"Membuat anak misalnya." Ucap Ben santai yang membuat mata Alena membulat sempurna.
"Minta saja pada Elena!" Balas Alena ketus.
"Bagaimana kalau aku hanya mau denganmu?" Ben berucap dengan seringainya, lalu menarik pinggang Alena agar tubuhnya semakin mendekat. Dia mulai bisa merasaka gelora panas yang menjalar disekujur tubuhnya.
"Bagaimana kalau aku yang tidak mau?"
"Aku akan memaksamu, atau mungkin bisa langsung menyeretmu keranjang."
"Apa kau mencintaiku, Ben?" Tanya Alena yang membuat Ben terdiam seketika. Dia merasa terkejut dengan pertanyaan istrinya itu. Pasalanya mereka menikah memang bukan didasari rasa cinta. Namun entah kenapa, Ben rasanya tak ingin jauh dari Alena. Melihat kdekatan wanita itu dengan putranya, membuat sisi hatinya yang beku menjadi hangat.
"Aku tanya sekali lagi. Apa kau mencintaiku? Atau kau hanya mau tubuhku?" Alena berucap lagi dengan memandangi wajah suaminya. Dia menunggu jawaban apa yang akan dilontarkan oleh suaminya itu. "Atau aku hanya pelampiasan gairahmu?" Lanjutnya masih menunggu jawaban pasti.
Ben menghembuskan nafasnya kasar, mengeratkan tangannya yang melingkari pinggang Alena. "Aku menyukaimu Alen. Tidak ada hal lain yang kau maksudkan!" Kini giliran Alena yang terdiam. Dia menatap tepat pada manik kecoklatan milik suaminya, manik mata yang selalu bisa membawanya tengelam kedalam jurang terdalam.
"Kau berbohong?" Tanyanya lirih, menyentuh rahang sang suami.
Ben memyeringai tipis, lalu mengecup mesrah tangan Alena yang mengelusi rahangnya. "Tidak, kau perempuan kedua yang ada dihatiku."
Alena mengerutkan keningnya, kala mendengar penuturan suaminya. "Siapa yang pertama?" Tanyanya sedikit kesal. Padahal tadi dia sempat terbawa oleh suasana karena perlakuan lembut Ben, namun perkataan terakhir suaminya itu justru membuatnya menyesal.
Ben tertawa pelan saat melihat ekspresi wajah Alena yang berubah kesal. Dia menahan tawanya sambil berkata, "Ibuku Alen, dia yang pertama."
Alena merutuki kebodohannya, kenapa juga dia harus melontarkan pertanyaan seperti itu. Dia memekik pelan kala Ben tiba-tiba saja mengangkat tubuhnya. Dia terkejut dengan tindakan spontanitas suaminya itu. "Ben."
"Kita harus menuntaskan ini semua diranjang."
Ben menurunkan Alena diatas ranjang. Membaringkan tubuh istrinya perlahan, dan menatap dalam pada manik mata yang selalu dikaguminya. Perlakuan Ben ini membuat Alena gugup setengah mati. Dia berusaha dengan susah payah untuk menormalkan detak jantungnya.
"Aku ingin memiliki anak perempuan." Bisik Ben ditelinga Alena, menghembuskan nafas panasnya hingga membuat tubuh istrinya meremang.
"Bagaimana kalau lelaki lagi? Atau mungkin, aku tidak bisa hamil?" Tanya Alena pelan yang kemudian menundukkan kepala.
Ben menatap istrinya dengan penuh kasih, lalu mengelu pipi istinya lembut. "Jauhkan pikiran negativmu, tentang ucapan yang terakhir itu! Lelaki lagi juga tak masalah, karena kita akan mencobanya terus sampai dapat." Jelasnya yang kemudian langsung menyambar bibir Alena. Menyesap rasa manis yang tertinggal disana, membuatnya semakin terbuai akan gairah.
Alena sudah menyerah. Hari ini dia akan memenuhi segala keinginan dari suaminya.
Ben menyudahi ciumannya pada bibir Alena, takut jika istrinya itu kekurangan pasokan oksigen. Lalu tangannya kini mulai bergerilya melepaskan satu per satu kancing kemeja yang dikenakan istrinya. Melemparnya asal, dan kembali melanjutkan aksinya untuk melucuti sisa kain yang menempel ditubuh istrinya.
Ben menengguk ludah susah payah, sambil terus menatap tubuh polos dihadapannya. Matanya terbuka lebar seolah tidak ingin menyia-yiakan pemandangan indah yang tersaji hanya untuknya.
Alena melemparkan bantal pada wajah suaminya, kala mendapati tatapan aneh yang ditunjukkan Ben saat memandangi tubuhnya. "Kau, Alen!" Geram Ben yang kemudian melucuti pakaiannya sendiri, hingga kini dia sama-sama polos dengan istrinya.
Ben dengan tidak sabarannya, kembali menindih tubuh istrinya. Memberikan tatapan memuja dan penuh cinta, tatapan yang penuh akan gairah.
