Chereads / Detektif Mitologi / Chapter 5 - Ibu Para Monster

Chapter 5 - Ibu Para Monster

Aku mendekati tulang-tulang yang berserakan itu, sebagian warnanya menghijau tertutup oleh lumut.

"Hati-hati, Yod"

Hati-hati untuk apa, pikirku, mana mungkin tulang orang mati mencelakai kita.

Kini benda berserakan itu sudah ada di hadapanku, dan aku memungut salah satu.

"Lihat, ternyata ini bukan tulang." Aku mengacungkan benda yang tersorot lampu senterku itu pada yang lain.

Mereka bertiga bergegas mendekatiku, suara langkah kaki mereka yang menabrak air, terdengar berisik memecah kesunyian goa. Nick sampai lebih dulu dan merebut benda yang tadinya dikira tulang itu dari tanganku.

Aku kembali berbalik dan mengamati benda-benda lain yang berserakan di bebatuan.

"Ini pecahan bangkai kapal," kata Nick di belakangku.

"Bagaimana bisa sampai ke dalam goa ini?"

"Mungkin terbawa arus saat pasang dan masuk ke dalam goa."

"Tapi kita tidak menemukan pecahan bangkai kapal apapun sejak kita masuk dari tadi."

"Ya, ini kayu yang bercat putih, seharusnya sudah banyak yang mengambang jika ini dari luar."

"Atau bisa saja dari sisi yang lain terseret ke sini."

Mereka bertiga beradu pendapat di belakangku, sedangkan aku masih mengamati sekitar tempat aku menemukan benda tadi.

"Atau mungkin seseorang menggunakannya untuk ke sini, lihat itu!" Aku menunjuk pada papan kayu panjang di atas bebatuan, tidak terlalu jauh dari tempat kami berdiri, warnanya sama dengan benda yang kutemukan tadi.

"Seseorang telah menaikinya untuk menuju ke sini, pecahan tadi sebelumnya bagian kayu yang mungkin digunakan sebagai dayung dan hancur untuk memukul sesuatu."

"Kau yakin, Yod?"

"Tepat di atasnya juga ada terowongan lagi pada dinding goa, kita harus sedikit memanjat jika ingin masuk ke sana."

Aku mulai berjalan menuju lubang yang cukup besar pada dinding goa. Jika dugaanku benar, mungkin seseorang yang menggunakan papan tadi masuk ke sana. Tapi sudah berapa lama dia ke sini? Mungkin dia juga sudah menjadi mayat atau tinggal tulang saja sekarang.

Aku sampai ke tempat di mana papan kayu yang aku maksud tadi. Papan itu seperti bagian dari lambung sebuah kapal kayu, panjangnya sekitar dua meter tapi lebarnya tidak sampai semeter.

"Aku rasa dugaanmu benar, Yod." Bimo tahu-tahu sudah ada di belakangku, "aku mengamati sekeliling dan tidak ada lagi benda ini selain di sini."

"Jika benar, pasti belum lama. Karena saat bulan penuh biasanya air laut akan pasang dan pasti memenuhi goa ini."

"Ya, dan benda ini akan hanyut entah kemana."

Aku menuju ke lubang pada dinding goa, mulutnya cukup tinggi dari atas bebatuan, melebihi kepalaku, sedikit susah untuk masuk ke sana karena dinding goa cukup licin.

"Bimo, coba kau naik dan masuk ke dalam!"

"Aku? Baiklah."

Bimo berusaha memanjat dinding dan masuk ke dalam lubang, sepertinya sangat susah. Tangannya berpegangan pada mulut lubang sedangkan kakinya berkali-kali terpeleset pada dinding goa.

"Uugh! Ini susah, Yod."

Aku maju membantu Bimo dengan mendorong pantatnya, dia bisa naik dengan perlahan dan sampai sepenuhnya di mulut lubang yang diameternya kira-kira hanya satu setengah meter itu.

"Kau melihat sesuatu, Bimo?"

"Ini terowongan yang dalam, Yod. Seperti mengarah ke suatu tempat, sangat gelap di sini."

