Aku bergegas menuju ke kolam, mengamati ke dasarnya. Di sampingku, Nick juga melakukan hal yang sama. Kami menyorotkan lampu senter ke kolam, tapi dasarnya tak terlihat.
"Nick, apakah menurutmu mereka menyambut kita?"
"Jika Bemo tidak salah lihat, aku rasa begitu, Junior."
Aku terus mengamati ke dasar kolam, sepertinya memang dalam, kami tidak bisa melaluinya. Aku sedikit terkejut saat sebuah kilatan berwarna perak melintas sekilas dari dalam kolam.
"Nick, aku rasa tadi aku melihat sesuatu."
Nick memandangku dengan ekspresi yang aneh, sebuah ketegangan bercampur antusias, persis seperti anak kecil yang akan naik rollercoaster.
Byur! Cpak!
Suara cipratan air dari goa di seberang kolam mengejutkan aku. Tidak salah lagi, ini yang kami cari.
Aku bergegas menuju dinding goa di samping kolam, waktu mengamati tadi sepertinya aku melihat sesuatu. Dan benar, ada bagian yang tidak terendam air di sisi kolam.
"Kalian semua, lewat sini! Aku menemukan jalan menuju ke seberang."
Nick lebih dulu menghampiriku, sedangkan Bimo masih terduduk, sepertinya dia sangat kaget tadi hingga membuat kakinya lemas. Albert membantunya berdiri lalu menyusul.
Dengan hati-hati, kami melalui bagian samping kolam yang sangat sempit dan licin. Beberapa kali aku hampir terpeleset.
"Aduh!"
Byur!
Nick terpeleset hingga kakinya masuk ke kolam. Untung tangannya masih sempat berpegangan pada batu di jalan yang kami lalui.
"Hati-hati, Nick!" Aku mengulurkan tangan dan meraih lengan Nick, begitu juga Bimo yang tadi berjalan di belakang Nick.
"Jalannya sangat licin." Nick dengan susah payah dibantu aku dan Bimo berhasil keluar dari kolam dan berdiri lagi di jalan. Celana panjang longgarnya basah kuyup.
"Makanya perhatikan jalan, ingat kau sudah tua, Nick." bukannya aku kesal karena mengatakan itu padanya, sebenarnya aku khawatir.
"Jalannya yang memang susah dan licin, kalau aku sih hal seperti ini sudah biasa." Nick kembali membela diri dengan kepala besarnya.
"Anda baik-baik saja, Tuan Anderson?" tanya Albert.
"Tenang, Kapten, hanya luka sedikit di lenganku, bukan masalah besar."
Kami kembali berjalan dengan sangat hati-hati, perlahan berjalan menyamping seperti kepiting dengan punggung menempel ke dinding goa. Dan akhirnya dengan susah payah, kami tiba di seberang kolam.
"Kita beruntung! Lihat, ada goa lain yang tidak berair dan arahnya sama." aku mengarahkan cahaya senter ke sebuah mulut goa yang tidak terendam air.
"Oh, ya, Tuan Yodha, ada sesuatu dari Tuan Rusman untuk kita." Albert mengeluarkan sesuatu dari tasnya dan menyerahkan padaku. "Saya dihubungi oleh Tuan Rusman, dan membawanya untuk anda."
Aku menerima sebuah pistol revolver berwarna perak, tipe kaliber dua puluh dua dengan delapan peluru. Ini luar biasa! Seperti yang aku harapkan.
"Terimakasih, Kapten," kataku dengan tersenyum simpul, berusaha menutupi kegiranganku.
"Ini untuk anda, Tuan Anderson." Albert memberi senjata yang sama pada Nick juga. "Semoga ini bisa membantu kita, ayo kita lanjutkan perjalanan kembali."
"Saya, Kapten?" Bimo menunjuk hidungnya sendiri.
"Aduh maaf, Tuan Bimo. Saya hanya membawa tiga pistol, termasuk milik saya."
Bimo menundukkan kepala, terlihat kecewa.
"Mungkin anda bisa memakai ini, Tuan. Saya membawa kemana-mana benda ini." Albert memberi sesuatu pada Bimo.
