nyonya tidak menjawabnya teleponnya karena mungkin beliau sedang mengobrol bersama Ibu panti tersebut." Jelas Alex memberikan laporannya.
"Baiklah. Suruh dia kembali menghubungiku setelah keluar dari panti." Pinta Ben yang langsung dibalas ucapan mengerti dari orang kepercayaannya itu.
Kekhawatiran Ben kini sudah melampaui batas. Terlebih setelah dia tahu jika ada seseorang yang tengah mengincar nyawa istrinya. Dia sudah menyewa beberapa detektif untuk menyelidiki kasus kecelakaan yang melibatkan mobilnya. Meskipun istrinya itu tidak menjadi korban dan baik-baik saja. Tetapi Ben tetap khawatir jika suati saat nanti sang pelaku kembali melancarkan aksinya.
Ben meletakkan kembali ponselnya, lalu memulai lagi pekerjaan yang sempat tertunda.
TO BE CONTINUED.