"Kita akan tau setelah kita melewatinya. Nick, Kapten, kita lewat sini!"

Tak ada jawaban dari mereka.

Aku menoleh ke tempat mereka, agak jauh dariku. Mereka berdua berdiri mematung seperti sedang melihat sesuatu. Tangan Albert diarahkan padaku, seakan menyuruhku untuk berhenti atau menunggu, sedangkan sebelah tangannya sedang memegang pistol.

Nick melihat ke arah lain, tangannya tanpa senjata mengangkat keatas seakan bersiap untuk bergulat. Aku memicingkan mata untuk mempertajam penglihatan, samar-samar terlihat makhluk keperakan berenang mondar-mandir di depan Nick, itu duyung.

Kualihkan pandanganku ke Albert, di depannya muncul kepala wanita dari dalam air, duyung yang lain, mereka mengetahui kami dan sengaja mendatangi.

"Yod, aku melihat banyak duyung, dari sini terlihat jelas." Bimo berbisik padaku, "mungkin lebih dari empat atau lima."

"Bimo, kau tunggu di situ, bantu kami naik ke atas!"

"Oke, cepatlah! Sepertinya mereka kelaparan belum sarapan pagi." Suara Bimo terdengar sedikit bergetar, memang agak menakutkan kalau begini, di goa gelap kita diserbu oleh makhluk yang suka mencelakai manusia.

"Ayolah, manis... maju satu persatu, jangan main keroyokan!" kalimat Nick seolah menjelaskan bahwa kali ini para duyung datang beramai-ramai.

Para duyung masih pada tempatnya, ada yang berenang pelan. Albert mulai berjalan mundur perlahan ke tempatku, tangannya masih mengacungkan pistol pada 'mereka'.

Byuk! Byur!

Seekor duyung menyambar Albert dengan ekornya, dia jatuh terjengkang. Seekor lagi melompat menyambar Nick, dia jatuh terlentang dengan seekor duyung di atas tubuhnya yang langsung tenggelam.

Aku maju dengan mengacungkan pistolku. Nick bergumul dengan seekor duyung di air yang hanya setinggi lutut. Dia memukul dan membanting makhluk berekor ikan keperakan itu, seperti adegan gulat internasional antara Kane yang bertubuh besar melawan Debra pegulat wanita yang seksi, kejam sekali, tapi ini bukan wanita biasa, melainkan duyung yang bisa mencelakai manusia.

Albert berusaha berdiri dengan menendang-nendang duyung berwajah penuh urat menghitam yang memegangi kaki Albert, dia melepas tasnya dan memukul-mukul duyung dengan sekuat tenaga, sepertinya dia kehilangan pistol saat jatuh tadi.

Aku mengarahkan pistol tanpa berani menarik pelatuk, sangat susah membidik salah satu sasaran yang sedang berdekatan dengan seseorang yang tidak ingin kita lukai, aku takut salah sasaran mengenai Nick atau Albert.

Dan lagi, duyung benar-benar seperti seorang manusia, aku belum pernah membunuh orang, ini membuatku sedikit gugup.

Tiba-tiba muncul duyung lain yang dengan cepat mengarah ke Albert.

Dor! Aaak!

Aku menembaknya, dia berteriak dan berdarah kemudian menghilang berenang menjauh ke kegelapan. Albert berhasil berdiri lalu menendang dengan kencang kepala duyung yang memegangi kakinya tadi.

Dor! Dor!

Aku menembaki ke arah duyung lawan Albert tadi, sepertinya meleset, dia menyelam dan tidak terlihat.

Lalu muncul lagi yang lain, dan lagi. Aku berkali-kali menembaki mereka, tapi sepertinya selalu meleset, mereka menghilang ke kegelapan. Sepertinya bukan bagian vital dari tubuh mereka yang terkena karena aku tak melihat satupun mayat duyung. Mungkin mereka akan mati di suatu tempat dalam pelarian mereka.

Nick masih bergulat, kali ini dia berdiri dan memegang kedua tangan duyung lawannya lalu mengangkatnya tinggi-tinggi, tenaganya benar-benar kuat.

