Halo pembaca! Silahkan berbuat kebaikan dengan vote cerita ini, terimakasih.
Selamat membaca!
Info:
- "Tulisan seperti ini adalah percakapan biasa."
- 'Tulisan seperti ini adalah berbicara dengan telepati.'
_______________________________________
"Apapun pilihan Arka, aku akan tetap di samping Arka."
Ren, menjawab pertanyaanku tentang apakah aku harus memanfaatkan kesempatan yang diberikan Erazor atau meniti karir secara bertahap dengan kekuatanku sendiri. Dan jawabannya Ren sama sekali tidak menjawab pertanyaanku.
Mungkin Syla juga harus tahu tentang ini. Tapi dia masih tidur pulas. Aku tidak tega untuk membangunkan wajah yang imut ketika sedang tidur seperti itu. Sepertinya masih lama tidurnya. Ya mungkin aku akan jalan-jalan sore dulu. Sambil melihat-lihat orang yang berjualan makanan, rencananya sekalian kubeli untuk makan malam nanti.
"Ren, mau ikut nggak?"
"Arka mau kemana?"
"Jalan-jalan doang..."
"Mau ikut!"
"Yuk."
"Tunggu sebentar, Arka. Aku mau pakai bra dulu..."
"O-ok..."
Aku lupa kalau Ren belum pakai bra. Dia mengambil baju ganti dan bra miliknya dari dalam lemari. Lalu melangkah masuk ke kamar mandi. Yah... Tidak ada service episode 3. Tak berapa lama, Ren keluar dari kamar mandi, sudah mengganti dasternya dengan pakaian merchant sehari-harinya, dan tentu saja, sudah memakai bra.
Kalem... Selalu ada 'next time', tak usah berkecil hati, Hercules Junior!
***
Kami berjalan ke area perdagangan Kota Dranz. Walaupun perbaikan masih berlangsung, tapi para pedagang sudah mulai aktif membuka lapak-lapak untuk menjual barang dagangannya.
"Arka, tunggu sebentar, aku mau beli itu..." Kata Ren sambil menunjuk lollipop warna-warni yang dijual di salah satu lapak.
"Berapa harganya, Pak?"
"1 BC, Tuan."
"Eh, Arka, aku bayar sendiri aja..."
"Nggak apa-apa, sore ini Ren kutraktir."
"Uhmm... Makasih, Arka..." Ucap Ren sambil tersenyum manis.
Kalau diperhatikan, wajahnya Ren ini imut dan manis, membuatnya tidak membosankan untuk dilihat. Bahkan, saat ini aku sedang melamun melihat wajahnya.
"...-ka? Arka?"
Aku kaget, tersadar dari lamunanku.
"Eh, iya, apa, Ren?"
"Arka kok melamun?"
"E-enggak kok! Yuk jalan lagi! Liat-liat siapa tau ada yang jual sesuatu yang menarik."
"Yuk! Hehe..."
Hahhh... Syukurlah, Ren tidak memperpanjang topik itu.
"Eh, ada yang jual kain anyaman..."
"Arka mau beli?"
"Iya, aku pengen kita pake sesuatu yang sama. Jadi kelihatan kalo kita itu satu party."
"Wah, ide bagus! Aku bisa punya sesuatu yang sama dengan Arka... Hehehe..."
Kami menghampiri lapak yang menjual bermacam-macam kain tenunan. Tenunannya rapi, coraknya unik dan menarik, bahannya juga sepertinya kualitas tinggi. Tapi entahlah, aku hanya sok tahu saja.
Ada satu corak yang membuatku tertarik. Warna violet di bagian atas, lalu orange di bagian bawah. Di tengahnya, yaitu pertemuan antara violet dan orange, memiliki corak zigzag, melintang secara diagonal dari kiri bawah hingga kanan atas. Entah kenapa, aku bisa langsung jatuh hati pada tenunan yang satu ini.
"Bu, ini tenunan apa ya namanya?" Tanyaku sambil memegang kain tenunan yang kumaksud.
