Chereads / BEN ABRAHAM / Chapter 21 - 21. Perasaan Ben

Chapter 21 - 21. Perasaan Ben

Malam yang gelap sudah tergantikan dengan terangnya pagi. Sepasang suami istri ini, masih menikmati tidurnya dan tak menghiraukan datangnya matahari. Ben masih setia memeluk tubuh istrinya, menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher Alena.

Alena pun masih merasa tenang dalam pelukan suaminya. Merasakan kehangatan dari tangan kekar yang melilit tubuhnya. Ben memang sangat posesif. Meskipun dalam keadaan terpejam pun, dia enggan untuk melepaskan istrinya.

"Mommy." Teriak Robin sambil menggedor pintu kamar Daddynya berkali-kali.

Suara gedoran pintu dari arah luar kamarnya, membuat Alena terbangun. Dia mengerjapkan mata beberapa kali untuk menetralisir cahaya yang masuk kedalam indra pengelihatannya. Saat kesadarannya sudah mulai penuh, Alena terkejut mendapati dirinya sedang tertidur diranjang bersama sang suami.

Dia masih ingat jika semalam dirinya memutuskan untuk tidur disoffa. Lalu bagaimana bisa pagi harinya dia terbangun dan sudah ada didalam kamar? Siapa yang memindahkan tubuhnya? Apakah itu Ben?

Alena enggan untuk berfikir berat di pagi hari. Dia pun bangun dan berusaha keras untuk menyingkirkan tangan Ben yang seolah tak mau lepas dari pinggangnya. Ben memang keras kepala, walau dalam keadaan tidur pun dia tetap sama.

Dengan mengerahkan segala tenaga yang dimilikinya, akhirnya Alena pun berhasil keluar dari lilitan tangan suaminya. Tangannya kini terulur untuk meraih jam weker diatas nakas. Menyetel alaram sesuai jam bangun tidur Ben. Dia tidak mau direpotkan dengan harus membangunkan suaminya itu. Dia masih marah, dan masih sangat sakit jika harus mengingat setiap ucapan kasar yang diontarkan oleh suaminya.

Alena berjalan mendekati pintu, dan suara gedoran itu semakin jelas dan keras memasuki indera pendengara nya. Dia membuka pintu tersebut, dan mendapati Robin yang langsung memeluk kaki jenjangnya.

"Mommy, kenapa Mommy tidak tidur dikamarku? Mommy bilang akan tidur bersamaku. Tapi saat aku terbangun, Momny tidak ada disampingku." Rengek Robin dengan terus memeluk kaki Alena. Membuatnya mendesah pelan, karena mengingat sikap Ben yang menurun kepada putranya.

"Maafkan Mommy sayang. Mommy tidak kemana-mana. Lihat, Mommy ada disini bersamamu!" Berjongkok untuk menyamakan tinggi sang putra, lalu membawanya kedalam pelukan.

Robin memeluk tubuh Alena dengan begitu erat, seolah tak ingin membiarkan Mommynya itu pergi dari jangkauannya.

Keduanya kini sudah berada diarea dapur. Alena tadi menggendong putranya, dan membawanya menuju dapur untuk menyiapkan sarapan. Alena masih sibuk memasak beberapa bahan makanan yang belum matang. Sedangkan Robin membantu dirinya untuk memata hasil masakannya diatas meja makan.

"Mommy, lihat!" Teriak Robin memamerkan hasil karyanya.

Alena tersenyum menanggapinya, sambil mengacungkan ibu jarinya kearah sang putra. "Bagus sekali, Robin. Bisa tolong ambilkan piringnya, sayang?"

Robin menganggukkan kepala, lalu memberikan piring yang dibawanya kepada Alena. Alena menerimanya, dan mengucapkan terimakasih. Lalu dia meletakkan masakan terakhirnya itu diatas piring yang tadi dibawakan oleh sang putra.

"Ayo, makanlah duluan!" Pinta Alena mendudukan diri disamping sang putra.

"Mommy, apa besok aku sudah boleh pergi ke sekolah?" Tanya Robin dengan senyum kecilnya, membuat Alena gemas dan langsung mengecup bibir mungil sang putra.

"Tentu, apa sudah tidak terasa pusing lagi?" Tanya Alena masih sedikit mengkhawatirkan kondisi sang putra.

Robin menggelengkan kepalanya. Pandangannya pun tak pernah lepas dari wajah cantik Mommynya. "Tidak Mommy, aku sudah sembuh. Sudah tidak mual juga." Jelasnya sambil tersenyum lebar, membuat Alena sedikit merasa lega.

Tanpa keduanya sadari, sejak tadi ada sepasang mata yang memperhatikan gerak-gerik mereka.

"Alen." Panggil suara bariton yang tidak asing lagi bagi pendengaran Alena.

Keduanya kompak menoleh pada sumber suara, tetapi Alena lebih dulu memalingkan wajahnya. Dia tidak ingin melihat wajah suaminya, yang mungkin akan membuatnya kembali emosi.

"Kenapa kau tidak membangunkanku?" Tanya Ben yang kini sudah duduk dihadapan mereka.

"Aku sudah menyetel alaram untuk membangunkanmu." Jawab Alena dengan nada ketusnya. Dia pun juga engan untuk menatap Ben yang kini sudah duduk dihadapannya.

