Chapter 2 - Orang Itu Dikira Gila

Denting alat makan mengalun, menemani sarapan pagi lezat ala Dheani dan Rizki. Mereka makan dalam diam, sesekali Rizki mencuri pandang pada Dheani yang menikmati rasa tanpa ekspresi.

"Apa kiranya yang sedang kau rasa Dhe? Lezatkah masakan ku? atau bahkan hambar, sehambar rasamu padaku? Biarlah rasa itu bersemayam dihatimu Dhe, aku hanya bisa memohon pada Nya, agar kau bahagia. Walau aku harus menahan perih yang tak pernah sirna. Andai kau tau, sebesar apa rasa ini padamu. Tak pernah habis meski terkikis waktu, biarlah kata orang aku gila, asal kau bahagia. hanya itu harapan ku Dhe", ucap hati Rizki yang perih menahan hatinya yang selalu terluka.

Dheany hanya diam tanpa suara, selain kadang ada bunyi sesapan minuman rempah, atau derit sendok berpadu dengan pisau pemotong steak yang terkoyak. Sesekali ekor matanya menangkap tatapan. teduh penuh cinta Rizki. Dalam hati kecilnya, ia merasa iba pada Rizki yang tak pernah lelah mencurahkan cinta dan kasih sayangnya. Padahal di luar sana ia bagai seremah debu yang tak dianggap oleh semua. Ia hanya wanita yang perlahan hilang kewarasan, demi masa lalu dalam hidupnya.

"Ki, tidakkah kau lelah menemani ku tiap waktu? tidakkah kau ingin hidup dengan penuh cinta dengan wanita sempurna yang bisa mencurahkan kasih sayang dn perhatian padamu? Tidakkah kau ingin hidup bahagia bersama Aina? masa depan mu masih jauh ki, jangan terpaku bersamaku yang perlahan menepi. Aku tau kau tulus mencintai ku. Tapi kau juga butuh cinta yang sama yang menemani hidupmu Ki, sadarlah. Wanita sepertiku tak pantas hidup denganmu", kata hati Dheany.

perlahan bulir-bulir bening menetes di pipi nya, bahkan jatuh pada potongan steak yang sudah tersemat di garpu stenlis bergagang oval di tangan kanan Dheany. Dengan kasar diusapnya airmata itu. Kemudian dilahapnya sepotong steak yang sedari tadi teronggok di piring nya. mashed potatto yang perlahan ia nikmati demi sesendokpun terkontaminasi bulir bening berasa asin yang jatuh dari mata nya. Menambah nikmat mungkin ya... setelah itu ia sesap secangkir minuman rempah yang terlihat mengembun, dengan bulir-bulir selasih (yang katanya ini berasal dari biji-biji kemangi yang mengering). dan tuangan terahir ia tuangkan pada cangkir putih bening milik Rizki.

Rizki yang menyadari Wanitanya menangis, hanya bisa menatap iba dan penuh cinta. Kemudian mendekap erat dan mengecupi ouncak kepala istri nya itu. ia hapus perlahan sisa air mata yg madih menggantung di bulu matanya, kemudian ia kecup bergantian mata, hidung, kening, pipi dan terahir mengecup sekilas bibirnya. Ia tau istrinya sedang dalam kondisi yang tidak baik. Ia selalu melangitkan permintaan pada Sang Maha Kuasa, agar Ia melapangkan jiwa istrinya.

"Sudah ya Dhe, jangan nangis... nanti matamu kaya panda loh sayang... sudah yuk, kamu siap-siap ya, kita bisa jalan kemana yang kamu mau. Aku hari ini gak kerja, biar kutemani kamu sampai kamu bisa tertawa lagi, bahagialah Dhe...", senyum tersungging di bibir Rizki. Dheani pun membalas sekilas senyum itu dekan lekukan dibibirnya, dan Rizkipun cukup bahagia dengan senyum yang ada di wajah Dheany, meski hanya sekilas. setidaknya wanita itu sudah bisa sedikit terobati.

Dheany beranjak merapikan meja makan dan membersihkan nya, dibantu Rizki yang selalu sigab. Kemudian Rizki beranjak, mengambil wudhu ia akan mengabarkan pada Tuhannya jika ia bahagia melihat seulas senyum istrinya.

"Ki, kamu mau apa?",

"Aku mau Sholat Dhuha Dhe, mau bilang sama Alloh kalau kamu bisa tersenyum, biar aku minta sama Alloh agar selalu memberikan banyak stok lengkungan indah di bibirmu",

"Hehe... ada aja. Aku ikut. Sholat Dhuha. aku juga mau bilang sama Alloh kalau ada orang yang terlalu baik yang sudah mengorbankan segalanya demi aku. sampai orang itu dikira gila". dan mereka tergelak bersama.

"Ahirnya kau bisa tertawa hari ini Dhe...", kata hati Rizki.

"Bukannya kamu masih halangan?".

"Udah bersuci tadi".

itulah Dheany, meski ia perlahan hilang kewarasan tapi ia tak pernah lupa pada Tuhan Nya,

"Ya sudah, yuk...".

