Alena berjongkok, menyamakan tubuhnya dengan tinggi badan sang putra. Mengusap kepala Robin dengan pelan, dan mulai bertanya, "Kenapa kau tidak mau berbicara dengan Ibumu, sayang?" Berucap dengan nada lembutnya, agar Robin tak kembali ketakutan. "Sayang, ada apa? Katakan kepada Mommy." Tanyanya lagi.
"Mommy, ak... aku tidak boleh bertemu dengan Ibu lagi." Ucap Robin pelan, membuat Alena mengerutkan keningnya.
"Kenapa tidak boleh? Siapa yang melarangmu, hem?" Menarik dagu sang putra agar mau kembali menatapnya.
"Daddy. Daddy bilang, jika aku ingin memiliki Mommy, maka aku tidak boleh bertemu dengan Ibu lagi." Jelas Robin kembali menundukkan kepalanya.
"Benarkah itu?" Tanya Alena kembali memastikan. Dan Robin hanya mengangguk, sambil tetap menundukkan kepalanya.
"Kau boleh bertemu dengan Ibu sayang. Dia Ibumu, dan dia juga yang sudah melahirkan dirimu." Jelas Alena diakhiri senyumnya.
Tetapi Robin tetap tidak bersemangat. Dia kembali menundukkan kepalanya, seraya memainkan jari-jari tangannya. "Tidak Mommy. Aku sudah berjanji kepada Daddy, dan aku tidak mau jika Mommy jauh dariku." Robin berkata dengan terisak pelan, hingga air matanya jatuh membasahi pipi.
Alena yang melihat tangisan sang putra, langsung membawa tubuh mungil tersebut kedalam pelukannya. Dia memeluk erat Robin, sambil berkata, "Mommy tidak akan pergi darimu. Mommy selalu ada disini bersamamu, sayang." Mengelus punggung sang putra, lalu menggendongnya dan membaringkan tubuh mungil itu diatas ranjang.
Alena kembali merenung, memikirkan tentang setiap perkataan yang keluar dari mulut Elena. Dia bertanya-tanya, kiranya apa perjanjian antara suaminya itu dengan mantan istrinya. Atau mungkin juga yang dikatakan oleh Elena memang ada benarnya.
**
Malam semakin larut, dan Ben yang baru saja tiba dirumah langsung memasukan mobilnya kedalam garasi. Dia kini tampak keluar dari dalam mobil, dan mulai memasuki rumah. Berjalan dengan langkah pelan, Ben menaiki satu per satu anak tangga yang akan membawanya pada lantai dua. Lantai dimana kamarnya bersama Alena berada.
Ben memang benar-benar pulang terlambat hari ini. Dia sedang sibuk mempersiapkan kerja sama baru dengan perusahaan besar yang kemarin dimenangkan olehnya. Ya, dia berhasil mengalahkan puluhan bahkan ratusan pesaing yang juga ingin melakukan kerja sama ini. Tapi nasib baik sedang berpihak padanya, hingga dia yang berhasil mendapatkan kontrak kerja sama terasebut.
Para petinggi diperusahaan tersebut sangat terkagum dengan hasil presentasi Ben. Mereka juga percaya, jika kerja sama ini akan menghasilkan banyak sekali keuntungan bagi kedua belah pihak. Dan tentunya, banyak sekali para pesaing yang merasa iri dengan keberuntungan yang dimiliki oleh Ben.
Langkah kakinya sudah berhenti tepat didepan pintu kamarnya. Ben membuka pelan pintu tersebut, lalu masuk kedalamnya. Disana dia melihat Alena yang masih terjaga. Istrinya itu tampak cantik dan menggoda dalam balutan piyama tidur satin berwarna kuning. Warna yang begitu kontras dengan kulit putihnya.
Ben melangkah mendekat, meletakkan tasnya diatas soffa dan mulai melepaskan dasinya. Pandangannya tak pernah lepas dari satu objek, yaitu istrinya. Istrinya yang selalu tampak cantik dan menggoda menurutnya.
"Kau baru pulang?" Tanya Alena dengan nada ketusnya.