"Tuan punya mata yang jeli! Namanya adalah Sunset Aura. Tenunan itu dijual oleh pembuatnya sekitar sebulan yang lalu. Pembuatnya terpaksa menjual ini karena dia sedang terdesak. Tenunan ini memiliki efek magis yang mampu meningkatkan kekuatan magic seseorang karena dibuat dari benang yang berasal dari olahan batang pohon Myriad Illusion yang hanya tumbuh di dalam Dungeon Eternal Glacier."
"Ha?"
Aku bingung mengolah informasi dari Ibu penjual kain tenun ini.
"Hahaha... Kesimpulannya, ini adalah kain tenunan yang sangat bagus. Jumlahnya terbatas, dan tentu, harganya tidak bisa murah."
"Ada berapa stoknya dan berapa harganya, Bu?"
"Hanya ada empat meter, dan aku tidak menjualnya secara ecer. Untuk empat meter, kujual dengan 10 BG."
"Apa? Aku tidak salah dengar? 10 BG?"
"Arka, coba aku lihat..."
"Ini." Kataku sambil menyerahkan kainnya kepada Ren.
Ren memiliki skill Appraisal. Dia menggunakan skill itu untuk mengkonfirmasi info dari Ibu Penjual. Setelah beberapa saat, Ren kemudian menatapku dengan tatapan serius. Lalu dia mengangguk. Ternyata kain tenun ini benar-benar istimewa.
"Ren, tolong ya..."
"Iya, Arka."
Ren dengan skill merchant, sedang berusaha negosiasi untuk menurunkan harga atau mendapatkan diskon. Ternyata skill pasif merchant tidak seperti di game. Tetap membutuhkan usaha untuk mendapatkan harga rendah, bukan merupakan diskon instan.
"Arka, kata Ibu itu, harga terendahnya 8 BG 5 BS 2BC. Nggak bisa turun lagi."
"Terimakasih Ren."
Aku berterimakasih kepada Ren sambil mengusap-usap rambutnya. Ren tersenyum sambil menikmati.
"Ini uangnya, Bu. Bisa minta tolong dipotong? Jadi empat helai masing-masing lebarnya satu meter."
Aku sengaja memberikan 8 BG 7 BS, lebih dari harganya, tapi sekalian minta dipotong jadi empat bagian sama besar. Kain tenunan itu memiliki panjang empat meter dan lebarnya dua meter. Jika dibagi menjadi empat, berarti masing-masing menjadi berukuran 2 meter x 1 meter.
Selain ingin sesuatu yang membuat kami memiliki 'trademark', aku juga memang membutuhkan syal (shawl) terutama untuk menutup kepalaku saat panas dan menutup leherku ketika udara dingin. Mungkin juga bisa untuk digunakan sebagai selimut ketika sedang camping di alam terbuka.
"Bisa, Tuan. Tapi mungkin butuh waktu untuk memotongnya."
"Tidak masalah, aku tunggu."
"Baiklah. Kalau begitu akan langsung saya kerjakan sekarang. Permisi, Tuan..."
"Ok. Tolong yang rapi ya, Bu."
"Baik, Tuan."
"Arka, kenapa membuatnya jadi empat helai? Kan kita cuman bertiga?"
"Haha... Ren ngelupain sesuatu."
"Hm?"
"Liat aja nanti hahaha..."
"Pelit."
Kami menunggu sekitar setengah jam. Sambil menunggu, aku membeli daging bakar yang dijual di dekat penjual kain tenun itu. Bau daging yang dibakar itu sungguh mengundang seleraku. Potongan daging ditusuk dengan batang logam, lalu dibakar di atas bara api. Mirip seperti membuat sate, tapi bedanya yang ini lebih besar. Tusukannya besar, potongan dagingnya juga besar. Kubeli dua potong. Untukku dan untuk Ren. Syla biar beli sendiri, belum tentu dia mau daging bakar.
Daging itu kemudian dibungkus dengan rapat oleh penjualnya menggunakan dedaunan, lalu kumasukkan ke dalam kantong belanjaan yang sudah kupersiapkan sebelumnya, karena aku melarang Ren membawa gerobaknya, jadi aku harus menyiapkan kantong seperti ini.
"Tuan, ini kainnya sudah selesai saya potong jadi empat!"
"Ok!"
Aku langsung mengambil kain tenunan yang sudah dipotong jadi empat itu. Satu kulilitkan di leherku, satu lagi kuberikan kepada Ren, dan dua sisanya, kumasukkan ke dalam kantong belanja, bersama daging bakar yang kubeli tadi.
