A-anu... Halo... Pe-Pembaca...
Aku... Bo-boleh minta... Vote dan komentar... Nggak? Uh... Ng-nggak boleh, yah? Ya udah deh huuhuu...
Se-... Selamat membacaaa! Uuu...
_______________________________________
"Hiks... Hiks..."
"Eh, Ar! Dia nangis! Kamu apain dia!?"
"Huhuu... Huaaaaaaaa!"
"Lah? Abis kuperban, nggak ada kuapa-apain lagi, kok! Biusnya abis ya?"
"Mana aku tauuu..."
"Sepertinya tadi udah banyak dikasih lotion anestesi. Mungkin bukan karena nyeri?"
"Eh eh, adek! Kenapa kamu nangis?"
"A-... Hiks... Aku..." Aku berusaha menjawab pertanyaan wanita itu.
"Aku...?"
"Aku udah nggak bisa nikaaaahhh!!!"
"""Ha???"""
***
Arka sudah selesai menjahit dan merawat luka gadis kecil itu, si Aesa. Dia memakaikan pakaian cadangan miliknya kepada gadis itu. Pakaian sang gadis, sudah tidak layak pakai lagi karena sudah robek besar di bagian depan dan berlumuran darah.
Setelah selesai semua, Arka dan kawan-kawan kembali lepas landas untuk menuju Kota Pelabuhan Merinoc. Tujuan mereka adalah untuk mencari kapal pesiar sekaligus menyelesaikan misi yang mereka ambil sebelumnya, yaitu penaklukan Dagon.
Di perjalanan, tiba-tiba gadis kecil itu menangis. Sebenarnya, tidak pantas lagi untuk dikatakan 'gadis kecil'. Karena tubuhnya sudah setinggi Arka. Namun karena wajahnya masih terlihat sangat muda, mereka menganggapnya masih kecil.
"Kenapa kamu nggak bisa nikah? Apa penyebabnya kamu sampai menangisi itu?" Ren bertanya dengan lembut kepada gadis itu.
"Tubuhku... Sudah dilihat oleh pria itu..."
Dia tidak bisa melihat Arka karena matanya ditutup. Tapi dia bisa mendengar suara seorang pria.
"Eee... Ya udah, kan kamu nggak ngeliat aku. Kami bakal jaga rahasia ini, supaya nggak ada orang lain yang tau." Jelas Arka.
"Iya, kami janji kok, nggak akan bilang siapa-siapa..." Kata Syla meyakinkan.
"Huhuuuu..."
"Tenang aja. Kamu tetep bisa nikah. Sekarang, kami akan ngembaliin kamu ke tempat tinggalmu dan kamu bisa jalanin hidupmu kayak biasanya. Ok?"
"Hidupku... Kayak biasanya? Huuuaaaaaaaaaaaa!" Gadis itu semakin nangis menjerit.
"Loh loh!? Kok tambah nangis?? Reeen urusin itu!" Arka semakin kebingungan.
"Tuh kan, Ar... Coba kamu diem aja dehhh..."
"Iya iya udah aku diem! Zeppp!" Ucap Arka sambil menirukan gerakan menutup resleting pada mulutnya.
"Adik... Apa yang kamu pikirkan?"
"Aku... Hiks... Nggak bisa kembali ke kehidupanku seperti biasanya... Hiks..."
"Loh, kenapa?"
"Aku tidak punya keluarga, hiks... Dan satu-satunya keluargaku kini... Hiks... Adalah party-ku... Hiks..."
"Party-mu...? Hm... Arka?" Ren mengalihkan pandangan kepada Arka.
"Emm... Tadi, selain dia, semua orang di sekitarnya udah mati. Dan tubuh mereka udah hancur. Dimakan serigala, kayaknya."
"Huuaaaaaaaaaaa!" Mendengar ucapan Arka, gadis itu kembali menangis sejadi-jadinya.
"Tuh, kan. Kalo Arka ngomong pasti bikin dia nangis!"