Ben menganggukan kepala sebagai jawaban, lalu tangannya beralih untuk membuka kancing kemejanya satu persatu. "Bagaimana keadaan Robin?" Tanya Ben masih melanjutkan aktivitasnya tadi.
"Sudah baikan." Jawab singkat Alena yang kini duduk ditepi ranjang sambil menatap setiap gerak-geriknya.
"Kau sepertinya sudah sangat tidak sabaran, Alen. Kita pasti akan melakukannya, tetapi aku harus mandi dahulu." Ben berkata dengan menunjukkan seringainya. Sedangkan Alena tampak tak berselerah dengan apa yang diucapkan oleh suaminya.
Bukan karena dia tidak tahu masud dari perkataan suaminya itu. Dia tahu, bahkan sangat mengerti apa maksudnya. Tetapi hatinya masih sangat terluka karena sikap Ben tadi pagi. Ditambah lagi kedatangan Elena yang semakin memperburuk suasana hatinya.
Mengingat Elena, membuatnya semakin penasaran dengan apa maksud ucapan wanita itu tadi. Dia pun memberanikam diri untuk bertanya kepada suaminya. "Tadi Elena kesini."
Ucapan Alena, membuat gerakan Ben yang kala itu tengah membuka kancing kemeja terakhirnya terhenti. "Kenapa dia kesini?" Tanya balik Ben dengan wajah datarnya, tidak seperti tadi yang selalu menampakkan seringainya.
"Menagih janjimu."
"Janji?" Ben bertanya dengan mengerutkan keningnya
"Ya. Perjanjian apa yang kalian lakukan Ben?" Tanya Alena sedikit menuntut, tetapi tidak meninggikan nada bicaranya.
"Tidak ada." Jawab santai Ben, kemudian kembali melanjutkan aktivitasnya.
Alena tersenyum tipis mendengar ucapan dari suaminya. Dia masih belum bisa mempercayai apa yang sudah diucapkan oleh suaminya itu. "Jangan berbohong Ben! Kau masih belum pikun kan? Janji apa yang sudah kau buat dengan Elena, katakan padaku!"
"Sudah ku katakan Alena, tidak ada apapun. Dia hanya meminta uang dariku." Kesal Ben yang kemudian melepaskan kemeja dari tubuhnya dengan kasar.
"Uang? Uang apa?" Tanya Alena yang kini menghampiri suaminya.
"Aku melarangnya untuk bertemu dengan Robin. Dan dia menyetujuinya dengan satu syarat, dia menginginkan uang sebagai gantinya." Jelas Ben yang membuat Alena menggeleng tak percaya. Bisa-bisanya kedua orang tua ini menjadikan seorang anak layaknya barang yang bisa diganti dengan uang.
"Jadi kau berikan dia uang?" Tanya Alena yang disambut anggukan kepala oleh Ben. "Dengar Ben! Elena itu Ibu kandung Robin, jadi biarkanlah mereka bertemu." Kata Alena yang langsung mendapatkan tatapan tajam dari suaminya. Tampaknya Ben mulai kesal dengan sumua ucapannya tadi.
"Itu tidak akan mungkin terjadi! Jangan mengharapkan mereka bertemu, Alen!" Kata Ben dengan nada tingginya.
"Kau sungguh keterlaluan, Robin juga butuh Ibu kandungnya Ben. Pikirkan itu!"
"Cukup Alen! Bukankah kau Mommynya sekarang, dan kenapa juga kau justru membela Elena hah?" Ben benar-benar marah sekarang. Dia sudah lelah dan amat lelah jika harus beradu argument lagi dengan istrinya. Dia kini menatap Alena dengan tajam, menunjukkan emosinya melalu tatapan tersebut.
"Aku tidak membelanya, Ben! Dan kenapa juga kau dulu menikahinya, lalu sekarang kau amat sangat membencinya?" Alena membalas ucapan Ben takala kerasnya. Dia berusaha menunjukkan keberaniannya lagi, tidak ingin menjadi wanita yang lemah dan selalu berderai air mata.