Sempat kuintip statusku sekejap, angka yang awalnya +20 pada status Int-ku, sekarang menjadi +25. Tambahan 5 poin Int hanya dari kain tenun termasuk lumayan tinggi dibandingkan 20 poin dari bola mata Helvaran yang notabene monster kelas B.
"Yuk, Ren, kita pulang. Nanti kalo Syla bangun dia malah marah-marah lagi karena kita pergi ninggalin dia."
Tanpa sadar, tanganku meraih dan memegang tangan kanan Ren, lalu menariknya dengan santai. Aku sudah terbiasa melakukan ini dengan Syla. Dan kini aku melakukannya dengan Ren seperti refleks saja. Ren hanya diam dan mengikutiku. Kami bergandengan tangan sampai penginapan. Dan setelah sampai di depan kamar, tangan kiriku melepas tangan kanan Ren, untuk membuka pintu.
Ketika aku masuk ke kamar, Ren hanya berdiri diam di depan pintu sambil menunduk.
"Ren nggak masuk?"
"..."
Ren tidak menjawabnya. Dan aku melihat wajah Ren, berwarna merah padam. Dia masih berdiri sambil menunduk, kedua tangannya berada di dekat dadanya, tangan kirinya meremas tangan kanannya.
"Ren? Sakit?"
"... Ng-nggak..."
"Kok nggak masuk?"
"A-aku... Aku... Mau cari minuman dulu!"
"Kok nggak dari tadi? Kan kita ngelewatin banyak penjual minuman tadi?"
"Aku pergi!" Ren langsung berbalik badan dan lari keluar penginapan
Aku tahu, dia pasti malu karena kugandeng tangannya sepanjang perjalanan pulang. Imutnyaaa Ren yang lagi malu hahaha... Itu aku anggap bayaran terhadap service yang diberikan Ren kepadaku sebelumnya.
Hari sudah senja ketika kami sampai di penginapan. Ren keluar dan masih belum kembali. Syla masih tidur nyenyak. Gila juga gadis ini, tidurnya lama sekali dan benar-benar nyenyak. Mungkin aku mandi dulu karena badanku terasa gerah.
Aku masuk ke kamar mandi, buka seluruh pakaianku, lalu menyiram tubuhku dengan air dari shower. Segarrr! Setelah membersihkan seluruh tubuhku, aku masuk ke dalam bath tub dan berendam sejenak.
"Arkaaaaa! Arkaaaaaaa!"
"Apaaa?!"
"Keluaaarrr cepaaaattt!"
Kudengar teriakan Syla memanggilku dari dalam kamar, aku kaget dan langsung keluar dari bath tub dan membuka pintunya.
"Ada apa Syl !?"
"Kyaaaaaaa!!! Arka kecil keliatan!!!"
Arka kecil? Maksudnya Arka kecil bagaimana? Memang tubuhku kecil untuk ukuran pria. Tapi kayaknya Syla tidak akan menghinaku seperti itu. Eh? Arka kecil? Hercules Junior??? Aku langsung melihat kebawah...
"AAAAARRRRRGGGGHHHH!!!"
*Brakk*
Aku masuk ke kamar mandi dan kututup pintu dengan cepat. Sial. Kenapa aku begitu bodoh. Ah tak masalah. Anggap saja kita impas. Aku buru-buru memakai baju dan keluar dari kamar mandi.
"Apa sih Syl??"
"Itu itu itu ada yang gerak-gerak di dalam lemarimu!"
"Wah!!!" Aku terkejut bercampur bahagia.
Pasti. Pasti telur naga yang kusimpan di lemari sudah mulai menetas! Woohoooo!
"Sylaria Wyndia Acresta."
"Iya!"
"Selamat, kamu, kita, punya anggota party baru." Kataku sambil tersenyum lebar."
"Naganya netas?"
Aku tak menjawab pertanyaan Syla. Aku langsung menuju lemariku dan membukanya. Yeah! Telur naga yang kusimpan tampak bergoyang-goyang sambil mengeluarkan suara *tek tek tek* terus-menerus. Kuambil telur merah itu dan kuletakkan di atas kasur.
"Cimot."