"Anjay... Aku tadi jawab pertanyaannya Rennn..."
"Kenapa nggak bisik-bisik aja? Kenapa mesti kedengeran dia ngomongnya?"
"Ampooon iya iya aku salaaaahh aku selalu salaaahh... Maappp hidupku ini adalah sebuah kesalahan terbesar di dunia, maappp!"
"Nah, gitu. Bagus sadar."
"Aku turut berduka atas yang dialami teman-temanmu..." Ren tidak mempedulikan percekcokan rumahtangga mereka, kembali berbicara kepada gadis itu.
"Huhuuuu... Aku tidak punya siapa-siapa lagi... Huuuaa... Kenapa aku tidak mati sajaaa..."
"Jangan berkata seperti itu... Kamu pasti kuat. Kamu harus kuat. Jangan sampai perjuangan teman-temanmu menjadi sia-sia. Kamu harus bisa meraih mimpi yang sudah kalian tetapkan bersama sebelumnya. Pasti ada, kan?"
"Hiks... Kami... Ingin menjadi... Hiks... Petualang Plat Diamond yang disegani semua orang! Hiks hiks..."
"Nah, kamu harus berjuang untuk meraih itu. Teman-temanmu pasti akan bangga jika melihatmu berhasil menjadi Petualang Plat Diamond." Ujar Ren menyemangati gadis itu.
"Hiks... Uhm..." Kata gadis itu, mengangguk.
"Namaku Renia Misha. Biasa dipanggil Ren. Namamu siapa?" Tanya Ren.
"Aesa. Hiks... Aesa Aelum."
"Baiklah, Aesa. Sekarang, hapus air matamu, dan berhenti menangis. Kamu pasti bisa memulai hidup yang baru. Kamu akan bertemu teman baru, menciptakan kenangan indah baru bersama teman-teman barumu, dan perlahan, kamu bisa mewujudkan cita-cita temanmu yang sudah gugur di pertempuran. Kalau kamu menangis, mereka akan bersedih di alam sana."
"Tapi..."
"Tapi, apa?"
"Tapi aku sudah tidak bisa menikah lagi kecuali dengan pria itu... Walaupun dirahasiakan, tapi aku tidak akan bisa melupakan ini..."
"... Arka?" Tanya Ren menantikan respon Arka.
"..." Arka hanya diam.
"Ar?"
"..." Arka masih diam.
"Arkaaa sayaaang... Dijawab dooong..."
"Kalo aku ngomong, nanti aku masuk neraka. Semua omonganku itu adalah dosa."
"Hmmm... Udah, ngomong aja nggak usah banyak bacot, sayang..."
"Huh. Jadi laki emang serba salah. Bunuh aja aku ini, bunuuuhh!"
"Udah jawab sana..."
"Tadi, Aesa, kan?"
"U-uhm..." Jawab Aesa sambil mengangguk kecil.
"Umurmu, berapa?"
"15 tahun..."
"Gini... Bukannya aku mau lari dari tanggungjawab walaupun memang seharusnya itu bukan tanggungjawabku. Tapi, usia 15 tahun itu kurang baik untuk menikah. Ah, sini kubuka dulu semua ikatannya. Nggak enak ngobrol kayak gini."
Arka membuka semua ikatan di kaki, tangan, dan mata Aesa. Ren dan Syla ikut membantu. Setelah dibuka semua, Aesa mengusap-usap matanya. Dia merasa sedikit gatal di kelopaknya.
Lalu perlahan, dia membuka matanya. Setelah beberapa saat terlihat kesilauan, akhirnya mata Aesa bisa beradaptasi dengan cahaya di sekitarnya.
"Wa--..." Aesa sedikit terkejut melihat mereka sedang terbang di ketinggian.
"Halo, Aesa! Aku Syla!"
"Aku Ren, yang tadi..."
"Eem... Aku Arka. Yang dituduh melakukan pelecehan seksual."
"Memang bener kalo itu..." Syla menimpali."