Aku menahan tawa saat Bimo menerima dan mengangkat benda itu ke depan wajahnya sambil melongo, sebuah ketapel dari besi tergenggam di tangannya.
"Mau berburu burung, Bemo? Hahaha," ucapan Nick membuatku tidak bisa menahan tawa.
"Benda itu selalu saya bawa sejak kecil, Tuan, tapi sepertinya kali ini lebih berguna untuk anda." Albert nyengir pada Bimo.
"Oke , terimakasih, Kapten. Ini juga keren." Bimo berusaha berekspresi sebiasa mungkin lalu menyelipkan ketapel di ikat pinggangnya seperti pistol.
Aku dan Nick terus tertawa sambil meneruskan perjalanan, sedangkan Albert masih menahan tawanya. Sebenarnya aku sedikit takut karena suara tawa kami lumayan keras, takut para duyung mendengar lalu menyerang kami lebih dulu. Tapi sepertinya memang mereka sudah mengetahui keberadaan kami.
Aku menggenggam erat pistol pemberian Tuan Rusman saat berjalan menyusuri goa gelap. Lingkaran-lingkaran cahaya dari lampu senter kepala kami menari-nari di lantai dan dinding goa yang lebar dengan bebatuan karang tajam. Tidak ada stalaktit atau stalakmit pada goa karang, seperti goa-goa bawah tanah pada umumnya, ini lebih mirip terowongan bawah tanah.
"Yod, aku yakin sebentar lagi kita akan disambut mereka. Mata yang aku lihat tadi pasti salah satu dari mereka."
Aku tidak menjawab pernyataan Bimo, aku sendiri juga merasakan ketegangan, kata-kata Bimo barusan membuatku lebih waspada. Bukan takut, meski ada walau sedikit, tapi lebih ke penasaran apa yang akan mereka lakukan, aku belum terlalu mengenal makhluk satu ini. Walaupun terdengar aneh bagi seorang Detektif Mitologi yang menangani hal seperti ini, tapi informasi tentang mereka terlalu beragam, bukannya sedikit dan sulit ditemukan, justru karena terlalu banyak membuatku bingung mana yang benar.
Yang aku tahu hanya satu, mereka suka mencelakai manusia dan itu cukup untuk membuatku waspada.
Semakin jauh kami berjalan, lantai goa yang kami lewati juga berair, meski tidak terlalu dalam, awalnya hanya sebatas mata kaki tapi semakin kedepan kini sudah mencapai lutut dan mempersulit perjalanan kami, belum lagi dasarnya yang tidak rata, dipenuhi oleh bebatuan karang.
"Nick, apakah duyung hidup berkoloni atau soliter?"
"Kalau mendengar dari mitos-mitos, mereka hanya beberapa saja dan hidup bersama, Junior. Tapi untuk kenyataannya, aku belum tahu. Bahkan aku pernah dengar tiap kelompok dari mereka mempunyai ratu."
"Ratu? Aha, seperti lebah."
"Bingo, Junior. Kau tahu, kan, bahwa hampir seluruh lebah adalah betina."
"Iya, Nick. Seluruh lebah pekerja dan penjaga adalah betina, hanya sedikit lebah jantan yang tugasnya mengawini ratu, dan setelah itu jantan diusir atau dibunuh."
"Ya, itu artinya jika duyung tidak memiliki duyung jantan dia akan mencari manusia. Tapi ini masih perkiraan, bisa saja mereka berkembang biak secara aseksual."
"Hmm..." aku berfikir tentang nasib anak Tuan Rusman yang jadi korban 'pemerkosaan' jika asumsi Nick benar, dan meskipun dia selamat dari duyung, bagaimana dia bisa bertahan hidup di sini.
Kami berjalan susah payah. Bimo berkali-kali mengarahkan senternya ke air, aku mengira dia pasti takut jika ada duyung yang tiba-tiba menyerang, karena aku juga memikirkan hal itu.