"Cimot?"
Syla tampak bingung ketika aku menyebutkan nama Cimot.
"Itu namanya! Hehehee..."
"Iiiiih aku aja yang ngasih namaaa!"
"Nggak. Namanya, Cimot!"
Cimot adalah nama hamster peliharaanku dulu. Hewan peliharaan kesayanganku. Dia meninggal tepat di hari sebelum aku memulai masa Koas, sepertinya karena faktor usia. Karena aku sudah memeliharanya selama sekitar tiga tahun, penuh dengan suka duka, dan dia selalu menjadi teman curhatku. Itulah penyebab keterlambatanku di hari pertama Koas, karena aku menangis semalaman meratapi kematian Cimot lalu bangun kesiangan.
*Krekkk*
"..."
"..."
*Krekk... Krekkk... Kreekkk*
"Waaaaa....."
"Syla-...."
Aku tegang, kugenggam tangan Syla sambil fokus melihat telur naga yang sedang menetas itu. Telurnya berukuran kira-kira sebesar helm full-face, hanya saja lebih lonjong lagi.
*Krekk* *plok*
Sebuah serpihan cangkang telur terlepas dan jatuh ke kasur. Mulut kecil kadal berwarna merah mengintip dari lubang itu.
"Waaaaa... Ar, netas, Ar!"
"Ugghh geregetaaannn! Sini kubantuin, Cimot!"
Aku langsung membantu memecahkan cangkang telur itu perlahan-lahan, sambil si bayi naga juga berusaha memecahkannya dari dalam. Beberapa menit kemudian... *Pluk* kepala naga itu keluar dari lubang di cangkang telurnya, yang berukuran sedikit lebih besar dari kepalanya.
"Waaaakkk!"
"Kyaaaaa! Lucunyaaa!"
"Welcome to the world, Cimot!" Ucapku seperti di postingan-postingan social media teman-temanku ketika anaknya baru lahir.
Kubantu memecahkan sisa cangkang telurnya agar Cimot lebih cepat keluar. Hampir setengah jam waktu yang kubutuhkan untuk mengeluarkan Cimot dari dalam telurnya, karena ada bagian-bagian yang masih agak lengket jadi aku harus melakukannya dengan perlahan dan sangat berhati-hati.
Akhirnya, Cimot benar-benar sudah keluar dari cangkang telurnya. Dia terlihat sangat lemah dan rapuh. Sepertinya dia kelelahan sudah berusaha sekuat tenaga untuk keluar dari telurnya. Seekor bayi naga api, sebagian besar badannya berwarna merah darah dengan siluet merah marun di sudut-sudut lipatan kulitnya, dan coklat muda di bagian ventral. Belum ada duri, tulang, gigi, ataupun tanduk yang keluar dari tubuhnya.
Aku bergegas mengeluarkan salah satu kain tenunan yang kubeli tadi. Lalu kubalutkan ke tubuh Cimot. Perlahan, matanya menutup, dan sepertinya dia tertidur. Yaaaay! Pet pertamaku!
Kami berdua duduk saling bersandar sambil melihat naga mungil yang sedang tertidur di kasur. Seperti sepasang orangtua yang baru saja dikaruniai anak. Aku merasa sangat lega. Sudah 33 hari kutunggu momen ini. Setiap hari, setiap malam, aku selalu menantikan ini.
Ngomong-ngomong soal 'bayi' naga, dia makan apa ya? Susu? Tapi Syla dan Ren belum bisa laktasi. Beli susu sapi? Eh, apa naga minum susu? Jangan-jangan makan daging? Aduh... Andai saja ada smartphone dan bisa googling...
*Jegrek...*
"Ah! Ren! Sini sini cepet!"
"Ha? Ada apa Syl?"
"Udah sini duluuu!"
"Eh!? Apa itu???"
"Kenaliiin! Ini anggota baru party kita! Arka ngasih nama Cimot buat bayi naga ini. Padahal aku pengen nama yang keren, huhuu..."
"CIMOT ITU KEREEENNN !!!"
Untuk yang satu ini, tidak ada kompromi. Huh!
"Iya... Iyaaa...."
"Waaa lucunyaaa!"
"Kroweeek..."
"Dia bangun, Ar!"
