Cuaca siang ini tampak panas sekali, dan beberapa pengunjung kaffe memilih bersantai didalam ruangan yang ber AC, meninggalkan bangku-bangku kosong yang berada dipelataran depan. Alena keluar dari dalam mobil bersama Robin, lalu membuka pintu kaffe yang merupakan tempat kerjanya dulu. Sesosok gadis berkulit coklat dengan rambut sebahu menyambut kedatangannya. Dia memeluk tubuh Alena dan mengucapkan selamat atas pernikahannya. Alena membalasnya dengan senyum dan ucapan terimakasih, lalu mendudukan diri pada salah satu kursi yang berada didekatnya.
Robin membolak balikkan buku menu untuk mencari makanan yang dia sukai. Perutnya sudah sangat lapar dan memintai untuk segera diisi. Setelah menemukan makanan yang cocok dengan seleranya, Robin menunjukkannya pada Alena yang langsung saja memesankan makanan sesuai keinginan sang putra.
Gadis pelayan itu pun mencatat pesanannya, lalu meninggalkan mereka sebentar untuk membuatkan pesanannya. Setelah selesai, dia kembali lagi ke tempat Alena berada dan mendudukkan dirinya disana.
"Kau sungguh keterlaluan, menikah tidak mengabariku! Apa kau tidak menganggap aku sebagai sahabatmu? Dan kau tahu, Nona Velleria beberapa kali menanyakan keberadaan dirimu."
"Maafkan aku Silvi. Semua memang serba mendadak, dan aku belum sempat mengabari siapa pun." Alena menyesap hot coffelatenya, dan mulai melanjutkan ucapannya, "Aku juga sudah mengabari Nona Valle, dan aku kesini untuk bertemu dengannya.
Silvi menganggukan kepalanya. Pandangannya kini beralih pada Robin yang tengah menikmati spageti untuk menu makan siangnya. Dia menyadari sesuatu, dan kembali bertanya pada Alena yang duduk disampingnya.
"Jadi sekarang kau benar-benar menjadi Ibunya?" Silvi menunjuk kearah Robin dengang dagunya, yang dibalas Alena dengan senyum tipis seperti seorang gadis yang malu-malu. "Kau memang baik Alena. Anak lucu dan pintar sepertinya memang harus dijaga oleh Ibu yang baik seperti dirimu, bukan Ayah yang menyeramkan seperti Daddynya itu." Lanjutnya bergidik ngeri mengingat wajah memerah Ben saat marah kala memasuki kaffe mencari putranya.
"Ayah menyeramkan yang kau maksud itu sekarang sudah menjadi suamiku, Silvi!" Ucap Alena memelankan nada bicaranya.
"Astaga aku melupakannya. Maafkan aku Alena." Balas Silvi diakhiri senyumnya.
Alena hanya menggelengkan kepalanya, memaklumi sikap Silvi yang selalu bisa mencairkan suasana. Dia merasa beruntung memiliki Silvi sebagai seorang teman selama mereka bekerja bersama-sama. Silvi selalu menjadi penghibur kala dirinya lelah dengan rutinitas pekerjaan yang begitu-begitu saja.
Robin masih asik menekuri piring berisi spageti dihadapannya, tanpa memperdulikan kehebohan Mommy bersama temannya yang duduk disatu meja. Dia sudah terlalu lapar, hingga tidak memperdulikan keadaan sekitar.
Silvi dan Alena masih asik berbincang, bernostalgia saat-saat pertama kali mereka bertemu dan menjalin sebuah pertemanan. Kadang Silvin juga mengeluh, tetang beberapa pelanggan yang terlihat sombong dan menyebalkan. Bekerja sebagai pelayan kaffe seperti ini, membuat mereka seringkali bertemu dengan orang-orang yang memiliki sikap beragam. Saat masih asik mendengarkan cerita dari Silvi, tiba-tiba datanglah seorang wanita yang menghampiri mereka. Silvi langsung menyudahi ceritanya, dan menoleh bersama-sama dengan Alena untuk melihat seseorang yang kini berdiri dihadapan mereka.
"Akhirnya kau datang juga Alena. Aku mencarimu beberapa hari ini, dan baru mengetahui dari Jason kalau ternyata kau sudah menikah dengan Ben." Cerca Valleria sesaat setelah mendudukan dirinya disana, ikut bergabung dengan kedua pegawainya.
"Maafkan aku, Nona Valle. Semua memang serba mendadak. Ben bahkan mengurus semuanya sendiri, dan aku sama sekali tidak mengetahui rencana pernikahan ini." Jawab Alena dengan raut wajah kesalnya, memangingat bagaiman para pengawal Ben memaksa dirinya untuk ikut bersama mereka. Karena hal itu pula dia menjadi tontonan para pengunjung kaffe, serta beberapa rekan kerjanya yang bertanya-tanya.
"Ben memang keterlaluan. Tapi ku doakan agar kalian selalu bahagia. Aku juga yakin jika kau pasti bisa merubah dirinya menjadi seorang pria yang lebih baik." Valleria kembali berucap diakhiri senyumnya.
