Chereads / Detektif Mitologi / Chapter 8 - Anjing Berkepala Ganda

Chapter 8 - Anjing Berkepala Ganda

Jalan yang akan kami lewati rupanya semakin menyempit dan tidak bisa dilalui dengan kendaraan. Sepertinya itu alasan pemilik mobil satu ini meninggalkannya, dan aku yakin mereka Yodha dan Julia.

"Ayo, Adam! Kita harus bergegas."

Aku dan Adam melewati jalan setapak di antara pepohonan oak, pinus dan hornbeam yang tinggi, semakin lama semakin menyempit dan tidak terlihat seperti jalan, hanya jalur yang jarak antar pohonnya lebih renggang. Mungkin tadinya ini semak belukar atau rerumputan yang menghilang di musim dingin.

Sedangkan di sekitar kami, pohon tumbuh rapat, meski banyak pohon yang sudah gundul menggugurkan daunnya, tetap susah bagiku untuk melihat, ditambah lagi kabut yang tebal.

"Kau yakin mereka lewat sini, Nick?"

"Aku yakin. Tidak ada jalan lain lagi."

"Bagaimana mereka bisa sampai ke sini? Apakah mereka juga bertemu dengan Nyonya Wahl?"

Aku menoleh pada Adam. "Aku rasa begitu, hanya dia tidak mau mengatakannya. Dia menyuruh kita ke sini setelah bertanya tentang mereka, kan?"

"Yah, aku pikir juga begitu. Nick bisa kita berhenti sebentar?" Adam terlihat kelelahan, uap keluar dari mulutnya tiap dia berbicara dengan napas yang memburu karena suhu yang dingin.

"Baiklah." Aku lalu duduk di atas tanah yang tertutup salju tipis, begitu juga Adam.

"Ini, Nick." Adam melemparkan bungkusan biskuit padaku, lalu dia mengambil botol kaleng kecil dari saku jas dan meminum isinya.

"Apa kau sudah tahu perjalanan kita akan jauh, Adam? Sehingga kau sengaja membawa bekal," kataku sambil membuka bungkusan.

"Eh, tidak, Nick. Aku memang terbiasa membawa botol minum kemanapun," jawab Adam menyodorkan botol itu padaku. "Kalau biskuit ini memang ada di mobilku, aku biasa ngemil saat dalam perjalanan."

"Ooh." Aku menenggak air dari botol, rasanya ini sebuah air dari perasan anggur tapi tidak difermentasi. "Tapi kalau dari penjelasan Nyonya Wahl, sepertinya tempat yang kita tuju memang jauh, hanya aku tak menyangka jika harus berjalan kaki sejauh ini."

"Ya, setelah ini juga kita masih harus melalui lembah hijau."

Aku memandang sekeliling, jarak pandang kami masih terbatas karena kabut.

"Aku sedikit cemas kalau saja kita nanti tersesat, Adam."

"Tenanglah, kita ikuti saja jalur ini."

Aku kembali melemparkan botol minum pada Adam, dia menumpahkan sedikit isi botolnya ke tanah sebelum menutup dan mengantonginya kembali. Mungkin dia termasuk orang yang terlalu suka bersih hingga berusaha membersihkan bekas mulutku di botolnya.

"Ngomong-ngomong, kenapa kau memberitahu Yodha tentang hal ini?"

"Dia yang bertanya padaku, entah dapat informasi darimana. Kau mencurigai aku yang menyuruhnya kesini?" Adam membuka bungkusan biskuit lalu memakan isinya.

"Tidak. Tidak kau suruh pun kalau dia tahu hal seperti itu dia pasti akan datang."

"Nah, kau sendiri tahu hal itu, Nick."

"Ya, aku tak menyangka saja kau bisa bercerita padanya. Dia akan melakukan apa saja untuk hal ini, termasuk membahayakan dirinya sendiri dan Julia."

Adam melirik padaku lalu membenarkan posisi kacamatanya.