"Lihatlah, kau begitu cantik!" Nick menatap dengan wajah penuh kagum, sedangkan duyung yang wajahnya berhadapan dengannya, menyeringai penuh amarah.

Plak! Buk!

Ekor duyung itu memukul-mukul tubuh Nick yang lalu melemparkan si duyung ke atas bebatuan.

Bruk!

Duyung itu menggelepar, kesakitan, lalu terduduk dengan tangan di depan tubuhnya dan menyeringai. Aku mengarahkan pistol padanya dan kutarik pelatuk.

Klak! Klak!

Sial, peluruku habis. Aku terlalu boros saat menembaki duyung-duyung tadi.

"Kapten, beri aku peluru!"

"Tapi itu ada di sana, Tuan Yodha."

Albert menunjuk, dan aku lihat tasnya tergeletak di bebatuan dekat duyung yang sedang menyeringai tadi.

"Saya menggunakannya untuk memukul duyung tadi dan terlempar kesana. Bekal makanan kita juga ada di tas itu, Tuan."

"Gunakan pistolmu, Nick!"

"Tidak, Junior! Aku tidak ingin membunuh makhluk eksotis yang luar biasa ini."

"Eksotis, kepalamu! Dia ingin membunuh kita, Nick!" aku spontan berkata kurang ajar seperti ini agar Nick mau menghabisi mereka, meski sebenarnya aku paham perasaannya.

Nick mencabut pistol dari ikat pinggangnya, tapi bukannya diarahkan ke duyung dia malah berbalik melihat padaku dan Albert, menatap tajam. Apa yang akan dia lakukan? Dan aku baru sadar, dia sudah tidak memakai penutup telinganya lagi!

Aku menatap Nick dengan tatapan curiga karena sikapnya.

"Nick, apakah kau masih bersama kami?"

Dia masih menatap sambil tersenyum, lalu mengacungkan pistol padaku.

"Hei, jangan main-main! Kau tidak dihipnotis duyung, kan?"

"Dasar kau, Junior. Nyanyian duyung hanya memikat, tidak menghipnotis untuk memerintah seperti tukang sulap."

Aku menghela nafas lega dengan pelan, lalu kulihat tangan Nick yang mengacungkan pistol, ternyata dia memegang dengan terbalik, gagangnya yang diarahkan padaku.

"Kalian saja yang menembak jika benar ingin menghabisinya." Nick menggerakkan tangannya, memberi tanda untuk mengambil pistolnya.

Albert langsung menyambar pistol dari tangan Nick dan mengarahkan pada duyung, tapi aku mencegahnya.

"Dia sudah tak berdaya, Kapten."

Albert menatapku sejenak lalu melihat pada duyung di bebatuan tadi, begitu juga aku. Makhluk tadi masih menyeringai dengan pose yang sama, sepertinya dia kesakitan karena dilempar oleh Nick tadi. Wajahnya tidak cantik lagi karena memperlihatkan giginya yang bertaring.

"Kalian mau disitu sampai kapan?" Suara Bimo di belakang kami mengejutkanku, "sampai duyung-duyung itu datang membawa pasukan satu batalyon?"

"Nick, Kapten, ayo kita pergi!"

Kami bertiga menuju ke lubang, dimana ada Bimo yang sudah menunggu kami daritadi. Duyung yang sudah tak bisa bergerak tadi berteriak, entah umpatan marah pada kami atau sedang memanggil kawan-kawannya.

Kami sampai di lubang pada dinding tadi, Nick naik lebih dulu dibantu tarikan tangan Bimo yang susah payah menarik beban tubuh pria besar itu. Albert membantu mendorong Nick yang kemudian sampai ke atas pada mulut lubang.

Setelah aku membantu Albert naik menggunakan tanganku sebagai pijakan, aku teringat tas Albert, lalu aku pergi menuju ke tempat duyung tadi dimana benda itu tergeletak disana.

"Yod, kau mau kemana?"

"Kalian tunggu disini! Aku akan mengambil tas Kapten tadi."

"Dasar bocah gila, tadi menyuruh kami cepat pergi malah kau sendiri yang kembali kesana, Junior."

