" Assalamu'alaikum!" sapa Nurul pada Fatma pada saat jam istirahat pertama.
" Wa'alaikumsalam! Ustadzah Nurul! Ada yang bisa saya bantu?" tanya Fatma.
" Kak Harun memanggilmu!" Jawab Nurul. Deg! Fatma kaget mendengar jawaban Nurul. Dia bingung apa yang harus dilakukan, dia kuatir Brian akan marah jika dia pergi menemui Harun.
" Apakah ada yang penting? Apa tidak bisa Ustadzah yang mewakili?" tanya Fatma dengan nada kuatir.
" Kenapa Ustadzah? Apakah Ustadzah mau pergi?" tanya Nurul mengernyitkan dahinya.
" Nggak juga, hanya saja..." Fatma ragu ingin menjawab pertanyaan Nurul.
" Apa Ustadzah tidak mau bertemu dengan Kak Harun?" tanya Nurul sedih.
" Bukan begitu! Saya...apa tidak bisa diwakilkan? Oleh Ustadzah Nurul...mungkin?" tanya Fatma ragu.
" Ustadzah kenapa? Tidak biasanya Ustadzah Zahirah seperti ini?" tanya Nurul balik dengan kening berkerut.
" Bukan begitu! Maksud saya..." Fatma bingung harus berkata apa, dia tidak mungkin bilang ke Nurul jika suaminya tidak mengizinkannya bertemu dengan Harun, sementara Harun adalah atasannya.
" Baiklah! Kita kesana!" jawab Fatma akhirnya, lalu berdiri dari kursinya.
" Ustadzah pergi sendiri, karena Ustadzah Chusnul memanggil saya!" ucap Nurul. Deg! Astaghfirullah! Apa lagi ini? Bagaimana aku bisa menemui Ustadz Harun sendiri? batin Fatma.
" Bukannya tidak baik berdua saja dengan pria yang bukan muhrimnya?" ucap Fatma.
" Pintu kantor Kak Harun tidak ditutup Ustadzah! Seperti biasanya!" ucap Nurul yang membuat Fatma terdiam tidak bisa lagi memberikan alasan. Semoga Brian tidak mengetahui tentang hal ini. Hati Fatma terasa berdebar karena sedikit takut akan diketahui suaminya yang posesif itu. Apa aku sebaiknya memberitahu dia, ya? batin Fatma. Langkah kakinya terayun mendekati kantor Harun. Tidak! Dia pasti tidak akan mengizinkan aku bertemu dengan Ustadz Harun. Ya Allah! Engkau Maha Mengetahui isi hati umat-Mu! batin Fatma.
" Assalamu'alaikum!" salam Fatma yang melihat ke dalam kantor Harun yang memang pintunya dalam keadaan terbuka.
" Wa'alaikumsalam Wr. Wb!" jawab Harun dengan tersenyum. Kenapa gadis seanggun dan secantik dirimu mau menikah dengan dia? Apakah dia telah memaksa atau memperdayaimu? batin Harun kecewa.
" Ustadz?" panggil Fatma yang masih berdiri di depan pintu. Tidak mungkin kamu mencintai pria seperti dia'kan? Dia seorang playboy, Fatma! Dia pengusaha yang kotor! batin Harun tidak mendengar panggilan Fatma.
" Ustadz?" sekali lagi Fatma memanggil Harun sambil melambaikan tangan kanannya.
" Eh, iya! Silahkan masuk!" kata Harun sambil beranjak dari kursi kerjanya dan duduk di single sofa berhadapan dengan Fatma yang memilih duduk agak jauh dari Harun. Apa kamu takut padaku, Fatma? Apa dia memaksamu untuk menjauhiku? Ah! Dia memang berhak atas Fatma, karena dia adalah suaminya! batin Harun lagi.
" Ada apa ya Ustadz memanggil saya?" tanya Fatma langsung.
" Saya memerlukan jawaban Ustadzah tentang penawaran saya waktu itu!" ucap Harun.
" Maaf, Ustadz! Saya tidak bisa melanjutkan bekerja disini!" jawab Fatma.
" Apakah suami Ustadzah yang melarang?" tanya Harun sedih.
" Bisa dikatakan begitu!" jawab Fatma.
" Apakah karena ada saya disini?" tanya Harun penuh selidik.
" Tidak! Bukan seperti itu! Hanya saja..."
" Sudahlah Ustadzah! Saya tahu jika suami Ustadzah tidak menyukai saya!" kata Harun pelan.
" Maaf, Ustadz! Saya tidak bermaksud melibatkan Ustadz seperti ini, tapi saya adalah wanita yang bersuami dan Ustadz tahu kewajiban seorang istri terhadap suaminya!" tutur Fatma tertunduk.
" Saya tahu! Kalau begitu saya akan menerima Surat Pengunduran Diri Ustadzah!" kata Harun dengan berat hati.
