Cahaya matahari mulai memasuki kamar melalui cela tirai putih. Alena membuka matanya, merasakan hembusan nafas panas yang menerpa kulit telanjangnya. Dilihatnya Ben masih terpejam dengan kepala yang sejajar pada dadanya.
Alena jadi tersipu malu, mengingat bagaimana percintaan penuh gairah mereka semalam. Ya, setelah Ben memeluk tubuhnya malam itu. Dia langsung mengangkat tubuh istrinya dan membaringkannya diranjang. Kedunya saling menyalurkan hasrat masing-masing yang masih terpendem. Saling menggoda dan menyentuh tubuh pasangannya, hingga kenikmatan itu tiba. Mengulanginya beberapa kali, sampai akhirnya percintaan itu diakhir karena keduanya mulai letih.
Setelah kegiatan itu selesai pun, Ben tetap saja menggoda istrinya. Memainkan lidanya dan meremas dengan gemas kedua bukit kembar milik istrinya. Ben seakan tidak pernah puas dengan apa yang sudah mereka lakukan tadi. Dan berakhirlah seperti ini, Ben yang masih terlelap dengan kepala yang berhadapan dengan dada istrinya. Tangannya pun tak mau lepas dari pinggang Alena, memeluk tubuh istrinya dengan sangat posesif.
Alena tampaknya sudah benar-benar jatuh dalam peson Ben. Dia seakan menjadi penurut dan patuh terhadap setiap ucapan dari suaminya. Apakah ini suatu tanda jika Alena mulai mencintai Ben sebagai suaminya? Tampaknya memang iya. Alena sudah memasrahkan hati dan juga raganya untuk dimiliki Ben, suami sahnya.
"Ben bangunlah, kau harus bekerja!" Menguncang tangan kekar suaminya yang sejak tadi membelit tubuh rampingnya.
Ben tak bergemi sedikit pun. Dia bahkan tampak tenang dalam tidurnya, membuat Alena sedikit kesal dengan pelukan erat Ben yang membuatnya sulit bergerak.
"Ayolah Ben, ini sudah sangat pagi! Aku harus segera mengurus Robin dan menyiapkan sarapan untukmu." Masih berusaha melepaskan tangan suaminya, sampai tidak senganja dadanya menekan pada wajah suaminya.
Ben langsung melahap benda yang menjadi favoritenya itu. Menghisap dengan kencang, hingga membuat Alena kembali mendesahkan namanya. "Ouuhh, Ben...."
"Kau mencoba menggodaku, Alen?" Tanya Ben setelah menyudahi aktivitasnya tadi.
Alena memukul bahu Ben, lalu mendorongnya untuk menjauhi tubuhnya. "Hentikan itu Ben! Aku sama sekali tidak berniat menggodamu. Kau yang sudah memulai hal tabuh itu di pagi hari."
Ben menautkan alisnya, merasa bingung dengan ucapan istrinya. Lihatlah, siapa yang sedang bicara saat ini. Bagaimana bisa istrinya itu menganggap jika apa yang sudah mereka lakukan adalah sebuah hal yang tabuh. Mereka sudah menikah, dan hal seperti itu wajar dalam hubungan suami istri.
"Kau istri ku, Alen! Aku berhak menyentuhmu kapan pun aku mau." Mengecup kedua bulatan indah yang terpampang dihadapannya.
Darah Alena mulai mendidih lagi. Bagaimana bisa hanya sebuah kecupan singkat, mampu membangkitkan gairahnya kembali. Suaminya itu memang selalu pandai menggoda, membuatnya ingin merasakan lagi kenikmatan duniawi.
Namun mendadak Ben justru menjauhkan tubuhnya, menurunkan kaki dari atas ranjang dan berjalan memasuki kamar mandi meninggalkan istrinya yang sedang dilanda gairah.
Alena menatap heran pada punggung suaminya yang sekarang hilang tergantikan oleh pintu kamar mandi yang tertutup. Dia merasa kecawa dengan sikap suaminya itu. Bagaimana bisa Ben membuatnya bergairah, lalu pergi begitu saja. Dia merasa tidak diharapkan sekarang. Ben hanya akan melakukannya saat dia sedang ingin saja. Dan ketika Alena yang menginginkannya, dia tidak melakukannya.
Entah kenapa hati Alena sakit saat memikirkan hal itu. Dia merasa jika Ben menikahinya hanya untuk melampiaskan kebutuhannya saja. Alena sadar jika selama ini Ben tidak pernah mengucapkan cinta kepadanya. Dia hanya bilang, jika dia menyukai Alena. Suka dan cinta adalah dua hal yang berbeda. Bisa jadi Ben menyukai Alena karena dia adalah wanita yang baik dan cocok untuk menjadi Ibu pengganti bagi putranya.