Goa yang kami lewati semakin lebar dan benar-benar terendam air, batu-batu besar dan kecil menyembul ke permukaan air yang tenang. Sejenak suasana sangat mencekam karena keadaan yang gelap dan udara yang dingin, padahal di luar sana mungkin matahari sudah meninggi.
Byur!
Suara benda membentur air terdengar di depan kami. Langkah kami terhenti, dengan bersamaan melihat ke arah suara tadi. Air tampak bergelombang seperti habis terkena sesuatu. Aku mengangkat pistol, waspada. Tidak ada yang bersuara, aku memasang pendengaran dan penglihatanku lebih tajam.
Lama kami terdiam, menoleh ke segala arah mencari sebuah pergerakan, tapi tidak ada apa-apa. Kami kembali berjalan, air terasa lebih dingin di kakiku, jari-jarinya seperti mati rasa.
"Yod, Yodha!" Bimo yang berjalan paling belakang memanggil dengan suara pelan, lebih mirip bisikan, "Prof, Kapten, siapa saja!"
Kami bertiga serempak menoleh ke arah Bimo, wajahnya tegang, tangannya menggenggam erat ketapel pemberian Albert, sedangkan tangan kirinya menunjuk ke arah kakinya yang terendam air hingga atas lututnya.
"Di bawaaah sini..." dia berbisik sangat pelan, tapi di dalam goa yang sunyi, suaranya terdengar cukup jelas. "Ada yang memegangi celanaku."
Aku melangkah pelan-pelan mendekati Bimo, mengarahkan pistolku ke depan untuk berjaga-jaga.
"Yod, mungkin ini duyungnya, aku tidak berani menggerakan kakiku dan memandang ke bawah," bisik Bimo saat aku sudah tiba di depannya.
Aku mendekat, menahan napas dan dengan perlahan mengarahkan senterku ke kaki Bimo. Sejenak dasarnya tidak terlihat jelas karena gelombang air dari langkahku tadi, tapi kelamaan mulai kelihatan karena airnya jernih dan tidak dalam.
Aku kembali menatap Bimo dengan memasang wajah tegang, "Bimo, lihat sendiri ke bawah!"
Dia menunduk ke bawah dengan perlahan, diam sejenak, lalu kembali melihatku sambil menghela nafas dan tersenyum malu, "hehehe...."
Celana Bimo tersangkut pada lantai goa yang mencuat ke atas seperti batu lancip, dia mengira celananya dipegang oleh duyung yang menyelam.
"Kenapa, Bemo?"
"Bukan apa-apa, Nick, celananya hanya dipegang oleh duyung sebesar batu yang menempel di lantai goa."
"Itu duyungmu, Bemo?" kata Nick sambil terkekeh diikuti tawa pelan dari Albert.
Bimo sebenarnya bukan seorang penakut, tapi dia tipe orang yang mudah terkejut, aku ingat dulu dia kaget bukan main saat bangun tidur ada seekor bayi Griffin di pelukannya, padahal dia sendiri yang membawanya saat akan tidur.
"Semuanya, lihat itu!" Tiba-tiba Nick berkata dengan perlahan, dan menghentikan langkah kami.
Aku melihat ke arah cahaya senter dari Nick dan terkejut. Terlihat kepala seorang wanita menyembul dari balik bebatuan, melihat ke arah kami. Rambut hitamnya yang panjang, basah, tergerai dan sebagian menutupi wajahnya.
Aku terpana, jantungku berdetak lebih cepat lagi, apakah ini yang dinamakan jatuh cinta? Tentu saja bukan, aku tegang dan sedikit takut.
"Itu dia..." Bimo berkata sangat pelan, tidak jelas apakah dia bertanya atau itu sebuah pernyataan.
Wanita yang hanya kelihatan kepala dan sebagian dada itu, terus melihat ke arah kami. Sejenak aku terpukau dengan wajah cantiknya. Mulutnya terbuka, seolah mengatakan sesuatu, tapi aku tidak mendengar apapun. Hanya ada suara mendesis di telingaku.
"Nick, apakah dia sedang bernyanyi?"
"Aku rasa begitu, baguslah alatku berfungsi."