"Hahh... Semerdeka kamu deh, Syl. Oh, iya. Naga yang kita naikin ini, namanya Ruby."
"Na-naga!?"
"Tenang aja, Ruby anak baik. Ya, kan, Ruby?"
"Grraaarrrrh!"
"Hiii!" Aesa ketakutan setelah mendengarkan raungan Ruby.
"Udah, tenang aja. Ok, jadi kita balik ke pembahasan yang tadi... Berarti, maksudmu aku harus bertanggungjawab untuk menikahimu walaupun tujuanku tadi cuman mau ngerawat lukamu biar cepet sembuh dan nggak infeksi, gitu kan?"
"I-infeksi?"
"Ah, udah. Nggak usah dipikirin itu. Jadi, gimana?"
"A-aku harus ikut Kak Arka. Aku nggak bisa me-me-menikah dengan laki-laki manapun selain Kak Arka karena Kak Arka udah liat tubuhku yang te-te-telanjang tadi... Dan aku udah nggak punya siapa-siapa lagi di dunia ini... Hiks..."
"Stop! Stop stop stop jangan nangis lagi... Ok, kamu boleh ikut kami. Tapi, untuk urusan menikah... Umurmu masih kurang baik buat nikah. Aku sih ya mau-mau aja hehee..."
"Dasar, mesum! Tapi nggak apa-apa, deh. Aku jadi punya adek baruu!" Kata Syla.
"Ke-kenapa, Kak Arka?"
"Ada 2 hal yang paling mendasar. Yang pertama, karena secara histologis (ilmu tentang jaringan tubuh), jaringan epitel (lapisan terluar) dari cervix uteri-mu (leher rahim) belum matang dan siap untuk melakukan hubungan seks."
"S-s-seks!?" Aesa kaget dan wajahnya memerah.
"Orang menikah, pasti akan berhubungan seks, kan? Entahlah kalo orang lain. Kalo aku sih nggak bakal tahan haha... Lanjut lagi. Resiko terjadinya kanker cervix akan lebih tinggi jika melakukan hubungan seks sebelum cervix-nya siap. Cervix akan siap pas cewek udah berumur 18 tahun. Sebelum itu, nggak baik."
"Oh..."
"Dan yang kedua, juga dikarenakan tubuhmu secara umum belum siap. Tubuhmu belum siap untuk reproduksi. Sel ovum (sel telur) belum benar-benar matang dan siap untuk dibuahi. Bisa meningkatkan resiko kecacatan pada janin. Dan karena tubuhmu belum siap untuk hamil dan melahirkan, akan tinggi juga resiko munculnya komplikasi (akibat) dari hamil dan melahirkan. Dan itu bisa fatal bagi janinmu dan dirimu sendiri."
"Be-berarti... Aku... Ha-hanya perlu menunggu 3 tahun lagi, kan?"
"Pinter... Eh? Ah, ya gitulah."
"Nanti, Kak Arka akan menikahiku, kan?"
"Antrian ke-4."
"Nggak masalah!" Wajah Aesa terlihat mulai cerah.
"Deal."
"Deal itu apa?"
"Sepakat."
"Oh... Iya, deal!"
"Yaaay!" Teriak Aesa, refleks memeluk Arka.
"Whoaa... Santuy, Sa..."
Tak terasa, Kota Merinoc sudah terlihat dari kejauhan. Kotanya tidak besar. Kalau dilihat dari luasnya, sedikit lebih kecil daripada Kota Dranz. Terdapat dermaga yang panjang terhampar di sepanjang pesisir kota.
"Ar, itu Kota Merinoc! Udah lamaaa banget aku nggak kesini."
"Oh... Itu... Berarti kita mendarat di Hutan Goturg aja, ya..."
'Siaaap!'
Ruby menjawab via telepati, lalu terbang berbelok dan menurun ke arah Hutan Goturg.
"Eh!? Ada suara perempuan di kepalaku!" Aesa terkejut mendengar telepati Ruby.
