Alena memeluk erat tubuh Robin dalam dekapannya, tetapi ada yang aneh. Alena merasakan jika tubuh Robin sangat keras, dan kenapa juga justru dirinya yang sulit untuk bergerak. Dia membuka matanya, dan merasa terkejut saat mengetahui jika yang sedang dipeluknya bukanlah Robin melainkan Ben.
"Kau!" Pekik Alena melepaskan pelukannya pada tubuh Ben. Dia juga menyingkirkan tangan Ben yang melingkari pinggangnya, lalu berbalik untuk melihat keadaan Robin. Ternyata putranya itu sudah tidak ada disana, dan Alena pun bangun dan mencari keberadaan Robin.
"Robin." Panggil Alena berjalan kearah balkon. Disana pun dia tidak menemukan keberadaan Robin.
"Aku dikamar mandi, Mommy." Sebuah suara dari arah dalam kamar mandi, membuatnya mendesah pelan dan berjalan menghampiri pintu kamar mandi.
"Sedang apa, sayang?" Tanyanya.
"Buang air kecil." Jawab Robin.
Alena kembali menatap kearah Ben yang masih memejamkan matanya diatas ranjang. Suaminya itu sama sekali tidak terusik dengan teriakannya, justru dia terlihat sangat tenang dan tertidur dengan pulas.
Dia pasti sangat kelelahan, hingga tidak ikut terbangun. Batin Alena.
"Mommy." Panggil Robin dari arah punggungnya.
Alena membalikkan tubuhnya, lalu berjongkok menyambut pelukan dari putranya. "Awal sekali kau bangun, hem?" Tanyanya sambil tersenyum, setelah mengurai pelukannya.
Robin menganggukan kepalanya, menjawab pertanyaan Alena. "Daddy tidur disini?" Tanya Robin menatap pada Ben yang tertidur pulas diatas ranjangnya.
"Iya. Daddy tidur disini, sepertinya Daddymu sedang kelelahan. Sudah biarkan saja. Bagaimana jika hari ini kita membuat jadwal untuk kita lakukan bersama?" Tanya Alena yang disambut antusias oleh Robin dengan menganggukan kepala, lalu berhambur untuk memeluknya.
Alena berdiri dari posisinya, lalu membawa tangan Robin untuk digenggamnya. Mereka tampak berjalan beriringan dengan bergandengan tangan.
"Pertama-tama, dipagi ini Mommy ingin membuatkan sarapan terlebih dahulu." Ucap Alena saat berjalan menuruni anak tangga.
Mereka kini sudah berada diarea dapur. Seluruh pelayan tampak mengerjakan tugas lainnya, sebab Alena memaksa untuk memasakkan sarapan pagi untuk keluarganya itu.
Alena memulai aktivitas memasaknya, dengan dibantu oleh Robin yang tampak mengambilkan beberapa bahan yang diperlukan. Sesekali mereka juga bercada, mengeluarkan lelucon yang membuat Robin tertawa lepas. Alena merasa senang melihat tawa yang ditunjukkan oleh putranya itu.
"Apa yang kau sukai, Robin?" Tanya Alena yang saat ini tengah duduk bersebelahan dengan Robin dimeja makan.
Mereka sudah selesai dengan kegiatan memasaknya, dan akan memulai untuk menikati sarapan paginya.
"Aku suka menggambar, Mommy." Jawab Robin memberitahukan, sambil mengaduk-aduk soup hangat yang ada dihadapannya.
"Benarkah? Bagaimana jika selesai sarapan nanti kita menggambar?" Ajak Alena menatap kearah Robin yang tampak tersenyum dan menganggukan kepala.
Selesai menikmati sarapan paginya, Robin langsung saja menarik tangan Alena dan membawanya menuju taman belakang. Mereka duduk disalah satu bangku taman yang tersedia disana.
Robin mulai mengeluarkan alat-alat menggambarnya yang tadi sudah diambilkan oleh Finesia. "Gambar apa yang sering kau gambar, Robin?" Tanya Alena mengelus kepala putranya.
"Wajah Daddy." Jawabnya polos yang kemudian membalikkan buku gambarnya, mencari-cari gambarnya terdahulu dan menunjukkannya pada Alena.