"Eh iya dia mangap-mangap tuh!"
"Arka, coba kasih dia sepotong daging yang kamu beli tadi."
"Ah! Bener juga!"
"Arka beli daging?"
Aku abaikan pertanyaan Syla. Karena kalau kujawab, bisa beranak banyak itu pertanyaannya. Aku langsung mengambil daging yang kubeli, cuil sedikit, suapkan ke Cimot.
"Klepp! Werrk werrk... Roaaak..."
Dilahap oleh Cimot. Ditelannya, lalu membuka mulutnya lagi. Sepertinya dia kelaparan. Kali ini kucoba dengan potongan yang lebih besar. Dilahap juga! Langsung telan! Cimot kelaparan sepertinya.
"Syl, suapin dulu Cimot. Ren, tolong beliin daging bakar lagi, empat porsi, buat kita berempat."
"Siap, bos!"
"Iya, Arka..."
"Aku mau buatin tempat tidur khusus Cimot."
Ya, cimot harus kubuatkan tempat tidur khusus, dengan menggunakan Darkness Creation. Kubuatkan keranjang dengan diameter 70 centimeter, tinggi 10 centimeter. Ok, selesai. Berikutnya kubuatkan bantalan dari bahan yang lembut, menyerupai memory foam, lalu kuletakkan di atas keranjang tadi. Yak, selesai.
Hmm... Kurasa sementara ini udah cukup. Kulihat Syla sedang mengelus-elus kepala Cimot, dan sepertinya Cimot menyukainya. Daging yang kubeli sudah habis, tapi tampaknya Cimot masih belum kenyang. Tak apalah, sebentar lagi Ren akan kembali membawa tambahan daging bakar.
"Cimot tidurnya di sini aja..."
Kuangkat Cimot perlahan, lalu kuletakkan dia di atas tempat tidur barunya yang terbuat dari dark magic. Tubuhnya masih sangat lemah. Saat ini dia hanya mampu mengangkat kepalanya dan menggeser-geser dua pasang kaki mungilnya. Sayapnya masih sangat kecil untuk ukuran tubuhnya dan hanya bisa bergerak sedikit-sedikit.
Matanya memiliki iris berwarna kuning kecoklatan, sangat aktif melirik kesana kemari. Tapi ketika aku di depannya, matanya terkunci ke arahku, seperti memiliki ikatan batin, seperti seorang anak yang sedang memperhatikan ayahnya. Hatiku meleleh melihat tatapan matanya ke arahku.
Tak berapa lama, Ren kembali dan membawakan empat porsi daging bakar. Cimot menghabiskan satu porsi lagi setelah sebelumnya sudah menghabiskan dua porsi.
***
Besok pagi, aku terbangun lebih cepat dari biasanya. Bahkan mataharipun belum terbit seluruhnya. Dan yang pertama kulakukan, tentu saja melihat bayi nagaku di tempat tidurnya. Dia sudah bangun, dan sedang bermain dengan kain tenunan yang kuberikan kepadanya. Ketika aku mendekatinya, dia berhenti bermain dan menatap mataku, matanya bergerak mengikuti pergerakanku.
"Aaa lucunyaaa..."
Kujulurkan jari telunjukku untuk mengelus pipinya, dan ekspresi Cimot seakan-akan menikmati elusanku sambil matanya tertutup dan terbuka.
Tak terasa, keasyikan bermain dengan Cimot, kedua mentari semakin tinggi dan hari semakin terang. Kedua gadis yang tidur di kasurku sudah bangun dan ikut bermain dengan Cimot. Hari ini, aku putuskan untuk libur lagi.
Aku minta tolong Syla untuk membeli makanan, lalu Ren mengajak Cimot bermain, sedangkan aku akan membuatkan baju hangat untuk Cimot menggunakan Darkness Creation. Setelah selesai, kupakaikan ke Cimot.
Hari ini berlalu dengan sangat cepat. Kami bermain dengan cimot secara bergantian. Tapi besok, kami sudah harus bekerja demi mengumpulkan uang untuk kebutuhan hidup kami berempat. Kami menyusun jadwal dinas, sehingga setiap harinya ada dua orang yang menyelesaikan misi perbaikan kota, dan satu orang bertugas merawat Cimot yang masih belum bisa berjalan.