Mereka pun beranjak menuju Mushola kecil disamping kiri kamar mereka. Mushola yang mungkin hanya cukup digunakan untuk berjamaah dengan tiga makmum.

***

Siang yang lengang, ditepian pantai yang mengalunkan ombak dengan tatapan pelangi, sesudah hujan. Mereka bercengkrama, bagai tak pernah ada hal yang mengguncang jiwa Dheany. Rizki tak henti hentinya tertawa menggoda istrinya yang berkali kali mengayunkan kail di tepian pantai dengan karang terjal sebagai penopang tubuhnya. sesekali Gamis biru toska nya mengibar bagai bendera yang sedang ditarik dipuncak tiang. Dheany, wanita itu tak pernah lupa menutup aurat yang kelak akan dimintai pertanggung jawaban oleh Sang Pencipta, meskipun jiwa nya hampa.

"Nggak capek Dhe?", tanya Rizki

"Belum, baru saja dapat 3ekor anakan kerapu karang dan 1 ekor udang pletok yang nyasar ke baju bawahku", Dheany tersenyum.

"Ya sudah, lanjutin kalo gitu asal kamu bahagia".

" Iya ",

Rizki meninggalkan Dheany sendiri diatas karang, sedang ia menyusuri hamparan pasir putih yang terlelap dalam deru ombak.

Tak lama, ia kembali dengan Degan yang masiH ada bathoak klapa di kedua tangan nya. segera ia hampiri Dheani dan memberikan satu dari tangan kanan nya. Dengan sigab Rizki membuka belahan atas kelapa muda itu menyendokkan dagingnya dan menyodorkan sedoran ke tepian bibir Dheani. Dan disambut dengan gembira olehnya.

Setelah mengusir haus yang sedari tadi menggantung di kerongkongannya, mereka pun berlalu. Berkemas dan berjalan menuju tempat parkir mobil. Rizki membukakan pintu penumpang depan untuk istrinya, kemudian ia berkjalan memutar kearah kemudi. perlhan ia nyalakan mesin dan menderu bersama sapaan angin berbarengan dengan ramainya jalan raya bertalu dengan kendaraan lain yang rela berbagi tempat dalam kepadatan lalu lintas yang membelah kota.

"Mampir ke Bahrul Ulum Dhe?".

"Nggak ah Ki, kapan-kapan aja. aku masih belum fit. masih kacau",

"Baiklah, kalau gitu kita mampir makan dulu ya. Biar kamu gak sakit lagi".

"Iya".

Tak lama Rizki memutar kemudi menuju lahan parkir rumah makan sederhana yang tak pernah sepi langganan mereka.

Terpampang ucapan selamat datang besar di gerbang depan dengan tulisan "BAYARLAH DENGAN DOA, MAKANLAH SEPUASNYA".

sebelum menuju tempat makan, mereka terlebih dahulu menuju Musholla yang cukup besar untuk seukuran tempat makan itu, bahkan mungkin melebihi besarnya Musholla yang ada di kampung tempat mereka tinggal. Marboth yang ada 24jam siap melayani tamu restoran yang hanya sekedar ingin membersihkan badan, beristirahat, atau melaksanakan Sholat. Rizki dan Dheany membersihkan badan mereka dan berganti pakaian, kemudian melaksanakan sholat Dhuhur disana. Setelah selesai, mereka menuju area lesehan dan memesan makanan. Terlihan ada tulisan yang sangat cantik di pintu masuk Resto, "DENGAN TIDAK MENGURANGI RASA HORMAT KEPADA PELANGGAN SETIA RESTO SEDERHANA, MOHON MAAF. PELAYANAN DIHENTIKAN 10MENIT MENJELANG ADZAN". Konsep Resto yang sangat luar biasa.

Tak lama, pelayan dengan baju syari dengan celemek menempel, berltuliskan macam macam slogan datang membawa pesanan mereka.

Dan merekapun larut menikmati kelezatan masakan berbalur doa yang tersaji epik dengan hiasan pattreseli tomat dan Cabai merah.

***

"Ya Aina? ... Oh Ya, Wau itu bagus sekali... Hemm gimana ya? Nanti deh... kejutan donk. Walaikumsalam", Rizki pun menutup Panghilan telponnya.

"Aina menelponmu Ki? Mungkin ia merindukan mu. Temuilah dia", Dheany yang sedari tadi telah berdiri di belakang Rizki mendengar percakapan mereka.

Rizki hanya membalas dengan senyuman. Kemudian ia memeluk erat istrinya.

"Apakah kau tak pernah merindukanku?",

"Kenapa harus rindu, bukankah kita tiap hari bertemu. bahkan tiap aku mengingat namamu, kau langsung hadir di depan mataku", Dheany memanyunkan bibirnya.

"Tapi aku selalu merindukanmu...",

perlahan Rizki mendaratkan kecupan dikening Dyani, mata, pipi, hidung Bibir, kemudian ia melumatnya sesaat berhenti ia menunghu respon dari istrinya, dan ternyata istrinya itu membalas dengan sangat lembut, kemudian ia membopong istrinya tanpa melepas tautan bibir mereka dan merebahkannya perlahan di ranjang...