Chereads / BEN ABRAHAM / Chapter 17 - 17. Sikap yang Berbeda

Chapter 17 - 17. Sikap yang Berbeda

Suara berisik dari arah ruang makan, membuat suasana pagi didalam kediaman Abraham sedikit berbeda. Ibu dan Anak lelakinya yang tengah duduk bersama, tampak memperdebatkan hal kecil layaknya keluarga kebanyakan.

"Ayo sayang buka mulutmu! Kau harus makan, setelah itu meminum obat." Ucap Alena sambil mengenggam sendok berisi nasi dihadapan putranya.

"Aku mual Mommy." Robin menggelengkan kepalanya, menolak suapan nasi dari Alena.

"Apa perlu Daddy yang menyuapimu, Robin? Cepatlah makan, jangan banyak beralasan!" Suara tegas Daddynya yang baru saja memasuki ruang makan membuat Robin mendesah pelan. Dia memang paling takut dengan Daddynya, dan tidak ingin melihat kembali emosi Daddynya di pagi hari.

"Ben...." Alena menatapnya tajam. Namum Ben tidak memperdulikan, dan memilih duduk di kursinya.

"Tidak mau. Aku maunya Mommy yang menyuapiku."

Alena tersenyum mendengar ucapan dari putranya. Dia kembali menyuapkan bubur kedalam mulut Robin yang tampak menurut menerima suapan darinya. Ancaman Ben memang benar-benar ampuh, hingga membuat Robin cepat sekali patuh.

"Mommy, bagaimana sekolahku?" Tanya Robin disela kunyahannya. Dia juga masih sibuk memainkan rubik yang sejak tadi berada ditangannya.

"Daddy sudah menghubungi gurumu, dan mengatakan jika sekarang kau sedang sakit. Gurumu sudah mengizinkan kau untuk istirahan dirumah. Dia juga berpesan semoga kau cepat sembuh agar bisa kembali  hadir di sekolah." Ucap Ben memberitahukan, membuat Robi  mengangguk sambil tersenyum kearahnya.

Ben memang sudah menghubungi guru di sekolah Robin tadi, sebelum dia turun keruang makan untuk memulai sarapan pagi. Dan ketika sampai di ruang makan, dia justru disambut oleh perdebatan istri dan juga anaknya yang menolak untuk makan.

Selesai dengan sarapan paginya. Alena kembali mengantarkan Robin memasuki kamarnya, membantunya meminum obat setelah itu meninggalkan dirinya untuk beristirahat. Alena turun dari lantai dua, dan mendapati Ben masih duduk menikmati sarapannya.

Alena duduk disamping suaminya, menatap piring kosong yang ada dihadapannya. Ingatannya kini melayang pada kejadian semalam, dimana dia merasa sangat cemas dan ketakutan ketika merasakan suhu tubuh Robin yang panas. Dia tidak pernah memiliki pengalaman tentang hal seperti ini. Dia terbiasa hidup sendiri, sehingga tidak pernah tahu bagaimana cara menangani anak yang tengah demam.

Ben berdeham, bermaksud untuk menyadarkan Alena dari lamunannya. Namun istrinya itu tak memberinya respon. Hingga dia terpaksa mengguncang pelan tubuh Alena untuk menyadarkannya.

"Apa yang kau pikirkan, Alen?" Tanya Ben setelah membawakan kembali kesadaram istrinya.

"Aku hanya sedikit mencemaskan Robin, Ben." Jawab Alena terus terang.

"Kau tidak perlu mencemaskan dirinya, Alen! Dia sudah dipriksa, dan akan sembuh setelah meminum obatnya secara rutin."

"Maaf karena aku tidak bisa merawatnya dengan baik. Kau pasti menyesal sudah menjadikan aku sebagai istri dan juga Ibu untuk Robin." Menundukan kepala, menghidari tatapan dari suaminya.

Ben meraih dagu Alena, menariknya hingga wajah catik istrinya itu kembali berhadapan dengannya. "Kau Ibu yang terbaik, Alen. Robin beruntung bisa memiliki Ibu sepertimu. Dan aku tidak mungkin salah memilihkan Ibu untuk putraku sendiri! Jangan pernah bersedih dan berkecil hati seperti ini lagi! Kau hanya belum terbiasa dengan keadaan dan status barumu sebagai seorang Ibu. Aku yakin kau bisa melakukan segalanya dengan baik nanti, saat kau sudah mulai terbiasa melayani kami." Ben mengedipkan sabelah matanya, membuat Alena tertawa pelan dengan godaa dari suaminya itu.

Ben mendekatkan dirinya pada Alena, lalu membawa tubuh istrinya kedalam pelukan hangatnya. Ben yakin bahwa Alena adalah wanita yang sangat baik. Dan dia juga yakin jika Alena adalah Ibu yang terbaik untuk putranya.

Dia ingat bagaiman cara Alena membela Robin saat dia mulai marah-marah, dan bagaiman kedekatan diantara keduanya yang membuat hati Ben tersentuh. Ben tahu jika Alena sangat menyayangi Robin putranya, begitu juga sebaliknya. Namun disini, Ben lah yang masih belum bisa mengetahui isi hatinya sendiri. Dia belum yakin tentang perasaannya kepada Alena. Dia menikahi Alena hanya berdasarkan kepentingan pribadi saja, yaitu untuk memberikan Ibu baru kepada putranya.

Ben mengurai pelukannya, lalu mengambil jas yang tadi diletakkan pada sandaran kursi. "Aku harus pergi ke kantor, Alen. Tolong jaga Robin, dan ingatkan dia untuk selalu meminum obatnya!" Perintah Ben sambil mengenakan jas kerjanya.