Selain makan daging, ternyata Cimot juga butuh minum. Dia mau minum air putih, tapi ketika kami coba memberikan susu kepadanya, dia minum dengan cepat dan lahap.
***
"Syl, coba kasih Cimot nenenmu."
Tiba-tiba ide goblok itu keluar dari mulutku.
"Ya nggak bisa keluar ASI-nya dong, Arka... Kalo mau, nikahin aku, terus hamilin aku, nanti aku bisa ngeluarin ASI deh..."
"Cimooot! Ayo coba latihan duduk dulu sini dipeganginnn..."
"Iiiih aku ngomong dicuekin."
"Ayooo pegang sini, yuk latihan duduk..."
"Arka jeleeek!"
"Pinterrr... Ayo tahan agak lama duduknya..."
"Au ah."
***
Setelah seminggu berjalan, Cimot sudah bisa duduk sendiri! tubuhnya juga sedikit bertambah besar, bobot awalnya sekitar 3 kilogram sekarang sudah jadi sekitar 4 kilogram.. Tidak heran, pertumbuhan dan perkembangan seekor naga memang lumayan cepat.
"Ren, tolong jagain Cimot ya... Aku sama Syla mau berangkat dulu ngerjain misi."
"Iya, Arka. Aku pasti jagain dia."
"Ren jangan telat sarapan ya."
"U-um."
Hari-hari berlalu begitu cepat. Minggu kedua, Cimot sudah bisa berdiri dan sedang berlatih berjalan. Koordinasi keempat kakinya masih belum baik, dia masih sering tersandung kakinya sendiri lalu terjatuh. Melihatnya, serasa aku tak ingin berangkat menyelesaikan misi...
Minggu ketiga, Cimot sudah bisa melangkah dengan cepat. Sekarang malah pertumbuhan sayapnya semakin cepat. Sayap yang sebelumnya memiliki ukuran yang terlalu kecil untuk ukuran badannya, saat ini sudah mulai terlihat proporsional. Cimot berlari-lari keliling kamar penginapan sambil mengepak-ngepakkan sayapnya, walaupun belum bisa mengangkat tubuhnya.
Dan akhirnya, pada minggu keempat setelah Cimot menetas dari telurnya, kami sudah tidak bisa menahannya supaya diam di kamar lagi. Larinya sudah semakin lincah. Cimot sudah bisa melompat cukup tinggi dengan bantuan kepakan sayapnya.
Dia bisa melompat ke punggungku lalu dipanjatnya tubuhku dan meletakkan perut dan dadanya di kepalaku, dengan kaki depan melingkari kepalaku, dan kaki belakang menginjak kedua bahuku. Tapi kalau untuk terbang memang masih belum bisa. Mungkin itu tak lama lagi...
Semakin kesini, dia semakin memaksa untuk diajak keluar kamar. Mungkin dia sudah bosan di kamar ini. Walaupun selalu ada yang menemaninya dan dia juga sudah sangat akrab dengan kami bertiga, tetap saja akan muncul perasaan bosan. Aku tidak heran. Mungkin, memang sudah saatnya kuajak Cimot jalan-jalan. Tapi, ada sesuatu yang mengganjal di pikiranku.
Semakin Cimot tumbuh dan berkembang, tubuhnya semakin terlihat keren dan gagah. Bukankah nama 'Cimot' itu terlalu jelek untuk makhluk semegah ini? Aku jadi meragukan pilihanku. Tak sadar, aku melamun panjang sambil menatap wajah Cimot. Ketika tiba-tiba kudengar suara seperti suara milik seorang gadis kecil...
'Arka, kenapa melamun?'
Kulihat sekitarku. Syla dan Ren sudah pergi dari tadi meninggalkan penginapan. Dan suara itu bukan suara salah satu dari mereka. Kulihat Cimot...
'Kenapa?'
Suara itu muncul lagi, tapi kali ini suara itu muncul serentak dengan Cimot memiringkan kepalanya sambil menatapku. Aku ragu, apa jangan-jangan Cimot yang berbicara barusan?
'Iya, ini Cimot yang ngomong'
'Loh, Cimot bisa baca pikiranku? Beneran Cimot kan ini?'
'Iyaaa Arkaaa...'