"Cara menatapmu seperti tadi, aku tidak suka! Hentikan itu, Ben!" Kesal Alena membuang wajahnya, tidak memperdulikan Ben yang saat ini tengah menertawakan dirinya.
"Kau cantik, Alen." Puji Ben yang dilanjutkan dengan kecupan serta hisapan pada leher jenjang nan putih milik istrinya.
"Aaahhh.. Ben." Desah Alena kala merasakan gigitan pada lehernya. Kenapa juga suaminya itu suka sekali menggigit. Pikirnya.
"Aku sudah mengetahui letak sensitivmu, Alen." Lanjut Ben menurunkan ciumannya pada dada dan perut istrinya. Sedangkan Alena kini tampak menikmati setiap cumbuan yang diberikan oleh suaminya, sambil meremas pelan rambut pirang Ben.
Ben memulai aksinya. Dia sudah tidak sabar untuk bisa menyatu dengan istrinya, menyalurkan letupan gairah yang sudah membara. Ben mulai memasukan miliknya pada milik Alena, merasakan ada sesuatu yang menahan pergerakannya. Ben semakin dalam memasukan miliknya hingga menembus sebuah penghalang yang terkoyak robek tak bersisa, meninggalkan rasa sakit yang luar biasa untuk Alena.
"Virgin?" Gumam Ben dalam hati. Dia merasa terkejut kala menyadari jika dirinya adalah pria pertama bagi Alena. Pria beruntung yang sudah mendapatkan mahkota berharganya.
Alena memekik kesakitan saat milik Ben berhasil menembus selaput darah keperawanannya. Dia tidak menyangka jika rasanya akan sesakit ini, kala melakukannya untuk yang pertama kali.
Ben bersyukur sekaligus merasa bersalah, karena tanpa sengaja membuat Alena merasakan kesakitan pada pengalaman pertamanya. Namun dia yakin, pada percintaan mereka yang berikutnya Alena pasti akan merasakan kenikmatan yang luar biasa. Bagaikan melayang diatas awan sambil memeluk bulan.
Ben menundukkan wajahnya, mengecup bibir merah delima milik Alena yang selalu membangkitkan gairahnya. Berharap dengan cara tersebut, rasa sakit yang diderita istrinya bisa menghilang.
"Apa sangat sakit, Alen?" Bisik Ben setelah melepaskan tautan bibir mereka.
Alena menganggukan kepala dengan mata terpejam. Berusaha menikmati setiap gerakan yang dilakukan oleh suaminya, aga rasa nyeri dibawah sana bisa cepat menghilang.
"Maaf jika aku membuatmu kesakitan. Aku berjanji, pada pergulatan kita yang kedua kali nanti, aku akan membuatmu menjerit kenikmatan." Bisik Ben lagi, disusul kecupan singkat dipipi kirinya.
Ben menyudahi sesi percintaannya, setelah tiga rode Alena dibuat kelelahan dengan setiap pergerakannya. Dia membalikkan tubuhnya, memandang wajah terlelap Alena yang tampak letih dan perpeluh.
Ben mengecup singkat bibir istrinya, membuat Alena terbangun dari tidurnya. Dia tersenyum saat melihat Alena mengerjapkan mata beberapa kali, lalu menyambutnya dengan senyum merekah.
"Kau belum pergi untuk bekerja?" Tanya Alena dengan suara khas bangun tidurnya.
"Aku takut jika nanti kau menangis dan mencariku, saat terbangun dan tidak menemukanku disampingmu." Jawab Ben dengan seringanya, lalu mencuri ciuman singkat lagi dibibir istrinya.
Tubuh Alena menegang. Dia terkejut kala mendapatkan serangan mendadak dari suaminya itu. Entah kenapa kini tubuhnya bereaksi berlebihan terhadap sentuhan suaminya.
"Kenapa dengan pipimu itu? Kenapa merah sekali seperti tomat?" Goda Ben mengulurkan tangannya untuk mengelus pipi istrinya.
Alena mencebikkan bibirnya, lalu menepis tangan Ben yang masih berada dipipinya. Dia bangun dari posisinya, sambil mengeratkan selimut yang membalut tubuh polosnya. Menurunkan kakinya pada lantai keramik putih yang ada dikamarnya. Baru saja Alena ingin berdiri, namun justru terduduk lagi. Rasa nyeri dibawah sana tampaknya masih ada.
Ben bergerak panik saat tubuh Alena kembali terhuyung dan terduduk kembali ditepian ranjang. Dia mengenakan celana pendeknya dengan terburu-terbur, hingga tidak sadar jika celana itu terbalik. Dia mengenakan sisi bagian belakang celananya didepan, dan sebaliknya.
"Aku akan memandikan dirimu!" Mengangkat tubuh ringan Alena dan membawanya masuk kekamar mandi.
"Turunkan aku, Ben! Aku bisa mandi sendiri!" Pekik Alena saat Ben mengangkat tubuhnya begitu saja.
Namun seakan menulikan telinganya, Ben tak menghiraukan pekikan dan gerakan tubuh Alena yang merontah untuk diturunkan. Dia kan memanjakan istrinya hari ini, dengan membantunya mandi dan memakaikan baju untuk istrinya itu.