Alena mengerutkan keningnya, saat meliha wajah aneh Ben yang digambar oleh putranya. Gambarnya benar-benar sangat lucu dan membuat Alena ingin tertawa.
"Kenapa wajah Daddy seperti ini sayang?" Tanya Alena yang kini mengamati gambar wajah Ben yang dipenuhi dengan warna merah.
"Daddy sedang marah. Menyeramkan bukan, Mommy?" Tanya Robin setelah menjelaskan gambarannya, membuat Alena tertawa karena melihat wajah Ben yang menyerupai iblis.
"Apa yang kau tertawakan, Alena?"
Alena terkejut mendengar suara bariton yang berasal dari balik punggungnya. Dia memutar tubuhnya dan mendapati Ben sedang berdiri dibelakangnya. "Tidak. Tidak ada yang ku tertawakan." Balas Alena biasa.
"Kenapa kau tidak membangunkan diriku? Tidak tahukah kau aku harus pergi bekerja?" Tanya Ben menunjukkan wajah kesalnya kepada Alena.
"Ben ini hari minggu. Apa kau masih harus bekerja dihari libur seperti ini?" Tanya balik Alena.
"Aku masih harus bekerja, Alen. Meskipun itu dihari minggu. Lagi pula karena mengurusi pernikahan kita, pekerjaan ku jadi terganggu."
"Maafkan aku kalau begitu. Aku tadi melihat kau sangat kelelahan, jadi ku biarkan saja kau tidur lebih lama." Jelas Alena, membuat Ben mendesah pelan.
"Kalau begitu, temani aku sarapan pagi ini!" Pinta Ben menunggu Alena yang justru tampak menunjukkan wajah anehnya.
"Aku sudah sarapan Ben. Kau pegilah sarapan, aku harus menemani Robin dahulu!" Ucap Alena diakhiri senyumnya, lalu kembali menatap kearah Robin yang ada disampingnya.
"Kau, Alen! Kenapa tidak pernah menurut dengan perkataanku? Kau ingin menjadi istri yang pembangkan, hah? Dulu Elena tidak pernah seperti ini." Ucap Ben panjang lebar, membuat Alena langsung bangun dari posisinya dan berjalan kearah Ben dengan wajah kesalnya.
"Jangan samakan aku dengan Elena, karena kami memang berbeda! Dan kenapa kau menyebutkan namanya, Ben? Apa kau masih menyukai mantan istrimu itu, huh? Katakan padaku, Ben! Jika benar, harusnya kau tidak usah menikahiku!" Kesal Alena yang kemudian berjalan memasuki rumah dan meninggalkan Ben yang mematung ditempatnya.
Robin hanya terdiam melihat kemarahan Mommynya. Ternyata Mommy dan Daddynya benar-benar sama menyeramkannya jika sedang marah.
Ben menghembuskan nafas berat, merutuki kebodohannya yang sudah memancing emosi istrinya. Kenapa juga dia haru membawa-bawa nama mantan istrinya itu, dan kini dia harus siap menerima kemarahan dari Alena.
"Robin, lanjutkan menggambarmu! Daddy akan menemui Mommymu sebentar." Jelas Ben mencium puncak kepala putranya, lalu berjalan memasuki rumah untuk mencari istrinya.
Ben sudah menemukannya. Alena kini berada didapur sedang menyiapkan sarapan untuknya. Ben berjalan menghampirinya, dan Alena yang menyadari keberadaannya sontak mengangkat wajahnya. Mata mereka kini saling bertemu, namun Alena jusru memutuskan kontak matanya dengan memalingkan wajahnya.
"Alen, maaf. Maafkan aku." Ucap Ben yang kini sudah berdiri disampingnya. "Harusnya aku tidak berbicara seperti itu." Lanjutnya dengan nada penuh penyesalan.
"Aku tahu Ben, kau masih menyukai Elena. Kau tidak perlu menganggapku sebagai istrimu, aku tidak akan mempermasalahkan hal itu. Karena aku sama sekali tidak perduli." Ketus Alena yang kemudian berjalan melewatinya. Namun baru selangkah dia ingin pergi, Ben lebih dulu menyekal lengannya hingga dia kembali pada posisi semula.
"Apa yang kau katakan!" Marah Ben denga menunjukkan tatapan membunuhnya.