Alena berusaha menguatkan hatinya, tidak ingin terlihat lemah sebagai seorang wanita. Dia kini merapatkan selimut yang membalut tubuhnya, dan berjalan menuju lemari untuk mengambil pakaiannya. Setelah mengenakan pakaianya, Alena berjalan keluar dari kamarnya dan menuju kamar Robin untuk membangunkan sang putra. Mungkin jika sedang bersama Robin, dia bisa sedikit melupakan kesedihannya.
**
Suasana pagi ini sedikit berbeda. Alena tidak terlalu banyak bicara dan justru menyibukkan dirinya didapur. Robin memakan sarapannya dengan tenang, tidak seperti kemarin yang selalu beralasan mual. Demamnya sudah turun, dan suhu tubuhnya pun sudah kembali normal. Namun Alena tetap tidak mengijinkan putranya untuk pergi ke sekolah, karena Robin masih harus istirahat untuk memulihkan kondisinya.
"Selamat pagi, Robin." Ucap Ben yang baru saja tiba diruang makan, lalu mendudukan diri pada kursinya.
"Selamat pagi, Daddy." Balas Robin kembali menggigit roti isinya.
Ben mengambil dua lembar roti tawar dan menaruhnya dipiring. Lalu meraih selai kacang yang ada ditengah meja, dan mulai mengoleskannya pada roti. "Dimana kopiku Alen?" Teriaknya masih dengan kegiatan meracik rotinya.
Di dapur, Alena memang sedang membuatkan kopi untuk suaminya. Dia merebus air, lalu menuangkannya pada cangkir yang sudah terisi bubuk kopi dan gula. Dia memang sedang membuat kopi, tetapi fikirannya sedang tidak disini.
"Alena kau mendengarkan ku?" Merasa tak mendapatkan jawaban dari istrinya, Ben berjalan menuju tempat Alena berada. Dia berdiri dibelakan istrinya, dan kembali bertanya, "Apa yang kau lakukan, Alen?" Tanyanya lagi saat melihat istrinya menuangkan air panas terlalu banyak pada cangkirnya, hingga membuat air itu tumpah dan menggenangi meja.
"Aaauww.." Teriak Alena kesakitan karena telapak tangannya terkena air panas. Dia sedang melamun tadi, hingga suara Ban membuatnya kaget dan tanpa sengaja menumpahkan air panas itu.
"Astaga, Alen. Tidak bisakah kau lebih berhati-hati!" Ben menarik tangan Alena, membawanya menuju tempat pencucian piring. Dia menyalakan kran dan membasuh tangan istrinya yang terkena tumpahan air panas.
Alena berusaha melepaskan tangan Ben yang membantunya. "Aku bisa sendiri, Ben. Kembali lah kemeja makan, nanti akan ku antar kopimu!" Ucap Alena masih berusaha menahan rasa sakit ditelapak tangannya.
Ben menatap istrinya dengan raut kebingungan. Pasalnya, Alena tidak pernah seperti ini sebelumnya. Apakah Alena sedang marah kepadanya, hingga membuat istrinya itu sedikit menjaga jarak dengannya. "Baiklah. Kau juga harus mengobati lukamu itu." Ben meninggalkan dapur untuk kembali duduk seperti sebelumnya.
"Zemiii.." Teriakan Alena melengking membuat Ben dan Robin menoleh kearahnya.
Tidak butuh waktu lama, wanita paruh baya yang baru saja dipanggilnya itu pun kini sudah ada dihadapannya. "Ada apa, Nyonya?" Tanya Zemi dengan wajah paniknya.
"Tolong kau siapkan lagi kopi untuk Ben. Aku akan kekamar untuk mengobati lukaku." Alena pergi meninggalkan dapur, melewati meja makan tanpa mengatakan apa pun pada suami dan anaknya itu.
Ben benar-benar tidak mengerti dengan tingakah istrinya itu. Sejak semalam hingga bangun tidur tadi, Alena masih baik-baik saja. Tetapi kenapa saat ini dia terlihat sangat kesal dan marah. Apakah memang ada sesuatu yang membuatnya kesal. Ben tidak tahu, dan tidak ingin mencari tahu. Mungkin saja siang nanti, Alena bisa berubah menjadi baik lagi.
"Robin, Daddy akan berangkat kerja dulu. Habiskan sarapanmu dan jangan lupa untuk meminum obat. Jika nanti Mommy bertanya, katakan jika Daddy sudah berangkat." Ben berdiri setelah menghabiskan roti isi dan juga segelas air putih didepannya. Dia berjalan kearah Robin dan mengecup keningnya.
"Iya Daddy, hati-hati dijalan." Jawab Robin dengan menunjukkan deretan gigi susunya.
Ben pergi meninggalkan rumah, lalu Robin tetap melanjutkan sarapannya. Dan setelah menghabiskan roti isinya dan juga susu vanila, Robin bergegas menaiki anak tangga untuk mencari Mommynya.
