Chereads / BEN ABRAHAM / Chapter 26 - 26. Fakta Kecelakaan Alena

Chapter 26 - 26. Fakta Kecelakaan Alena

"Apa yang kau katakan Alen? Aku tidak akan mungkin menyakiti anakku sendiri." Tegas Ben dengan wajah seramnya.

"Kau tidak pernah mencintaiku Ben. Aku tahu itu. Kau menjadikan ku istrimu hanya karena permintaan Robin. Aku paham semua itu Ben. Dan sekarang aku tidak ingin menjadi beban untukmu lagi. Aku akan membesarkan anak ini sendiri, kau tidak perlu menganggapnya sebagai anakmu." Alen berucap dengan berlinang air mata. Entah mendapatkan keberanian dari mana, hingga dia bisa berbicara seperti itu.

Hati Ben sakit mendengar ucapan Alena yang sarat akan kepiluan. Dia tidak menyangka jika dirinya sudah menyakiti hati Alena begitu dalam. Dia memang bodoh karena tidak bisa memahami isi hatinya sendiri. Alena begitu polos dan baik hati. Sedangkan dirinya, hanyalah pria arogan dan pemarah.

Selama ini Alena selalu berusaha menjadi istri dan Ibu yang sempurna. Tetapi Ben justru kebalikannya. Dia hanya bisa memberikan luka dan kesedihan untuk istrinya.

"Aku sadar Ben, jika aku bukanlah wanita yang sempurna. Aku hanya wanita miskin yang bekerja sebagai pelayan kaffe. Aku tidak seperti wanita-wanita lainnya yang sering kau temui diluar sana. Bahkan aku juga tidak bisa menjadi seperti Elena yang----" Ucapan Alena terhenti, kala tiba-tiba Ben menempelkan bibirnya pada bibir Alena.

Ben melumat lembut bibir merah delima milik istrinya. Dia melakukannya dengan begitu pelan dan hati-hati. Seolah ingin menikmati setiap momen yang mereka lalui saat ini.

Alena memejamkan matanya, membuat setitik air mata jatuh membasahi pipinya. Ben menjilati jejak air mata tersebut, lalu mengecup kedua mata istrinya yang masih terpejam.

"Jangan berkata seperti itu lagi, Alena! Kau harus selalu ada disampingku!" Memeluk erat tubuh mungil Alena, seolah tidak ingin sosok istrinya itu menghilang.

Alena kembali menitihkan air mata. Tanpa memperjelas kalimatnya pun, Alena sudah tahu maksud dari ucapan suaminya itu. Dia juga mulai dapat melihat adanya cinta dari sorot mata suaminya. Terlebih pelukan eratnya saat ini, menandakan jika Ben sangat takut kehilangan istrinya.

Keduanya larut dalam suasana yang mereka ciptakan sendiri. Hingga tidak sadar jika kini putra kecilnya sudah berdiri diambang pintu bersama orang kepercayaan mereka.

"Mommy, Daddy... kalian berpelukan tanpa aku?" Teriak Robin yang kemudian berlari dan langsung memeluk kaki Daddynya.

Ben membawa tubuh mungil itu kedalam gendongannya, lalu kembali memeluk Alena dengan Robin yang berada ditengah-tengah mereka. Robin bergantian mengecupi pipi Mommy dan Daddynya, kemudian mengalungkan lengannya pada leher kedua orang tuanya.

Alex yang melihat kehangat keluarga majikannya itu, hanya bisa tersenyum dari ambang pintu. Dia juga ikut merasakan kebahagiaan saat melihat Ben dan keluarganya bahagia.

**

"Sayang sekali dia masih hidup. Sepertinya Alena memang memiliki seribu nyawa." Gumam seorang wanita yang baru saja mematikan layar kaca dihadapannya.

Dia baru saja menyaksikan acara berita yang menayangkan tentang tragadi kecelakaan yang dialami oleh Alena. Dia memang selalu iri dengan kebahagiaan Alena. Entah sejak kapan perasaan seperti itu tumbuh. Padahal dulu mereka dibesarakan bersama layaknya seorang saudara kandung. Mereka bahkan diberi nama yang hampir serupa, hingga banyak yang menganggap jika keduanya adalah saudara kembar.

Tetapi masa lalu itu, kini seolah tidak berarti lagi baginya. Dia sudah berubah menjadi sosok wanita yang angkuh dan sombong, tidak ingin jika ada wanita lain yang mengalahkan dirinya. Terlebih saat ini Alena sudah mengambil alih posisinya sebagai Ibu dari Robin. Dia tidak rela jika Alena menempati posisinya dan berbahagia dengan anak beserta mantan suaminya.

"Mommy...." Teriak anak kecil yang berlari kearahnya dan langsung memeluk tubuhnya. "Kenapa Mommy tidak menjemputku?" Tanya anak kecil itu lagi dengan wajah lucunya.

Elena menatap malas melihat tingkah manja putrinya. Setiap hari, tingkat kemanjaan putrinya itu semakin bertambah. Terlebih Gion suaminya itu selalu memanjakan putri mereka, hingga membuat putrinya bertingkah manja kepada dirinya setiap hari seperti ini.

"Berhentilah bersikap manja seperti ini, Olfi! Mommy sangat tidak menyukainya. Lagi pula Daddy sudah menjemputmu bukan? Jadi untuk apa Mommy juga menjemput dirimu." Tegas Elena membuat wajah Olfi seketika muram.