"Tidak perlu menggunakan alaram, Alen! Kau bisa membangunkan diriku!" Balas Ben sedikit meninggikan nada bicaranya.

"Aku tidak mau!" Alena berjalan pergi menuju dapur, meninggalkan ayah dan anak tersebut diruang makan.

Ben mendesah pelan melihat tingkah istrinya. Dia tahu betul jika Alena masih marah padanya, dan sepertinya akan butuh waktu lama untuk mencairkan emosi tersebut.

"Daddy, kenapa dengan Mommy?" Tanya Robin menatap kearah Deddynya. Tetapi Daddynya itu justru tengah menatap punggung Mommynya yang tengah membelakangi mereka.

"Mommymu sedang sensitive. Sudah, lanjutkan saja sarapanmu!" Balas Ben yang kemudian mulai menyantap masakan Alena bersama sang putra.

"Sudah habis sayang?" Tanya Alena yang baru saja kembali kemeja makan. Dia tersenyum melihat piring sang putra yang sudah bersih tanpa adanya sisa. "Mau lagi, hem?" Mengelus kepala Robin yang kini sedang menganggukkan antusias.

Ben menatap Alena dengan mata berbinar. Entah kenapa senyuman Alena selalu berhasil membuat hatinya meleleh. Terlebih interaksi antara dirinya dan Robin, membuat bagian hati terdalam Ben mulai menghangat.

Perasaan seperti ini benar-benar asing untuk Ben. Ben tidak tahu jika pintu hatinya sudah mulai terbuka untuk Alena. Dia masih saja menganggap perasaan ini sebagai sebuah perasaan yang biasa. Perasaan kagum dan bahagia saat melihat Robin putranya bisa kembali tertawa.

"Putra Mommy ternyata lapar ya? Tunggu disini sebentar, Mommy akan mengambilkannya untukmu." Alena kembali kedapur untuk menyiapkan makanan tambahan yang diinginkan Robin.

Tak butuh waktu lama, Alena kini sudah kembali dengan membawakan makanan untuk sang putra. "Ayo dimakan, sayang! Ohh ya, Mommy lupa belum membuatkan mu susu. Tunggu sebentar ya!" Menepuk pelan dahinya, lalu kembali melangkah menuju dapur.

Ben menghela nafas lagi. Sepertinya dia benar-benar diacuhkan oleh Alena. Lihat saja, istrinya itu juga lupa membuatkan kopi untuknya. Tetapi dia hanya memperhatikan Robin saja.

"Ini susumu." Meletakkan segelas susu dihadapan putranya.

"Terimakasih Mommy." Jawab Robin dengan senyumnya.

"Makanlah yang kenyang. Mommy mau membersihkan kamarmu dulu." Jelas Alena yang kembali melangkahkan kakinya untuk meninggalkan meja makan.

Ben mengerutkan keningnya, saat dia mulai mencerna perkataan Alena. Dengan segera dia bangkit dari posisinya, lalu berjalan dengan langkang panjang untuk menyusul istrinya.

"Apa yang kau lakukan, Alen?" Tanya Ben saat sudah berada didalam kamar sang putra. Dia menarik lengan Alena dengan kasar, hingga membuat tubuh istrinya itu berbalik menghadapnya.

"Menyapu kamar Robin." Jawab Alena santai sambil memalingkan wajahnya. Dia masih enggan untuk bertatapan langsung dengan Ben.

"Hentikan, ku bilang hentikan!" Teriak Ben dengan penuh penekanan. Membuat Alena kembali harus menatap kearahnya.

"Kenapa?" Alena bertanya dengan wajah datarnya. Pada hal didalam hatinya dia mulai sedikit cemas. Dia takut jika nanti Ben akan kembali melukai hatinya dengan ucapan yang menyakitkan.

"Ada Finesia yang bisa membersihkannya, tidak perlu dirimu!"

"Kenapa harus Finesia? Kau kira aku tidak bisa membersihkannya?"

Ben mengeram, dia memejamkan mata sebentar dan kembali berucap, "Dengar Alen, aku tidak mau berdebat denganmu karena hal sepele seperti ini. Ku bilang kau tidak perlu melakukannya! Kau cukup mengurus diriku dan juga Robin."

"Dirimu? Sejak kapan kau meminta diurus olehku, Ben? Bukankan kemarin kau sendiri yang mengatakan, jika kau tidak ingin aku mencampuri urusan pribadimu? Maka sekarang anggap saja aku sebagai pelayanmu, atau mungkin pengasuh Robin!" Ucap Alena menggebu-nggebu. Dia berkata dengan menahan rasa sesak dihatinya. Ingin rasanya air mata itu dia keluarkan sekarang juga. Tetapi dia tidak mau dianggap sebagai sosok wanita yang lemah. Dia tidak mau terlihat lemah dihadapan Ben. Dia tidak ingin Ben mengasihani dirinya.

"Sampai kapan kau akan seperti ini, Alen?" Tanya Ben dengan suara datarnya. Sepertinya dia mulai bisa mengendalikan dirinya agar tak terpancing emosi, dan membuat segalanya semakin kacau.

"Sampai aku bosan." Jawab Alena yang kemudian menjatuhkan sapunya, lalu keluar dari kamar Robin.

TO BE CONTINUED.