Malam yang semakin larut membuat kedua tubuh berpeluh itu semakin bergerak cepat untuk meraih pelesapan. Sesekali Ben menggoda istrinya dengan memberi kecupan basah pada seluruh tubuh Alena, membuat sang istri mendengus kesal dengan segala umpatannya.
Namun bukan Ben namanya, jika dia harus kalah dengan Alena. Dia terus saja menggoda sang istri dengan berbagai rayuannya, membuat wajah Alena bersemu merah.
Gerakan tubuh keduanya semakin cepat. Berusaha merengkuh sebuah kenikmatan dunia yang tiada tara. Ben bergerak dengan cepat dan merasakan miliknya terjepit kuat oleh milik Alena. Dia akan menuntaskannya sekarang juga, menanamkan lagi benihnya kedalam rahim Alena.
"Mommy."
"Mommy."
Suara ketukan pintu yang semakin keras membuat Alena mengalihkan pandangannya. Berbeda dengan Ben yang justru semakin mempercepat gerakan pinggulnya. Dia tidak akan membiarkan siapa pun menganggu kenikmatannya untuk mendapatkan sebuah pelepasan.
"Ben... ber...henti du..lu! Ouhh.. ahh.." desah Alena saat Ben semakin mempercepat gerakannya. Alena bahkan tidak bisa mengimbanginya. Fokusnya kini sudah terbagi setelah mendengar teriakan Robin dari balik pintu kamarnya.
"Arrghh.. Sedikit lagi, Alen. Come.. come to Daddy." Ucap Ben dengan terus bergerak cepat. Hingga dia sampai pada pelepasannya dan terjatuh menimpah tubuh Alena.
"Ro... bin di..luar, Ben." Dengan nafas terputus Alena memberitahukan kepada suaminya. Dia masih mengatur nafas akibat pelepasan yang baru saja diraihnya itu.
"Biar aku yang keluar." Ucap Ben mengecup perut telanjang istrinya, lalu meraih haduk yang ada disudut ranjang. Menyeka keringatnya, dan mulai melilitkan haduk tersebut dipinggangnya.
"Robin." Panggil Ben saat membukakan pintu kamarnya. Disaat itu juga Robin langsung memeluk dirinya. "Hei, ada apa?" Tanya Ben lagi membalas pelukan sang putra.
Robin tidak menjawab pertanyaan Daddynya, dan justru beralih menatap Mommynya. "Mommy." Robin melepaskan pelukannya, dan berlari kearah Alena yang masih duduk bersandar diatas ranjang. Dia bahkan masih belum mengenakan pakaiannya, dan tubuhnya hanya dibalut selimut putih tebal yang tersedia diranjang.
Alena mengulurkan salah satu tangannya, sebab tangan yang lainnya dia gunakan untuk menahan selimut ditubuhnya. Dia menyambut kedatangan Robin yang kini sudah menaiki ranjang dan hendak memeluknya. "Ada apa sayang, hem?" Tanya Alena mengelus punggung putranya.
"Aku.. aku tadi muntah dikamar. Kepalaku pusing, Mommy." Jelas Robin dengan mata berkaca. Dia kembali berhambur kedalam pelukan Mommynya, seolah dengan begitu rasa sakitnya bisa menghilang.
Alena membalas pelukan sang putra, lalu mengulurkan tangan untuk menyentuh kening putranya. Dia merasakan kening Robin yang panas pada telapak tangannya, lalu mengalihkan tatapannya pada Ben yang masih berdiri ditempatnya semula.
"Ben, badan Robin panas!" Ucap Alena dengan nada khawatirnya. Dia lalu mencium kening Robin yang kini tampak memejamkan mata menahan rasa sakitnya.
"Akan aku panggilkan dokter." Ben meraih ponselnya diatas nakas, dan mulai mendial nomer telepon dokter yang biasa menangani kesehatan keluarganya.
Setelah telepon tersambung dan Ben sudah menjelaskan semuanya kepada sang dokter. Ben kini memutuskan sambungan teleponnya, lalu berjalan kearah ranjang untuk menggendong Robin kembali ke kamarnya.
Tak butuh waktu lama, dokter yang tadi dihubunginya kini sudah sampai dan memulai pemeriksaannya. "Dia hanya terkena demam biasa. Mungkin karena kelelahan dalam bermain saja." Ucap dokter setelah memeriksa kondisi Robin.
"Benarkah itu? Tidak ada penyakit yang serius bukan?" Tanya Alena masih dengan kekhawatirannya.
Ben yang menyadari kekhawatiran istrinya, hanya bisa menggenggam tangannya untuk menenangkan Alena. "Hanya demam, Alen. Tenangkan dirimu!" Mengalihkan tangannya pada bahu Alena, dan mengelusnya pelan.
"Suruh dia istirahat total untuk beberapa hari. Dan ini ada beberapa obat yang harus dia minum. Pastikan dia meminumnya, dan tetap jaga pola makan serta pola tidurnya!" Jelas dokter tersebut sambil menyerahkan beberapa obat kepada Ben.
"Terimakasih, dokter." Menerima obat yang diberikan oleh sang dokter, seraya mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dengan dokter tersebut.
"Baiklah, kalau begitu saya permisi. Semoga Robin cepat sembuh." Membalas uluran tangan Ben, lalu berjalan keluar meninggalkan kediaman Abraham.
Ben kembali ke kamar Robin setelah tadi mengantar kepergian sang dokter hingga pintu depan. "Alen." Dia kini berdiri diambang pintu sambil menatap istrinya yang tengah berbaring diranjang dengan mengelus kepala putra mereka.
"Aku tidur disini Ben." Ucap Alena pelan, masih terus menatap wajah pucat sang putra.