" Sialan!" teriak Brian marah. Brak! Pyar! Semua benda yang ada diatas meja kerjanya berserakan di lantai akibat perbuatan tangannya. Danis yang melihat semua itu tersentak kaget, belum pernah dia melihat kemarahan Bosnya yang seperti itu. Brian yang berdiri dari kursi kerjanya berjalan masuk ke dalam kamar yang ada di bagian belakang ruangnnya. Blammm! Dibantingnya pintu kamar tersebut dengan keras. Kemudian terdengar suara benda berjatuhan dan barang pecah dari dalam kamar. Danis sangat takut melihat sikap Bosnya, dia bingung harus bagaimana? Dia ingin menelpon Iris, tapi kuatir penyakit Iris kambuh, menelpon Fatma, kuatir istri Bosnya tersebut kena amarah Bosnya. Beberapa jam kemudian Brian keluar dengan wajah dan pakaian yang kusut. Tangannya berdarah dan hanya di balut dengan sapu tangan saja. Danis hanya berdiri dengan menundukkan kepalanya. Brian duduk di sofa ruangannya dan mengambil dokumen yang ada diatasnya.
" Atur ulang meeting kita tadi! 15 menit lagi semua harus sudah siap!" kata Brian.
" Siap, Bos!" jawab Danis yang kaget serta kagum akan sikap Bosnya tersebut.
" Apa saya jemput Nyonya sekarang, Bos?" tanya Danis.
" Tidak perlu! Pergi siapkan meeting saja!" jawab Brian. Dia sangat marah pada istrinya yang berani mengabaikan ucapannya. Dia sangat cemburu pada Harun walau mereka tidak melakukan apa-apa. Darah Brian terasa mendidih mengetahui jika istrinya dan Harun berduaan di dalam satu ruangan. Fatma menatap ponselnya keluar dari ruangan Harun. Kenapa dia nggak telpon atau hanya sekedar mengirim pesan? Apa dia begitu sibuk? batin Fatma sedih. Brian selalu menelponnya sebanyak 3 kali dalam sehari. Pertama saat dia sampai di kantor, kedua saat Fatma istirahat pertama dan ketiga saat Fatma pulang kerja, terkadang Brian jg menelponnya saat sore dan pulang dari kantor. Hari ini suaminya hanya menelponnya sekali saja saat dia sudah sampai dikantor. Apa dia tahu kalau aku bersama Harun? Ah, mana mungkin? Batin Fatma semakin gundah.
Brian menghadiri meeting di perusahaannya hingga jam 2 siang tanpa istirahat makan siang.
" Saya tunggu laporan kalian besok pagi! Yang ingin mundur segera datang ke lantai 3!" ucap Brian tegas yang dibarengi dengan kepergiannya dari ruang meeting diikuti Danis yang melongo melihat sikap arogan Bosnya. Seketika ruangan menjadi gaduh, karena belum pernah Bosnya menyuruh mereka membuat laporan bulanan dalam satu hari saja. Danis merasa kasihan dengan teman sejawatnya, tapi tidak ada yang berani memprotes bahkan melawan Brian dalam mengambil suatu keputusan.
" Bos! Nyonya bagaimana?" tanya Danis smbil berjalan dibelakang Brian, dia khawatir jika istri Bosnya itu akan menunggu di sekolah.
" Kita pergi ke bandara!" jawab Brian. Keburukan Brian adalah dia tidak akan menghiraukan atau perduli dengan orang yang telah mengabaikan perintahnya, walau itu mamanya sendiri.
Fatma duduk di kursi taman di dekat halaman sekolah. Sekolah telah sepi, hanya ada penjaga sekolah dan beberapa guru yang sedang membuat bahan pelajaran untuk siswanya.
" Ustadzah Zahirah!" sapa Harun yang akan pulang.
" Ustadz Harun!" sahut Fatma tersenyum.
" Apa belum dijemput?" tanya Harun merasa kasihan melihat orang yang dicintainya duduk sendiri menunggu jemputan.
" Sebentar lagi, Ustadz! Masih perjalanan!" jawab Fatma berbohong. Astaghfirullah! Aku belum pernah berbohong kepada siapapun, tapi sejak menikah dengan Brian, kenapa aku harus melakukan itu? Meskipun yang kulakukan adalah untuk kebaikan, tetap saja namanya bohong! batin Fatma sedih.
" Saya temani, ya!" ucap Harun.
" Trima kasih! Nggak perlu, Ustadz! Silahkan pulang dulu!" jawab Fatma sambil merapatkan bibirnya. Harun kecewa mendengar jawaban Fatma.
" Baiklah, saya pamit! Assalamu'alaikum!" pamit Harun. Dari luar sekolah sepasang mata melihat mereka dengan tatapan tajam dan tangan mengepal hingga menampakkan telapak tangannya memutih karena kukunya. Wajah pria itu menggelap dan giginya bergemeretak.
" Jalan!" ucap pria tersebut yang ternyata Brian.