Olfi melepaskan pelukannya pada pinggang Elena, lalu menundukkan kepala saat mendengarkan kemarahan sang Mommy. Dia memang paling takut jika sudah mendengar nada tinggi yang keluar dari ucapan kedua orang tuanya.

"Pergilah kekamar dan ganti bajumu, Olfi! Daddy akan membuatkan omelet kesukaanmu." Suara Gion mulai mengintrupsi. Dan Olfi yang diperintah pun, langsung melaksanakan perintahnya.

Olfi berlari menaiki anak tangga untuk menuju kamarnya. Sementara Gion kini berjalan mendekat kearah istrinya yang sejak tadi menampakkan wajah masamnya.

"Kenapa kau bicara sekasar itu kepada putrimu sendiri Elena? Olfi masih kecil, jadi wajar jika dirinya bertingkah layaknya anak-anak seumurannya. Kenapa kau justru memarahinya seperti tadi?" Gion sedikit kesal melihat tingah istrinya yang semakin hari juga semakin menyebalkan. Masalah dalam rumah tangga mereka tampaknya sudah terlalu berat. Dan Elena yang tidak bisa menerima keadaan, justru semakin memperburuk hubungan keduanya.

"Ada apa lagi Gion? Kenapa kau selalu saja mengomentari tindakanku? Seharusnya kau introspeksi diri! Tanyakan kepada dirimu sendiri, apakah semua tindakanmu itu sudah benar? Apakah benar menghambur-hamburkan uang hanya demi seseorang yang hilang bertahun-tahun lalu?" Sengit Elena tidak mau kalah.

"Kau selalu saja mengaitkan masalah yang ada dengan masalah pribadiku. Aku hanya ingin menemukan adikku Elena! Apakah itu salah?"

"Tidak. Tidak ada yang salah pada dirimu. Kau selalu banar, dan aku yang salah."

"Ada apa sebenarnya denganmu, Elena? Kau tidak seperti Elena yang ku kenal dulu!"

"Iya. Aku memang sudah berubah, Gion. Dan itu semua karena dirimu! Kau yang sudah membuatku kecewa, karena tidak mau mendengarkan ucapanku." Elena berlalu pergi meninggalkan ruang tengah. Sementar Gion mengacak rambutnya kasar, seolah jengah dengan situasi yang ada.

**

"Kerahkan semua relasimu untuk mencari tahu siapa yang sudah menyabotase mobil Alena! Aku ingin pelakunya segera ditangkap, dan berikan kompensasi kepada keluarga korban. Jelaskan kepada mereka juga jika kasus ini masih berada didalam penyelidikan." Ucap Ben sebelum mengakhiri panggilan teleponnya.

"Apa yang sudah kau bicarakan ditelepon tadi Ben? Apa benar jika mobil itu sudah disabotase?" Tanya Alena saat Ben sudah kembali duduk disamping barangkarnya.

"Iya, Alen. Ada yang dengan sengaja memotong selang rem mobil yang kau kendarai." Jelas Ben.

"Bagaimana mungkin Ben? Jika memang itu benar, tentu aku dan Robin tidak akan selamat. Mobil itu aku gunakan untuk mengantar Robin kesekolah dahulu sebelum ku pinjamkan kepada Silvi."

Alena benar. Jika memang mobil itu disabotase sajak berada dirumah, kemungkinan besar mobil itu akan mengalami kecelakaan sebelum sampai di kaffe tempat Silvi bekerja. Tetapi pada kenyataannya, mobil itu masih baik-baik saja saat dikendarai Alena untuk menemui Silvi dikaffe.

"Kau benar Alen. Pelakunya tidak mungkin melakukan itu saat mobil masih berada dirumah. Kemungkin dia melakukannya saat mobil itu kau parkir didepan kaffe." Jelas Ben menunjukkan analisanya.

"Siapa yang sudah tega melakukannya Ben? Kenapa dia mencelakai Silvi?" Tanya Alena yang mulai berkac-kaca.

"Incarannya bukanlah Silvi, Alen. Tetapi dirimu. Pelakunya tahu jika mobil itu kau yang mengendarainya dan membawanya menuju kaffe. Tetapi dia tidak tahu jika mobil itu akan kau pinjamkan kepada Silvi."

"Jadi maksudmu? Pelakunya itu ingin membunuhku?" Tanya Alena lagi dengan raut wajah tegangnya.

"Iya, Alen. Ada seseorang yang ingin mencelakai dirimu. Dia sengaja menyabotase mobil itu agar semua orang menganggap jika itu adalah murni sebuah kecelakaan."

"Tapi siapa Ben? Siapa yang ingin membunuhku?" Alena semakin panik. Tidak terlintas satu nama pun didalam otaknya.

Selama ini Alena memang tidak pernah memiliki musuh. Hubungannya dengan para karyawan kaffe tempatnya dulu bekerja juga baik-baik saja. Lalu siapa yang mengincar nyawanya? Apa kesalahan yang dilakukan oleh Alena, hingga membuat orang tesebut ingin mencelakai dirinya?

Alena tidak tahu pasti apa jawabannya. Dia sendiri juga merasa tidak memiliki musuh, dan masalah apa pun dengan orang-orang disekitarnya.

"Tenanglah, Alen! Tetap berada disisi ku, dan kau akan baik-baik saja!" Mengecup kening istrinya lama, dan kembali berkata. "Tidak akan ku biarkan seorang pun menyakitimu dan calon anak kita." Tegas Ben yang disambut pelukan erat oleh istrinya.

TO BE CONTINUED.