Ben benar-benar emosi sekarang. Dia mencengkram bahu istrinya, membuat Alena meringis menahan rasa sakitnya. "Dengar, kau tidak perlu tahu masa laluku! Apa kau kira bisa mengatur hidupku, jika sekarang kau sudah menjadi istriku?" Ucap Ben dengan menunjukkan kembali seringainya.
Alena menepis tangan Ben yang ada dibahunya. Perkataan Ben tadi menusuk tepat dihatinya, menambahkan lagi luka pada tempat yang sama. Tanpa Alena sadari, air mata yang sejak tadi ditahannya kini mulai mengalir begitu saja. Kekuatan yang sejak tadi dipertahankannya kini sudah runtuh, terhantam perkataan Ben yang layaknya batu besar.
"Jadi menurutmu apa gunanya seorang istri hah? Hanya melayani suami diatas ranjang, lalu ditinggalkan saat sang suami mulai bosan? Aku juga punya hati dan perasaan Ben. Aku ingin merubah dirimu menjadi sosok Ayah yang lebih baik untuk Robin. Tetapi jika kau memang tidak membutuhkan diriku lagi. Maka baiklah Ben, aku tidak akan memperdulikan dirimu maupun menganggu kehidupan pribadimu! Anggap saja aku sebagai pengasuhnya Robin selama aku tinggal disini!" Setelah mengatakan segalanya, Alena bergegas keluar dari kamar. Meninggalkan Ben yang tampak kacau dengan raut wajah kesalnya. Ben mengusap wajahnya dengan kasar seraya mengumpat beberapa kali, seolah dengan begitu emosinya bisa sedikit redah.
**
Setelah cukup lama menenangkan dirinya, Ben akhirnya memutuskan untuk kembali menemui Alena. Dia tahu jika istrinya itu pasti merasa terluka dengan setiap kata yang terlontar dari bibirnya tadi. Alena adalah wanita yang baik, selama ini dia selalu menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai seorang istri maupun Ibu dengan sangat baik. Ini memang kesalah Ben, dia memang terlalu emosional jika menyangkut hal dimasa lalunya. Terlebih jika hal itu berkaitan dengan Elena, mantan istrinya.
Ben tidak bisa mengontrol emosinya, dia tidak ingin jika putranya itu tertular sikap buruk dari Ibu kandungnya. Dia ingin hanya Alena saja yang merawat Robin. Dia yakin jika Alena adalah sosok Ibu yang tepat bagi putranya.
Membuka pelan pintu kamar sang putra, dan menghela nafas lega saat mendapati istrinya tertidur disamping putra mereka. Ben melangkah mendekati ranjang, menatap Alena yang tampak terpejam sambil memeluk tubuh Robin dari samping.
"Alen?" Panggil Ben semakin mendekat karah istrinya.
"Alen, aku tahu kau pasti belum tidur." Ucap Ben lagi yang kini sudah duduk ditepi ranjang sambil mengelus rambut istrinya. Tetapi tiba-tiba Alena terbangun dan menepis tangannya. Ben menatapnya dengan heran, menatap wajah istrinya yang tampak memerah.
"Jangan sentuh aku!" Ucap Alena datar, yang kini sudah bersandar pada kepala ranjang.
Ben mendesah pelan. Dia ingin menggenggam tangan Alena, tetapi istrinya itu kembali menolak sentuhannya. Membuatnya harus lebih bersabar kali ini. "Maaf. Aku tahu aku bersalah, Alen." Ucap Ben tulus sambil menatap dalam manik mata istrinya.
"Aku tidak perduli. Urus saja diri kita masing-masing Ben! Bukankah itu kemauan mu? Dan kau menyukai sifatku seperti Elena bukan? Akan aku mainkan sandiwaranya sekarang." Perkataan Alena kembali membuat Ben kesal. Dia berdiri dari posisinya, lalu mengusap wajahnya kasar.
"Tidak bisakah kau mengerti diriku, Alen? Kau terlihat kekanak-kanakan sekali. Apa kau cemburu dengan Elena karena uang yang ku berikan kepadanya, begitu?"