"Kau jangan salah sangka dan menyalahkanku, Nick. Sebagai sesama peminat makhluk mitologi, hal seperti ini memang harus saling berbagi cerita."

"Ya. Mungkin sebagai sesama profesor aku setuju, tapi sebagai teman aku tidak terlalu suka."

Aku melihat pada Adam yang menghabiskan biskuit lalu mengantongi bungkusnya, dia benar suka kebersihan sepertinya.

"Nick, boleh aku lihat catatan Harry tadi?"

"Oh." Aku mengambil kumpulan kertas pemberian Erlys dari saku jasku dan memberikannya pada Adam. "Aku baru membaca lembar pertama, mungkin kau bisa menemukan petunjuk di lembar berikutnya."

Adam membaca catatan itu, sesekali membenarkan letak kacamatanya.

"Apa ada sesuatu yang menarik?"

"Ah, tidak ada. Sepertinya hanya tulisan orang yang asal-asalan."

Gusrak!

Sebuah suara mengagetkan aku, mungkin Adam juga, dia menoleh ke kanan kiri lalu memandangku.

Sraak!

"Paling suara binatang hutan yang mencari makan," kata Adam berusaha tenang. "Ayo, kita kembali berjalan lagi."

Aku berdiri, menepuk-nepuk pantat, membersihkannya dari salju yang menempel dan sedikit membasahi celanaku.

"Dingin sekali, semoga perjalanan kita tidak akan jauh lagi."

Adam bangkit sambil menggosok-gosokan telapak tangannya yang bersarung.

"Nick, apa sebaiknya kita pulang saja dan meneruskannya besok."

"Kita lanjutkan dulu."

Setelah berjalan beberapa saat, Adam mendahului jalanku, seolah dia yang tadi berjalan dengan terengah-engah berganti dengan Adam yang semangat. Aku membiarkannya, sepertinya dia hapal tempat ini.

Tiba-tiba sebuah suara napas berat dan sesekali dengusan terdengar di belakang kami.

Aku menoleh ke belakang, seekor binatang besar dengan bulu lebat berjalan keluar dari sela-sela pohon, kemudian berhenti di tengah jalan yang aku lewati tadi.

Dia menoleh padaku, moncongnya yang hitam berkedut, mengeluarkan uap di setiap hembusan napasnya.

"Ada apa, Nick?"

"Hanya rusa kutub, mungkin dia sedang berjalan-jalan karena bosan dengan acara televisi di rumahnya, mengagetkan saja."

"Hahaha. Ayo jalan lagi!"

Aku kembali berjalan di belakang Adam meninggalkan rusa bodoh tadi dan setelah agak jauh, terdengar kembali suara yang mengagetkan aku.

Bruk! Ngiik!

Aku kembali menoleh ke belakang, rusa tadi tergeletak di tanah dan sedang meronta-ronta.

Tubuhnya ditindih dan lehernya digigit oleh seekor anjing besar, tidak, bukan anjing, mungkin serigala besar hampir sebesar kuda, berbulu hitam lebat dan panjang. Kepalanya menunduk menggigit leher rusa yang kepayahan.

Aku melotot melihatnya, terlihat jelas dari samping badannya yang besar. Saat rusa malang tadi berhenti bergerak, anjing itu mengangkat kepalanya dan menoleh padaku, terlihat kepala anjing lain di sampingnya yang tadi tidak terlihat olehku masih menggigit badan rusa.

Sial, ini berbahaya, satu anjing sebesar kuda ini saja sudah mengerikan apalagi dua.

Tapi rupanya aku salah, entah ini lebih dari mengerikan atau mengagumkan. Saat dia berdiri tegak kemudian menghadapkan tubuhnya padaku, ternyata hanya satu anjing, tapi dia mempunyai dua kepala.

"Orthros," kataku berbisik, menatap ngeri dan kagum.

Makhluk tadi melihatku dengan tenang, tanpa seringai dan geraman.

"Adam, ini luar biasa." Aku berkata pada Adam di belakangku tanpa melepas pandanganku pada makhluk legendaris ini, "dia benar masih ada dan hidup. Kita tenang saja, Orthros tidak berbahaya untuk manusia, kan? Adam?"