'Ini Rubyyy! Salam kenal, Aesa!'
"Ruby itu, na-naga, kan?"
'Iyaaa! Hehee... Pegangan semuaaa!'
Ruby langsung terbang menukik tajam. Yang lainnya, berserakan di punggung Ruby.
"Waaaaaa!"
"Eeehh ehhhh!"
"Kyaaaaaa!"
"Rubyyyy!"
'Hehehee...'
Tak berapa lama, Ruby mengepakkan sayapnya sehingga mereka mendarat tanpa benturan keras.
Monster-monstet kecil yang berada di sekitarnya, langsung lari ketakutan karena seekor naga mendarat di sana. Ada beberapa monster kelas E yang tidak lari, mereka menunjukkan sikap agresif. Namun, semuanya bisa diatasi oleh Arka.
"Hup... Devil's Glare." Arka melompat turun dari punggung Ruby dan mengaktifkan salah satu skill curse miliknya.
Dengan satu tatapan mata Arka yang sudah diimbuhi dengan curse yang menimbulkan efek 'fear' (ketakutan), semua monster yang tadinya agresif, seketika meringkuk gemetar dan ketakutan. Beberapa langsung melarikan diri.
"Pergi kalian."
Seolah-olah mendapat komando dari pemimpin mereka, monster-monster itu langsung berlari menjauhi area mendaratnya Ruby. Area itupun menjadi bersih dari monster penghuni Hutan Goturg.
"K-Kak Arka, bisa bahasa demon?"
"Bisa dooong... Sebenernya yang tadi itu mereka bukan lari karena kuperintah. Mereka nggak ngerti bahasa apapun. Mereka itu lari karena ketakutan aja."
"Me-mereka takut sama Kak Arka?"
"Bukan sama aku... Tapi sama ini, Devil's Glare." Arka kembali mengeluarkan skill yang sama, kali ini kepada Aesa.
"Hi-hiiii! K-K-Kak Arkaa!" Aesa langsung gemetar hebat, ketakutan melihat tatapan mata Arka.
"Ahahaha! Lucuu--adededeeehhh!"
"Sayang, nggak boleh gitu sama anak kecil." Ucap Syla dengan nada dingin, sambil mencubit pipi Arka.
"Hahhh... Hahhh... Hahhh... K-Kak Arka menyeramkan... Huuhuuu..."
Aesa tersengal-sengal mengambil nafas ketika Arka sudah menonaktifkan skill Devil's Glare. Lalu dia menangis... Lagi.
"Ampuuunn, Syl! Maaf! Maaf Aesa!"
"Huhuhuuu... Calon suamiku menyeramkaaann!"
Mereka bercanda dan mengobrol sepanjang perjalanan dari Hutan Goturg hingga Kota Merinoc. Selama di dalam hutan, Syla yang memberikan penerangan dengan magic karena hari sudah gelap.
Sedangkan Fire Bolt milik Arka hanya sebesar korek api, padahal mereka tidak memiliki obor. Unfaedah sekali skill magic api MC kita...
"Aku kan bisanya cuman dark magic!"
"Loh, Arka marah sama siapa?" Tanya Ren.
"Itu, Author koplak."
"Author?"
"Udah, Ren. Nggak usah dipikirin."
"Aneh..."
Setelah beberapa jam berjalan dengan sangat cepat, diselingi dengan berlari, akhirnya mereka mencapai Merinoc setelah lewat tengah malam. Aesa tidak bisa mengikuti kecepatan mereka, sehingga Arka menggendongnya. Dengan Vit yang sangat tinggi, Arka tidak meneteskan sedikitpun keringat walaupun sudah menggendong Aesa.
Di tanah terbuka, mereka tidak memerlukan pencahayaan lagi, karena cahaya dari 3 buah bulan yang menyinari dari langit sudah cukup terang. Tuh, udah gua bantuin lu, Ar.
"Aku harus bilang 'WOW' ?"
"Ngomong sama siapa sih, Ar?"