**
Bocah lelaki kecil dengan seragam sekolah TK, kini tampak keluar dari dalam salah satu kelas disekolah tersebut. Dengan menggendong tas ransel berwarna biru, serta botol minuman warna senada yang mengantung dilehernya. Dia berlari pelan untuk menuju gerbang sekolahnya, melihat siapa gerangang yang akan menjemputnya sepulang sekolah hari ini.
Langkah anak kecil itu terhenti, kala melihat seorang gadis kecil dengan seragam yang sama kini tengah menangis dengan memegangi salah satu lututnya yang terluka. Dia menghampiri gadis kecil tersebut, lalu berjongkok untuk melihat keadaannya.
"Apa kau baik-baik saja?" Tanyanya pada gadis kecil tersebut. Gadis kecil itu mendongakkan kepalnya, menatap lelaki kecil yang kini sudah ada dihadapannya.
Masih dengan menahan rasa sakit dilututnya, gadis kecil itu menjawab dengan isak tangisnya, "huuaaah, kakiku sakit."
Lelaki kecil itu pun melepaskan tas ranselnya, membuka resleting kecil dibagian depan tasnya. Dia memasukkan tangannya kedalam sana, lalu mengeluarkan sebuah benda yang ternyata adalah plaster luka. Lelaki kecil itu merobek bungkus penutupnya, lalu memasangkan plester tersebut pada lutut gadis kecil yang terluka.
"Tahan sebentar ya, ini bisa sedikit meredahkan rasa sakitmu!" Menempelkan plaster pada luka sang gadis kecil.
Gadis kecil itu memejamkan matanya, seolah dia akan merasakan sakit yang teramat parah. Namun yang dirasakannya sungguh berbeda. Rasa perih yang sebelumnya ada, kini tergantikan oleh rasa dingin yang timbul dari plaster tersebut.
"Sudah selesai. Tidak sakit kan?"
Gadis itu membuka matanya pelan, lalu menggeleng sebagai jawaban. Dia kini tampak mengamati wajah lelaki kecil yang ada dihadapannya, wajah yang mungkin tidak akan dilupakan olehnya.
"Terimakasih." Ucap gadis kecil itu malu-malu.
"Olfi, kamu kenapa sayang?" Tanya Gio kala melihat putri kecilnya duduk ditanah dengan seorang anak lelaki kecil disebelahnya.
Gadis kecil bernama Olfi itu kini menoleh kearah Daddynya. Lalu dengan senyum senang dan wajah penuh bekas air mata dia menjawab,
"Tadi aku berlari, dan tanpa sengaja kakiku tersandung Daddy. Lututku luka dan dia---" Menoleh untuk mencari keberadaan pahlawannya. Namun lelaki kecil sang pahlawan itu sudah menghilang. Olfi menoleh kesana kemari untuk mencarinya, namun lelaki kecil itu tidak ada.
Olfi menunduk mengamati plaster yang melekat dilututnya, mengelusnya dengan sentuhan lembut agar tidak menimbulkan rasa sakit lagi.
"Kenapa, heum? Kau mencari seseorang?" Gio menyentuh dagu putrinya, dan mengarahkan mata sang putri untuk menatapnya.
"Iya. Aku mencari anak lelaki yang tadi menolongku, Daddy."
"Mungkin tadi dia sudah pergi. Ayo, sekarang waktunya kita untuk pulang!" Menggendong putri kecilnya, lalu berjalan menuju mobil yang terparkir tidak jauh dari sana.
**
"Aku senang Mommy yang menjemputku!" Ucap Robin sambil memeluk kaki Alena.
Alena berjongkok setelah Robin melepaskan pelukannya, lalu mengelus pipi sang putra dan menciumnya. "Mommy juga senang bisa menjemputmu disekolah. Ayo, masuk kedalam mobil!" Mengenggam tangan Robin dan membawanya masuk untuk duduk dikursi penumpang belakang bersama dengannya.
Alena memang tidak bisa menyetir mobil, dan kebetulan Alex selalu ada dirumah untuk berjaga-jaga. Ketika tadi Alex hendak berangkat untuk menjemput Robin disekolah, Alena berinisiatif untuk ikut dengannya. Mungkin dengan begini, dia tidak akan merasa jenuh saat harus tinggal sendiri dirumah mewah milik suaminya.
"Apa kau lapar, Robin?" Tanya Alena disela perjalanan mereka menuju rumah.
"Sangat, Mommy. Perutku sejak tadi sudah berbunyi." Jawab Robin sambil memegangi perutnya dengan kedua tangan, membuat Alena gemas dan langsung mencium pipinya.
"Bagaimana kalau kita mampir dulu kekaffe tempat Mommy bekerja?" Tawar Alena.
Robin mengangguk antusias dengan saran Mommynya. Karena mungkin ini sudah masuk jam makan siang, dan cacing-cacing diperut Robin sudah berdemo minta dimanjakan.
TO BE CONTINUED.