Ben berjalan menghampirinya, lalu berbaring disisi kanan Robin. Kini putranya itu berada ditengah diantara mereka. Ben bisa melihat dengan jelas raut kesedihan yang terpancar diwajah Alena. Istrinya itu pasti masih merasa khawatir dan cemas dengan kondisi putra mereka.
"Maafkan aku, Ben. Aku memang bukan Ibu yang baik. Karena aku, Robin jadi sakit begini." Alena membuka suara kembali. Dan tanpa disadarinya, air matanya ikut jatuh seiring setiap kalimat yang diucapkannya.
Ben mengulurkan tangannya untuk menghampus air mata istrinya. Kejadian seperti ini pasti masih awam untuk Alena, dan Ben sangat memakluminya. Alena pasti merasa sedih dan ketakutan jika terjadi sesuatu dengan putra mereka.
"Ini bukan salah dirimu, Alen. Dan jangan lagi menyalahkan dirimu sendiri!" Membelai pipi lembut istrinya, merasakan adanya sisa air mata disana. "Sekarang tidurlah! Besok pagi kita akan memberinya obat sesuai dengan anjuran dokter." Pinta Ben yang kemudian mengecup kening Robin dan juga Alena secara bergantian. Lalu disusul Alena yang mengecup kening sang putra.
Mereka kini tertidur dalam balutan selimut yang sama. Alena memeluk tubuh kecil Robin yang ada disampingnya, begitu juga dengan Ben. Tangan Ben kini menggenggam tangan Alena diantara tubuh Robin yang sudah terlelap karena pengarus suntikan dari dokter.
**
"Kau baru pulang, Elena?" Tanya Gion saat melihat istrinya baru memasuki ruang tengah.
Elena menolehkan kepala menghadap suaminya. Menunjukkan senyum mengejek seolah pertanyaan Gion adalah candaan untuknya. "Iya. Memang kenapa jika aku baru pulang?" Jawab Elena sesuka hati.
"Olfi sejak tadi mencarimu. Dia menangis hingga terlelap dengan sendirinya. Jika kau marah terhadapku itu masih bisa ku maklumi. Tetapi kalau sampai kau juga memanfaatkan Olfi, maka aku tidak akan tinggal diam!" Gion mengeram marah melihat sikap istrinya yang kini sudah berubah.
Elena yang dulu dikenalnya adalah wanita baik dan penyayang. Dia tidak tahu jika semua yang dilakukan oleh istrinya itu hanyalah sebua kedok belakang. Elena adalah wanita cerdik dan licik. Wanita bermuka dua yang selalu menunjukan wajah berbeda untuk menutupi kebusukannya.
Gion masih bertahan hingga saat ini hanya untuk kebahagiaan putri mereka saja. Jika bukan karena keberadaan Olfi diantara mereka, mungkin Gion sudah lama meninggalkan Elena. Benar kata Ben, dia adalah pria bodoh yang sudah tertipu oleh kamuflase yang dibuat oleh Elena.
Dulu Gion dan Ben adalah sahabat saat masih duduk dibangku kuliah. Sampai tanpa sengaja Ben menghamili Elena dan menikah dengan wanita itu. Tetapi setelah mengetahui sikap buruk Elena, Ben langsung menceraikannya dan mengambil alih hak asuh untuk Robin putra mereka.
Elena kembali menciptakan drama, dengan berpura-pura menjadi wanita yang teraniaya. Dia mendatangi Gion dan meminta pertolongan padanya. Gion yang memang adalah seorang pria baik-baik, dengan mudahnya tertipu oleh bibir manis Elena. Dia menikahi Elena dan membuat hubungan pertemanannya dengan Ben putus begitu saja. Sampai saat dia tahu jika Elena tengah mengandung buah hati mereka. Gion merasa sangat bahagia saat itu, dan berjanji akan selalu menjaga keutuhan keluarga kecilnya.
Tetapi seiring berjalannya waktu, semua sudah berbeda. Elena kembali menunjukkan sifat aslinya. Dia jadi sering keluar hingga larut malam, marah-marah karena kesalahan kecil yang dilakukan oleh suaminya, dan tidak lagi memperhatikan Gion yang masih berstatus sebagai suaminya.
Puncaknya adalah saat Gion lebih memilih menghabiskan waktu dan uangnya untuk mencari keberadaan adiknya yang sudah lama menghilang. Elena menjadi geram, karena posisinya kini terancam. Gion lebih memilih mencari adiknya, dari pada memanjakan dirinya dengan harta berlimpah.
"Kau tidak perlu memarahiku seperti ini, Gion. Lagi pula Olfi sudah tidur buka? Jadi tidak ada masalah lagi yang harus kita perdebatkan!" Melipat kedua tangannya diatas dada, sambil menatap sinis kearah suaminya.
"Masalah kita belum selesai, Elena. Dan mungkin tidak akan bisa selesai, jika sikapmu masih terus seperti ini!" Berjalan menghampiri Elena yang masih menunjukkan wajah sinisnya.
"Apa yang salah dengan sikapku? Aku selalu begini, dan akan tetap begini. Labih baik kau rubah saja sikapmu sendiri, dari pada menceramahiku dengan kata-kata tidak bergunamu itu!" Berjalan melewati suaminya untuk menuju ke kamarnya.
Gion menggelengkan kepalanya. Seolah sudah mulai terbiasa dengan sikap pembangkang yang ditunjukkan oleh istrinya. Dia membalikkan tubuhnya dan berjalan menuju kamar tamu yang ada di rumahnya. Malam ini dia akan tidur terpisah lagi dengan istrinya, seperti malam-malam sebelumnya.
TO BE CONTINUED.