"Nggak, abaikan aja aku, Syl."
Sesampainya di gerbang Kota Merinoc, mereka diperiksa dan dimintai tanda pengenalnya oleh penjaga gerbang. Lalu dipersilahkan masuk. Mereka bergegas mencari penginapan.
Menyewa 2 kamar, lalu dibagi menjadi Arka, Syla, dan Ruby di satu kamar, sedangkan Ren dan Aesa di kamar satu lagi. Syla dan Ruby tidak mau tidur berpisah dari Arka. Ren juga sebenarnya tidak mau, tapi Ren lebih bijaksana dalam menyikapi hal ini.
Akhirnya, mereka tidur pulas tanpa ada adegan hentai wikwik skidipapap. FYI aja, adegan hentai masih nantiii di chapter dua puluh sekian.
***
Mentari sudah naik cukup tinggi di langit. Arka, Syla, Ren, dan Ruby sudah bangun dari tadi. Bahkan mereka sudah sarapan. Namun Aesa masih tertidur pulas. Sepertinya peristiwa kemarin telah menguras seluruh tenaga dan perasaannya.
Dark Edge menunggu Aesa bangun dengan sendirinya. Mereka tidak terburu-buru. Karena, normalnya perjalanan darat dari Arvena ke Merinoc sangatlah lama. Sedangkan mereka, menempuhnya hanya dalam waktu 1 hari. Terimakasih kepada Ruby untuk hal itu.
"Aku mau ke dermaga dulu. Mau nyari kapal pesiar yang jadwal berangkatnya malem aja. Siapa yang mau ikut dan siapa yang jagain Aesa?"
"""Aku ikut!"""
Tiga orang gadis bukan perawan itu, semuanya mau ikut.
"Minimal 1 yang jagain Aesa biar dia nggak kebingungan pas bangun nanti."
"Aku tadi malam udah nggak tidur sama Arka..." Ucap Ren dengan nada sedikit sedih.
"Kalo gitu, Ruby dan Ren ikut aku. Syla jagain Aesa, ya..."
Arka memutuskan demikian karena pertimbangan bahwa Ren sudah berkorban untuk tidak tidur bersamanya tadi malam. Sedangkan Ruby, tidak bisa. Aesa masih takut dengan fakta bahwa Ruby adalah naga.
"Ya udah deh, aku jaga Aesa aja..."
"Bentar aja kok, Syl... Kami pergi dulu yah..."
"Ok, hati-hati di jalan ya, sayang... Ruby dan Ren juga..."
"Okaay!" Jawab Ruby ceria.
"Kamu juga, hati-hati, Syl."
"Maaf ya, Syla..."
"Nggak apa-apa, Ren... Aku nggak boleh egois juga. Karena Arka cuman ada 1, kan?"
"Hehe... Makasih, Syla!" Ren memeluk Syla.
"Udah ah. Lebay banget pada. Bentar doaaang..." Kata Arka sambil memperhatikan dua pasang payudara favoritnya sedang saling menekan satu sama lain.
Pada akhirnya, mereka bertiga pergi ke dermaga dan membayar tiket sebuah kamar besar di salah satu kapal pesiar mewah yang akan berlayar ke Benua Zegga. Letaknya berada di arah timur dari Benua Erith (benua yang mereka tempati saat ini).
Dalam perjalanannya, mereka akan melalui lokasi dimana Dagon sering terlihat. Sebenarnya, kapal itu sedikit berbelok untuk menghindari lokasi tersebut. Tapi akan mudah saja bagi Arka dan kawan-kawan untuk terbang menuju ke lokasinya dari kapal yang mereka naiki.
***BERSAMBUNG...***
_______________________________________
Te-terima kasih! Sudah... Membaca ce-ce-ceritaku! Ja-jangan... Jangan lupa voteeee! Uwaaaaa!
Nama penting di chapter ini :
- Aesa Aelum, Earth Mage, Plat Copper.
- Benua Zegga
- Benua Erith