"Kita butuh amunisi, Nick. Dan lagi, kita bisa mati kelaparan kalau tas itu tertinggal."

Aku menuju bebatuan tadi dan berhenti beberapa langkah sebelum sampai, duyung tadi sudah tidak ada.

"Sial!" gumamku. Kini aku harus lebih waspada karena aku sendirian dan aku lupa pistolku telah kosong.

"Kalian tidak melihat melihat kemana duyung tadi pergi?"

Aku bertanya pada mereka tanpa menoleh, mataku masih mengawasi sekitar bebatuan.

"Oh, tidak, duyung itu menghilang! Aku tidak melihatnya, Yod. Kita terlalu sibuk untuk naik kesini tadi."

"Hati-hati, Tuan Yodha. Saya akan melindungi anda dari sini."

Aku mendengar secara samar suara 'klik' dari belakangku, pasti Albert membuka kunci pengaman pistol dan melindungi ku dari tempat mereka yang berjarak lebih dari sepuluh meter dariku.

Aku menelan ludah, berharap duyung tadi sudah pergi jauh atau mati dan kini sudah tenggelam di balik bebatuan. Aku maju perlahan mendekati tas, mengawasi sekeliling, lalu memungutnya.

Aku mundur menuju tempat mereka, sampai tiba-tiba sebuah tangan meraih kakiku dari dalam air.

"Sial!" Aku menendang-nendang agar kakiku terlepas dari cengkeraman makhluk ini.

Kakiku terlepas darinya dan kepala duyung itu muncul di hadapanku, menampakkan ekspresi wajah yang buruk dengan membuka mulutnya.

Buk!

Aku memukulkan tas berat yang kutenteng ke wajah jelek duyung tadi, lalu berlari dengan susah payah karena kakiku terendam air sampai ke lutut.

"Cepat, Yod!"

Dor!

"Aaak!"

Dor! Dor!

Suara letusan pistol dari Albert, disusul teriakan duyung di belakangku, terdengar berkali-kali, beriringan dengan suara cipratan air dari langkah kakiku dan di belakangku.

"Mereka ada banyak! Cepatlah!" Nick mengulurkan tangan padaku. Aku melemparkan tas ke lubang yang lalu ditangkap oleh Bimo dan kuraih tangan Nick. Sedangkan Albert, berkali-kali menembak pada duyung-duyung di belakangku.

Saat berusaha naik, kakiku kembali dicengkeram oleh seekor duyung, aku menghentakkan kakiku berusaha melepasnya, tapi cengkeramannya sangat kuat.

Aku melihat kebawah, dia membuka mulutnya sambil memegangi kaki kananku dengan kedua tangannya.

Tak!

"Kyaah!"

Duyung tadi berteriak dan tiba-tiba menyentuh wajahnya dengan sebelah tangan, aku mendongak ke atas, Bimo sedang mengarahkan ketapel ke bawah.

Tak!

Kini cengkeraman di kakiku terlepas, aku dengan cepat naik ke atas dibantu Nick dan akhirnya sampai ke mulut lubang.

Beberapa duyung berenang di air goa yang dangkal di bawah kami, satu duyung yang tadi memegangi kakiku masih menutupi wajahnya, lalu membuka kedua tangannya, wajahnya berdarah.

"Fýge! Fýge...!"

Dia bersuara! Mulutnya bergerak, kadang terdengar lirih, kadang kencang, tapi ini bukan nyanyian.

"Fýge ... kyaaah!"

Aku menoleh pada Nick, aku khawatir ini nyanyian siren, sedangkan dia tidak memakai penutup telinganya.

Nick memandang ke bawah dengan serius memperhatikan duyung.

" I Ēchidna vasilissa...

I Ēchidna vasilissa!"

Aku mendengar duyung itu bicara.

"Ayo kita pergi masuk ke dalam!" Aku mendorong Bimo dan Albert agar berjalan ke dalam, sedangkan Nick masih saja melihat pada duyung tadi di bawah.

"Nick, ayo!" Aku menarik lengan Nick yang kemudian mengikutiku.

...