"Kekanakan katamu? Hei, siapa yang kekanak-kanakan disini, kau atau aku? Bukankah kau selalu membanding-bandingkan diriku dengan Elena? Saol cemburu, aku tidak perduli itu. Meskipun kau bersama dengan wanita lain!" Alena ikut bangkit dari posisinya, berucap sambil berdiri dihadapan suaminya.
"Tidak cemburu? Benarkah itu, meskipun aku bersama dengan wanita lain? Aku sungguh tidak percaya, Alen." Ben menggelengkan kepala seraya menunjukkan senyum tipisnya. Dia melingkarkan tangannya pada pinggang Alena, dan membawa tubuh istrinya itu agar semakin dekat padanya.
"Lepas! Aku tidak ingin disentuh olehmu!" Alena berusaha mendorong tubuh Ben yang semakin merapatkan tubuh mereka. Namun sayangnya tenaga Alena tak sebanding dengan tenaga yang dimiliki oleh suaminya. Dia tampak kesusahan dan semakin membuat Ben tersenyum dalam kemenangan.
Ben menundukkan kepalanya, mendekatkan wajahnya pada wajah Alena yang justru memundurkan kepalanya. Alena tahu betul apa yang akn dilakukan Ben selanjutnya, dan dia tidak ingin terpengaruh lagi.
"Aku hanya menginginkanmu." Bisik Ben ditelinga istrinya. Membuat Alena sedikit terbuai saat tangan nakal suaminya itu berhasil masuk kedalam piamanya, lalu mengelus punggungnya dengan gerakan halus.
"Lepas!" Alena kembali mencoba mendorong tubuh tegap suaminya, tetapi masih belum ada pergerakan.
"Tidurlah dikamar kita!" Pinta Ben sambil mengelu pipi Alena. Dia bisa merasakan adanya kelembaban pada pipi istrinya.
Apa Alena habis menangis? Pikir Ben.
"Tidak. Aku tidak mau! Aku bisa tidur dikamar Robin, bila perlu seterusnya." Kata Alena memalingkan wajahnya, menatap Robin yang sudah terlelap dalam tidurnya.
"Jangan seperti ini Alen! Jika kau marah, kau sangat berlebihan."
"Benar, aku memang berlebihan. Bukankah aku ini bukan istrimu?" Perkataan Alena membuat Ben mengeram marah. Dia melepaskan pelukannya, seraya menghembuskan nafas kasar.
"Ini sudah kelewatan, Alen."
"Apanya yang kelewatan? Bukankah ini kemauan mu, Ben? Dan kecilkan suaramu, kau bisa menganggu Robin!"
"Kau benar-benar, Alen!" Kesal Ben manatap tajam pada Alena.
"Kenapa aku? Sudahlah Ben, kembalilah ke kamarmu! Aku ingin tidur." Pinta Alena yang kemudian hendak kembali berbaring diatas ranjang bersama Robin.
"Tidak. Aku tidur disini." Ben ikut berbaring disamping Alena, hal itu memudahkan dirinya untuk bisa memeluk tubuh istrinya.
Alena menepis tangan suaminya, lalu berdiri dari posisinya. "Tidurlah disini, aku bisa tidur diluar." Jelas Alena yang kemudian meninggalkan Ben yang masih terdiam menerima amarah dari istrinya.
Selang beberapa menit, Ben keluar dari kamar putranya. Dia mencari keberadaan Alena yang ternyata sudah tertidur disoffa. Ben berjongkok dihadapannya, mengelus lembut kepala istrinya. Menatap wajah teduh Alena yang sudah terlelap dalam tidurnya. Tanpa pikir panjang, Ben menggendong tubuh istrinya dan membawanya menuju kamar mereka. Dia meletakkan tubuh istrinya diatas ranjang, karena tidak mungkin dia membiarkan Alena tidur disoffa. Dia tidak setega itu.
"Maaf. Maaf karena aku sudah menyakiti hatimu lagi." Gumam Ben sambil mencium kening Alena, mambawa tubuh mungil itu kedalam pelukannya dan bersama-sama pergi menuju alam mimpi.
TO BE CONTINUED.