Alena mengerjapkan matanya, dia tahu jika kini Ben sedang dalam mode marah. Dan benar apa yang dikatakan oleh Robin, wajah Ben saat marah benar-benar menyeramkan.
Alena mencoba menenangkan dirinya. Dengan berusaha menunjukkan keberaniannya, dia justru ikut menatap Ben dengan wajah kesalnya. "Apa yang ku katakan? Apa masih kurang jelas ditelingamu, huh?"
"Kau, Alen! Aku sudah meminta maaf dengan cara halus, tetapi mengapa kau seperti ini!"
"Seperti apa Ben?"
"Kau istriku, tidak ada Elena atau pun wanita yang lainnya!" Geram Ben yang langsung saja menyudutkan tubuh Alena kedinding. Alena menelan ludahnya susah payah, saat kini Ben berada tepat dihadapannya. Hanya beberapa centi saja, dan Alena dapat merasakan hembusan nafas Ben yang menerpa wajahnya.
Ben mengurung tubuh Alena dengan satu tangannya, menatap wajah istrinya yang tampak sedang ketakutan. "Kau terlihat manis." Bisik Ben tempat ditelinganya. Membuat Alena memalingkan kepalanya, menghindari tatapan suaminya.
Namun Alena tidak tahu, jika hal itu justru memudahkan Ben untuk mengeksplorase leher jenjangnya. Ben mengecup kecil disekiar leher Alena. Kaki kanannya dia letakkan diantar kedua paha istrinya, menggesekkannya pada milik Alena.
"Aaahhh... Ben... stop it!" Desah Alena karena sudah tidak tahan dengan perlakuan Ben yang berusaha untuk membangkitkan gairahnya.
Ben tetap melanjutkan aksinya, tidak memperdulikan rintihan Alena yang memintanya untuk berhenti. Dia menjilati leher istrinya, disertai hisapan-hisapan kecil pada bagian tenggorokannya.
Alena mendongakkan kepalanya, saat merasa geli karena jambang dan kumis suaminya yang menyentuh bagian kulit lehernya.
"Mommy, Daddy?"
Mereka berdua terkejut dengan panggilan kecil Robin yang kini sudah berada diarea dapur, dan tengah memergoki kegiatan panas orangtuanya. Alena mendorong tubuh Ben agar menjauh dari tubuhnya. Dia kini berjalan kearah Robin, lalu berjongkok dihadapannya. "Robin, bagaimana dengan menggambarmu?"
"Sudah selesai, Mommy." Jawab Robin menunjukkan hasil gambarannya pada Alena.
"Bagus sekali Robin, Mommy menyukainya." Senyum Alena mengelus pipi Robin yang juga membalas senyumannya.
"Tadi apa yang dilakukan Daddy kepada Mommy?" Tanya Robin yang membuat Alena bingung harus menjawab apa. Sebab belum saatnya Robin mengetahui hal-hal yang seperti itu.
"Tadi Daddy hanya menjilati leher manis Mommymu." Jawab santai Ben yang disambut tatapan tajam oleh Alena.
"Ben, bicaramu!" Kesal Alena dengan nada tingginya.
"Bukankah kenyataannya seperti itu, Alen? Robin juga sudah melihatnya, jadi untuk apa berbohong." Ucap Ben santai, lalu tersenyum kearah putranya.
Alena mendesa pelan. Dia tidak habis pikir dengan tingkah kekanakan Ben yang satu ini. "Sudahlah sayang jangan hiraukan Daddymu! Lebih baik kita keatas, bermain dikamarmu." Ajak Alena menggenggam tangan sang putra.
"Alen kita masih belum selesai!" Teriak Ben saat Alena hendak menaiki anak tangga.
Alena membalikkan tubuhnya, lalu degan nada sarkaktisnya dia berkata, "Diam, aku tidak mau berbicara kepadamu!" Ketus Alena membalikkan kembali tubuhnya dan melanjutkan langkahnya untuk membawa Robin kedalam kamarnya.
Ben tersenyum melihat kelakuan istrinya. Ternyata istrinya itu benar-benar pemalu, dan untunglah tadi dia tidak lepas kendali untuk melakukan hal lebih terhadap istrinya.
TO BE CONTINUED.