"Terimakasih untuk doanya, Nona Valle." Alena membalas senyuman dari atasannya itu, atau lebih tepatnya mantan atasan. Sebab sejak hari pernikahannya beberapa hari yang lalu, Alena sudah tidak pernah datang lagi untuk bekerja. "Aku kesini juga untuk berpamitan. Karena mungkin aku tidak akan bisa bekerja lagi disini, Nona Valle. Ben melarangku untuk bekerja." Lanjutnya dengan ekspresi yang berbeda.
"Tentu saja. Ben adalah seorang CEO sekaligus pemilik perusahan besar, jadi tidak mungkin dia membiarkan istrinya untuk bekerja."
"Kau seorang istri dari pemilik perusahaan besar Alena? Aku selalu iri dengan keberuntunganmu itu."
"Tidak seperti itu, Nona Valle. Ben hanya ingin aku tinggal dirumah dan menjaga Robin dengan baik." Alena berucap dengan nada melemah, seolah ada rasa sakit yang menghampiri bagian terdalam dirinya.
Hubungan dirinya dengan Ben memang tekesan singkat, dan dia masih belum menyadari jika hatinya sudah menerima kehadiran pria arogan seperti Ben Abraham. Entah ini cinta atau hanya sekedar kompromi saja, yang pasti Alena sudah mulai terbiasa dengan kehadiran Ben didalam hidupnya.
**
Usai dengan rutinitas rapatnya bersama klien, Ben kini melajukan mobilnya untuk menuju kantor. Dia akan menyelesaikan beberapa pekerjaan disana, lalu ingin segera pulang cepat untuk bertemu dengan istri dan anaknya.
Mobil yang dikendarainya sudah berhenti, Ben keluar dari dalam mobil dan mulai memasuki lobby kantornya. Dia kini sudah berada didalam lift yang akan membawanya menuju lantai 10. Lantai dimana ruang kerjanya berada.
Ben sudah mendudukan dirinya disana, dibalik meja kebesarannya. Memilah beberapa berkas penting yang sudah tertata rapi diatas mejanya, lalu mulai menorehkan tanda tangannya dilembaran kertas pertama. Beralih dari satu berkas keberkas yang lainnya, hingga suara ketukan heels yang terbentur dengan ubin menyeruak memasuki gendang telinganya. Ben mendongakkan kepalanya, menatap dua orang wanita yang sudah berdiri dihadapannya.
"Maafkan saya, Tuan. Nona Elena memaksa untuk bisa masuk menemui Anda." Jelas salah satu wanita yang mengenakan pakaian formal. Wanita yang bekerja sebagai sekertarisnya.
"Baiklah Betty, sekarang kau boleh pergi!" Balas Ben meminta sekertarisnya itu untuk pergi, meningglkan dirinya hanya berdua saja dengan Elena.
Elena menunjukkan senyum kemenangannya kepada Betty, lalu melangkah dan mendudukan diri pada kursi yang bersebrangan dengan tempat duduk Ben. Dia duduk dengan penuh percayadiri, seolah kedatangannya kesini sudah sangat dinanti.
"Aku tidak punya waktu untuk berbasa-basi Elena! Langsung saja pada tujuanmu, untuk apa datang kemari!" Ucapan Ben bagaikan pisau yang menghunus tepat dijantungnya, membunuh rasa percaya diri yang sebelumnya ada.
Elena mengerjapkan mata beberapa kali, saat mendengar nada suara Ben yang terkesan mengintimidasi. Dia tahu benar jika pria dihadapannya kini sudah berubah menjadi pria yang kejam dan tak berperasaan. Dulunya Ben adalah pria yang manis dan romantis. Namun setelah Elena menghianati cintanya, dia mulai berubah dan menjauhkan dirinya dari rasa cinta.
Tetapi takdir memang sulit dipahami. Ben kini mulai menata kembali hati dan kehidupannya. Dia mau memenuhi keinginan sang putra untuk menikahi Alena, dan ini adalah awal baru yang harus dijalaninya.
"Jika kau kemari hanya untuk kembali merengek meminta belas kasihan dariku untuk menemui putraku, maka jawaban dariku tetap sama! Aku tidak akan dan tidak akan pernah mengizinkan dirimu untuk bertemu dengan Robin!" Ben kembali berucap dengan nada tegasnya. Dia benar-benar muak dengan tingkah Elena yang selalu mengusik kehidupannya. Padahal mantan istrinya itu sudah melanjutkan kehidupannya jauh sebelum dirinya bertemu dengan Alena.
"Aku hanya ingin membuat satu penawaran dengamu, Ben." Ucap Elena dengan menunjukkan seringainya. Dia yakin jika Ben akan memenuhi keinginannya ini.
Ben menatap Elena dengan penuh tanya. Dia tengah berfikir, kiranya apa lagi yang akan diperbuat oleh mantan istrinya itu. Dia tahu benar betapa cerdik dan liciknya Elena.
TO BE CONTINUED.