Makhluk tadi masih 'bernyanyi', kami terdiam, belum tahu apa yang harus dilakukan. Aku menggenggam lebih erat pistolku dan telunjukku sudah menempel pada pelatuk.
Sadar nyanyiannya tidak berpengaruh, dia menyeringai menampakan giginya yang bertaring pendek, lalu mengangkat tubuhnya ke batu tempat dia bersembunyi, hingga seluruh tubuhnya terlihat. Dia wanita telanjang yang cantik dari ujung kepala hingga pinggang, tapi setelahnya, hanya sosok ekor ikan dengan sisik mengkilap keperakan.
"Semuanya tenang, jangan melakukan apapun dulu!" perintah Nick.
Aku takjub melihat duyung untuk yang pertama kali secara langsung. Dia menyeringai, kini di telingaku terdengar suara erangan dan geraman yang mengerikan. Entah aku yang salah lihat, atau memang benar, wajah dan kulit tubuh duyung itu berubah warna sedikit kehitaman yang tadinya putih mulus. Tiba-tiba dia menceburkan diri dan berenang ke arah kami.
Dor!
"Aaaakk!"
Suara letusan pistol menggema keras di dalam goa, mengejutkan duyung tadi dan membuatnya berenang menjauh, menghilang di kegelapan.
Nick menoleh padaku, aku masih mengacungkan pistolku saat aku balik menatapnya, tapi bukan aku yang tadi menarik pelatuk.
Aku menoleh pada Albert, dia juga sedang mengacungkan pistol.
"Saya rasa tadi sudah melakukan hal yang benar, dia akan mencelakai kita."
"Sebenarnya jika anda masih bisa menahan diri, Kapten, kita bisa menangkapnya hidup-hidup." Nick sepertinya sedikit kesal.
"Lalu untuk apa? Ditanyai anak Tuan Rusman ada di mana? Bahkan mereka tidak bisa bicara, Profesor."
"Tapi suara pistol anda memberitahu keberadaan kita dan mengejutkan mereka, suara tadi pasti terdengar di seluruh goa."
"Tapi dia menyerang kita, bisa saja tadi anda sudah celaka." Albert terdengar sedikit ngotot.
"Aku bisa mengatasinya, kita berempat, sedangkan dia...."
"Sudah, cukup!" Aku menengahi Nick dan Albert yang seperti anak kecil padahal mereka sudah tua, "Aku tahu kau kuat, Nick, dan kita menang jumlah tadi, tapi Albert juga tidak punya pilihan. Sudah kita lanjutkan pencarian kita dan lebih waspada."
"Maafkan saya, Tuan Yodha. Maaf juga, Profesor." Meski meminta maaf, nada bicara Albert terdengar kalau dia masih kesal.
Kejadian tadi memang sangat mengejutkan, mungkin itu yang membuat mereka terbawa suasana. Nick kembali berjalan sambil bergumam, mungkin dia juga masih kesal, kami bertiga mengikutinya.
"Harusnya yang takut itu aku," kata Bimo.
Aku menoleh pada Bimo dan dia mengacungkan ketapelnya padaku. Ya, memang seharusnya dia yang takut karena hanya membawa sebuah senjata mainan, tidak seperti yang lain. Aku menunduk dan memasukan tangan ke dalam air, lalu mengambil kerikil di dasar goa.
"Ini, kau butuh ini." Aku menyerahkan beberapa butir kerikil pada Bimo lalu kembali berjalan.
"Oh, terimakasih, Yod."
Niatku ingin mengejek Bimo, tapi aku tidak mendengar suara kerikil yang dibuang ke air, kurasa dia benar-benar mengantonginya.
Aku kembali teringat asumsi Nick tentang mereka yang memiliki 'Ratu', itu artinya mereka berkelompok. Bagaimana kami bisa menghadapi banyak duyung di tempat seperti ini.
Cahaya dari senterku tak sengaja menerpa sebuah benda yang teronggok di bebatuan, warnanya yang putih terlihat jelas memantulkan cahaya. Tidak hanya satu, tapi ada beberapa dan berserakan di sekitar bebatuan.
"Lihat, itu! Tulang manusia."
....