Aku menoleh pada Adam karena tidak ada jawaban. Kulihat dia berlari sekuat tenaga menjauhiku dan samar-samar menghilang ditelan kabut.

"Adam! Kau mau kemana?!"

Growl!

Aku menoleh kembali ke makhluk tadi, dia sedang berlari ke arahku.

Sial! Aku berlari menyusul Adam dan menjauhi anjing berkepala dua tadi. Tapi dengan empat kaki dan tubuhnya yang besar tentu aku bukan lawan tandingnya.

Suara derap kakinya semakin mendekat padaku, aku membelokan arah lariku ke sela-sela pepohonan untuk menghindarinya, tapi malangnya aku terpeleset dan jatuh terjerembab.

Aku mendongakkan kepala saat makhluk tadi melompat ke arahku yang terbaring tiarap di tanah bersalju dan melewatiku! Ya, dia melewatiku begitu saja saat kukira dia akan menerkamku.

Aku melongo melihat Orthros yang terus berlari ke arah larinya Adam tadi dan menghilang ditelan tebalnya kabut.

Apa yang terjadi? Kenapa dia berlari melewatiku dan berlari ke arah Adam? Apa Adam lebih menarik perhatiannya daripada aku sejak awal dia mengejar?

Wah, aku cemburu. Mungkin Orthros punya dua kepala, tapi keduanya tidak bisa berpikir.

Aku berdiri dengan pelan karena lututku sakit akibat terjatuh tadi. Lalu aku berlari-lari kecil mengejar mereka, tapi aku kehilangan jejak di kabut yang tebal ini.

Aku berjalan dengan lutut yang nyeri mengikuti jejak kaki mereka pada salju yang masih tipis di atas tanah. Hingga tak kutemukan jejak sama sekali.

Salju mulai turun dan udara semakin dingin. Aku berkali-kali berteriak memanggil Adam tapi tak ada jawaban. Sampai perjalananku berakhir di ujung hutan.

Tidak ada lagi pohon, hanya ada rumput yang tertutup sedikit salju di sekitarku. Kabut menghalangiku untuk melihat jauh meski di sini lebih tipis dari pada di hutan tadi.

Aku sampai di lembah hijau, tapi kali ini aku bingung harus kemana, aku ingin terus ke depan, tapi aku juga harus mencari Adam.

Yang aku tahu Orthros bukanlah makhluk pemakan manusia, dia satu-satunya keturunan Echidna yang belum pernah mencelakai manusia, bahkan pada legenda, dia pernah dipelihara Gerion untuk menjaga ternaknya, artinya dia bisa diperintah.

Itu dia! Pasti ada yang memerintah atau setidaknya menjaga Orthros ini. Seseorang atau sekelompok orang, koloni, aku teringat catatan Harry. Aduh, catatan itu dibawa Adam tadi dan kini dia menghilang.

Aku memutuskan untuk terus berjalan menyusuri lembah hijau, sejak awal prioritasku adalah Edward dan Julia. Setelah merasa lututku sedikit baik, aku mempercepat langkahku.

Kabut semakin menipis semakin jauh dari hutan, meski begitu aku harus hati-hati karena Erlys mengatakan tentang tebing, bisa jadi ini lembah di bawah tebing di kaki gunung, tapi bisa juga di atas tebing dengan jurang di depanku.

Dan satu lagi kekhawatiranku, aku bisa saja tersesat di lembah ini karena kabut dan lagi salju yang turun menghapus jejak kakiku.

Samar-samar aku lihat seseorang di depanku, tidak begitu jelas tapi aku yakin itu manusia.

"Adam?"

Dia tak bergeming, aku perlahan mendekatinya, "Adam kau kah itu?"

Lalu terlihat ada bayangan sosok lagi tak jauh darinya. Dan sosok tadi bukanlah Adam.

Sosok tadi semakin jelas terlihat saat aku mulai mendekati mereka, dua orang pria besar sebesar tubuhku, keduanya memiliki brewok yang sama tebalnya dengan mantel yang mereka kenakan.