Tapat saat Robin hendak membuka pintu kamar Mommynya, Alena lebih dulu membukanya dan langsung menatap Robin dengan senyumannya. "Ada apa sayang, kau mencari Mommy?" Tanya Alena mengelus kepala sang putra.
Robin menganggukan kepala, dan menyadari adanya keanehan pada raut wajah serta suara Mommynya yang sedikit serak. "Apakah tadi Mommy menangis dikamar?" Tanya Robin dengan wajah khawatirnya. "Apa Mommy menangis karena Robin?" Tanyanya lagi dengan mata berkaca.
"Tidak sayang, Momny tidak menangis." Berjongkok, lalu membawa tubuh Robin kedalam pelukannya.
Alena merasa terharu dengan perhatian yang ditujukan oleh Robin untuknya. Sangat berbeda dengan Ben yang sama sekali tidak peka. Hatinya kembali bersedih jika harus mengingat sikap suaminya pagi ini.
Alena membawa Robin kekamarnya, dia akan menemani sang putra untuk bermain disana. Mungkin jika bersama Robin, Alena bisa kembali ceria dan melupakan kejadian tadi pagi. Kini Alena tampak sedang membatu Robin mewarnai gambarannya. Putranya itu sangat suka menggambar, terlebih menggambar wajah Daddynya dengan berbagai ekspresi. Alena tersenyum melihat hasil karya Robin yang menampakkan wajah aneh suaminya. Wajah Ben diberi warna cream serta garis-garis hitam pada bagian pipi hingga dagu.
Pasti Ben belum bercukur saat Robin menggambari ini. Pikir Alena.
Entah kenapa fikirannya selalu saja mengingat Ben. Walau sudah berusaha keras, namun Ben masih bersarang difikirannya.
"Nyonya Alena." Suara Finesia membawa kembali kesadaran Alena.
"Iya Finesia, ada apa?" Alena mendongakkan kepala, menatap Finesia yang tampak tergugup.
"Ada tamu yang mencari Tuan. Sudah saya katakan jika Tuan tidak ada dirumah, tetapi dia tetap memaksa."
"Kau tahu siapa dia Finesia?" Baru saja Alena bertanya, datanglah seorang wanita dengan gaya glamornya dari balik punggung Finesia.
"Aku yang dimaksud oleh pelayan ini, Alena." Ucapan wanita itu dengan sikap congkaknya.
"Kau Elena, jagalah ucapanmu! Meskipun Finesia hanya pelayan, tetapi sikapnya lebih baik dari dirimu!" Alena berdiri dari posisinya dan menatap Elena dengan penuh keberanian.
"Kenapa Alena, kau tidak suka aku datang kemari?"
"Katakan saja tujuanmu Elena, tidak perlu basa-basi!"
"Aku kemari untuk bertemu dengan putraku." Ucap Elena menatap pada Robin yang masih terduduk disana.
"Putramu? Robin juga sudah menjadi putraku, Elena." Balas Alena tak mau kalah. Sedangkan Robin hanya terdiam menatap keduanya.
"Tidak, dia hanya mempunyai satu Ibu. Bukan begitu Robin?" Tanya Elena menatap putranya. "Ayo katakan, sayang!" Meninggikan nada bicaranya, membuat Robin ketakukan dan bersembunyi dibalik punggung Alena.
"Lihatlah, dia saja takut melihatmu. Sudahlah, katakan saja apa tujuanmu kemari!"
"Ini pasti karenamu, Alena. Kau meracuni fikiran putraku. Kau pasti ingin balas dendam terhadapku bukan?" Elena berkata dengan nada tingginya, menunjukkan jika dirinya sedang dalam mode marah.
"Untuk apa aku melakukan itu? Dan aku sama sekali tidak berniat untuk balas dendam. Aku sudah bahagian dengan keluargaku sekarang, dengan suami dan putraku!" Tegas Alena membuat Elena samakin geram.
"Kau terlalu mudah ditipu Alena. Ben sama sekali tidak mencintaimu. Dia hanya memanfaatkan dirimu, menjadikanmu Ibu dari putra kami." Ucap Elena dengan seringainya. "Aku yakin kebahagiaanmu itu tak akan bertahan lama, jadi jangan sombong dulu! Aku sudah membuat suatu perjanjian dengan Ben, dan katakan padanya jika aku kemari untuk menagih janjinya." Ucapnya lagi, lalu berlalu pergi.
Perkataan Elena seolah memukul tepat pada lukanya. Luka yang sejak tadi pagi belum kering, kini ditaburi garam. Membuat rasa sakitnya menjadi berkali-kali lipat. Membuatnya kehilangan kepercayaan dirinya dan kembali terpuruk.
TO BE CONTINUED.