Alena berdiri dari posisinya. Membantu Ben untuk mengenakan jas kerjanya. Setelah jas itu sudah terpasang sempurna, Alena membawakan tas kerja Ben dan mengikuti langkah suaminya itu dari belakang.

Ben mengambil alih kembali tas kerjanya, lalu memberikan kecupan hangat pada dahi istrinya. Dia mulai memasuki mobil, dan menjalankannya menuju gedung perkantoran milik keluarganya.

**

Siang yang semakin terik, seolah tak menyulut semangat Ben untuk melanjutkan meeting. Dia kini tengah berada di salah satu perusahaan milik rekan kerjanya. Mereka akan membuat kerja sama baru, dan Ben harus mengajukan proposal kerja sama tersebut seperti halnya pesaing lainnya.

Banyak dari perusahaan-perusahaan lainnya yang juga mengincar kerja sama ini. Jika dari salah satu mereka bisa mendapatkannya, maka perusahaan mereka akan mengalami untung besar. Hal tersebut lah yang membuat para pesaing begitu banyak. Namun bukan Ben namanya jika dia harus menyerah. Dia yakin akan kemampuannya dan nama besar dari perusahaannya, sehingga proyek kerja sama tersebut pasti bisa dia dapatkan.

"Kau disini juga Ben?" Suara seorang pria yang baru saja datang dan menghampiri dirinya.

"Tentu saja Jasson. Aku tidak mungkin melewatkan kerja sama yang sangat menguntungkan ini." Ben berucap dengan menunjukkan seringainya.

"Baiklah. Aku tahu benar bagaimana sikapmu jika menyangkut keuntungan besar. Kau tetaplah Ben Abraham yang arogan." Balas Jasson diakhiri tawa pelannya.

"Setidaknya aku bukan dirimu. Kau pikir aku tidak tahu tetang kebusukanmu itu? Setahun lebih aku membiarkan dirimu mencuri terang-terangan di perusahaanku. Kau pikir aku tidak tahu? Dengan berkedok sebagai rekan, kau menggunakan cara curang untuk mecari keuntungan." Ben berucap dengan santai disertai wajah datarnya. Berbeda dengan Jasson yang kini tanpak gugup layaknya seorang pencuri yang tertangkap basah.

Kedunya dulu memang rekan dalam berbisnis. Namun mendadak Ben mengakhiri kerja sama mereka, saat mengetahui kebenaran yang sesungguhnya. Ben masih memiliki hati untuk tidak membongkar segala kebusukan itu. Hingga dia memilih mengakhiri kerja samanya secara sepihak dan justru membayar segala pinalti yang ditujukan untuk perusahaannya.

Jasson terpaku ditempatnya, tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Dia tercengang setelah mendengarkan penuturan dari pria dihadapannya. Bagaimana bisa Ben mengetahui segalanya, tetapi dia masih tetap diam saja. Bahkan waktu itu Jasson sangat diuntungkan dengan pemutusan kerja sama secara sepihak itu.

"Kau terkejut mendengar semua ucapanku? Bagaimana aku bisa mengetahui segalanya? Dari mana aku bisa tahu kebusukanmu itu?" Ben tertawa penuh makna. Menertawakan kebodohan pria yang kini sedang duduk disampingnya.

"Selama ini aku diam, karena aku masih menganggap dirimu sebagai seorang rekan. Tapi kau justru menunjukkan sikap sombongmu itu, Jasson." Berdiri dari posisinya, lalu menepuk pelan bahu Jasson yang ada disampingnya. "Selamat berusaha dan smoga keberuntungan berpihak kepadamu, Jasson." Menunjukkan seringainya, lalu berjalan pergi meninggalkan Jasson yang masih mematung ditempatnya.

**

"Ayo minum obatmu, Robin! Kau tidak ingin dimarahi Daddy lagi kan karena susah untuk minum obat?" Bujuk Alena kepada sang putra.

Robin putranya itu memang sulit sekali jika disuruh meminum obat. Ada saja alasan, darinya mulai rasanya pahit dan tidak enak, sampai menolak makan hanya agar tidak bisa meminum obat.

"Tidak mau Mommy. Rasanya tidak enak." Benar bukan, dia mulai beralasan lagi.

"Bagaimana jika Mommy mengajakmu jalan-jalan saat kau sudah sembuh nanti? Tatapi kau harus meminum obatmu dulu secara rutin, agar kau cepat sembuh!" Alena kembali membujuk putranya, agar dia mau meminum obatnya.

"Benarkah, Mommy? Kita akan jalan-jalan kemana?" Tanya Robin antusias.

"Bagaimana jika kita ke rumah panti yang dulu Mommy tempati. Kau bisa betemu banyak teman-taman disana."

"Rumah panti? Mommy dulu tinggal disana?"

"Iya sayang. Mommy dulu tinggal di rumah panti. Disana banyak sekali anak-anak seusia dirimu, kau bisa bermain dengan mereka nanti."

"Baiklah. Aku mau meminum obat. Kemarikan obatnya, Mommy!" Robin akhirnya mau meminum obatnya, dan dengan senang hati membuka mulutnya saat Alena menyuapkan obat pahit tersebut.

Alena tampak senang melihat Robin yang gembira. Ternyata tidak begitu susah menghadapi tingkah anak kecil seusia Robin. Dia akan lebih mudah patuh saat dijanjikan hal yang menyenangkan. Bagi anak seusianya, bermai dengan teman-teman sebayanya adalah hal yang paling menyenangkan.

TO BE CONTINUED.