"Halo, Tuan-tuan? Anda melihat seorang pria kurus tinggi berkacamata lewat sini?"

Mereka diam saja dan hanya menatapku saat aku bertanya.

"Dia dikejar Ort... maksudku anjing hutan dan mungkin lari kesini."

Mereka tetap diam tidak menjawab tapi mendekat padaku.

"Hey, maaf. Apa kalian bisu atau tuli?" Aku mulai mundur perlahan, saat salah satu dari mereka mengulurkan tangan untuk meraihku.

Satu lagi dari mereka muncul dari balik kabut dan tiba-tiba menerjang, aku menendangnya hingga dia terjengkang. Pakaiannya sama dengan dua temannya, tapi tubuhnya tidak sebesar mereka.

"Woo, kalian main keroyokan, ya?" Aku mengangkat tanganku bersiap bertarung dengan mereka bertiga. "Sini maju!"

Seorang dari mereka yang dari tadi diam, mengeluarkan sebuah kapak kecil dari balik mantelnya, begitu juga temannya yang lain.

"Sial!"

Aku berlari ke arah hutan dan dikejar oleh mereka, kalau duel tangan kosong meski dikeroyok masih berani aku hadapi, tapi dengan banyak lawan yang bersenjata, aku tak mau gegabah.

Aku berlari menembus kabut di dalam hutan dan berbelok-belok melalui pohon-pohon untuk menyesatkan mereka, meski dengan begitu, mungkin aku sendiri yang akan tersesat.

Sekejap aku menoleh ke belakang sambil terus berlari. Mereka tidak terlihat di belakangku karena kabut, tapi aku mendengar derap kaki dan kelebatan mantel mereka yang berlari memburuku. Aku merasa seperti seekor rusa besar yang sedang diburu kawanan serigala yang tidak kalah besar.

Aku berhenti sebentar, napasku terengah-engah. Aku menoleh ke belakang dan mendengarkan dengan seksama, tidak terdengar lagi suara mereka. Siapa mereka? Kenapa mengejar dan memburuku? Pakaian mereka terlalu modern untuk suku kanibal.

Aku memandang sekeliling, kabut masih menghalangiku untuk melihat, bahkan matahari rasanya sudah condong ke barat.

"Kabut tebal dan hari mulai gelap, ditambah aku sedang diburu sekawanan orang gila. Sempurna sekali."

Saat aku bingung memutuskan untuk berjalan ke arah mana, tiba-tiba salah satu dari mereka muncul dari kabut berlari ke arahku, mengayunkan kapaknya.

"Wow!"

Aku berhasil menghindari serangannya tepat waktu, ayunan kapaknya melewatiku dan segera kupukul wajahnya dari samping. Dia yang hampir jatuh tersungkur, masih bisa membungkuk dan ku tendang pantatnya hingga dia benar-benar tersungkur ke tanah bersalju.

"Makan itu! Ayo sini!" aku mengepalkan tinjuku dan meloncat-loncat seperti seorang petinju, melihat lawanku yang baru saja ku knock out.

"Woooh!"

Tiba-tiba dua temannya ikut muncul dari balik kabut dengan berlari. Aku menghentikan aksiku sebagai petinju dan berganti aksi sebagai pelari.

Aku kembali berlari serampangan di antara pohon-pohon. Lututku mulai sakit, ini karena aku terjatuh tadi saat aku berlari menghindari Orthros.

Kurasakan nyeri semakin menjadi di lutut dan membuat lariku semakin perlahan. Aku berhenti dan menyandarkan tubuhku di pohon oak besar, mengintip ke belakang dan ku dengar mereka semakin dekat.

Aku memutuskan tetap bersandar di pohon dan jika mereka kesini, aku akan bertarung saja. Tiba-tiba sebuah tangan mendekap tubuhku dari belakang dan sebelah tangan lagi menutup mulutku, menarik tubuhku masuk ke dalam pohon tempatku bersandar.