"Wa!" Suara teriak singkat, terlepas dari pita suaraku.
'Sejak kapan Cimot bisa ngomong kayak gini?'
'Sebenernya dari dulu, cuman Cimot baru ngerti bahasa kalian setelah mendengarkan dan memperhatikan kalian ngobrol, selama sebulan ini.'
'Syla dan Ren, mereka juga bisa denger kamu?
'Cimot belum pernah ngomong sama mereka. Tapi kalo Cimot mau, bisa kok!'
Berarti memang benar bahwa ras naga memiliki intelligence yang sangat tinggi, dia bisa secepat itu memahami bahasa. Bayi manusia saja butuh satu hingga dua tahun untuk bisa mengucapkan sepatah dua patah kata, itupun belum jelas artikulasinya. Ini, Cimot hanya butuh waktu sebulan untuk bisa berbicara selancar ini denganku.
'Ok, Cimot bikin aja supaya Ren dan Syla bisa denger suara Cimot kalo mereka lagi di sekitarmu ya...'
'Oke! Tapi jawab dulu, tadi kenapa Arka melamun?'
'Aku mau ganti namamu, karena Cimot nggak kedengeran keren kalo diucapin.'
'Tapi Cimot sukaaa!'
'Iya, aku juga suka. Tapi di telinga orang lain pasti kedengeran konyol.'
'Enggak koook! Cimot sukaaa!'
'Gini aja, aku ada ide. Jadi, nanti aku bakal minta Syla dan Ren buat mikirin nama lain untuk kamu, anggap aja nama palsu. Nama aslimu, tetep Cimot di dalam hatiku. Hehe...'
'Ok, tapi namaku tetep Cimot yaa...'
'Iyaaa... Nah, tapi nanti kalo aku manggil kamu dengan 'Cimot', berarti frekuensi suara obrolan cuman antara kita berdua aja ya. Syla dan Ren nggak boleh denger suaramu. Tapi kalo aku manggil kamu dengan nama yang dikasih sama Syla dan Ren nanti, biarkan mereka berdua mendengar suaramu. Gimana, Cimot ngerti?'
'Uhm... Berarti setiap dipanggil 'Cimot', Cimot cuman bicara berdua sama Arka aja ya?'
'Pinterrr!'
Pet pertamaku di dunia ini, memang luar biasa!
'Oh, ya. Perkenalkan, nama lengkapku Arkanava Kardia. Tapi aku biasa dipanggil Arka.'
'Waaah... Aku baru tau kalo nama asli Arka itu Arkanava Kardia.'
'Tapi cimot cukup manggil Arka aja ya...'
'Iyaa...'
Kami melanjutkan obrolan sampai siang. Aku mengajarkan Cimot tentang tata krama dasar di dalam kehidupan manusia, dan sepertinya Cimot dapat menangkap semuanya dengan sangat cepat. Dari semua hal yang kuajarkan kepadanya, yang paling kutekankan adalah, Cimot tidak boleh menyerang siapapun, tidak boleh melukai siapapun, kecuali mereka yang menyerang kita duluan dan kita tidak ada pilihan lain selain untuk membela diri.
Selain itu, aku juga mengatakan pada Cimot, jika dia menginginkan sesuatu, dia harus meminta izin kepadaku. Dia tidak boleh melakukan apapun semaunya sendiri. Dan jika aku melarang sesuatu, dia harus menahan dirinya dan mematuhi kata-kataku. Sementara ini, dia terlihat sudah memahami semua itu.
Jadwal hari ini adalah Syla dan Ren yang menyelesaikan misi, sedangkan aku bertugas menjaga dan merawat Cimot. Jadi, kemungkinan Syla dan Ren baru akan pulang sore ini, atau siang paling cepat. Nama 'panggung' untuk Cimot masih harus menunggu.
Tak terasa, waktu makan siang telah tiba, perutku juga mulai terasa lapar.
"Cimot, tunggu bentar ya kubeliin makan."
'Ikuttt... Pliiiissss... Cimot bosen di kamar iniii...'
Hmm... Aku ingin menolaknya, tapi aku tidak tega. Aku paham kenapa dia begitu ingin ikut.
"Hmmm... Ok, tap-"
'YEEEEEEEEY !!!'
"Krooaaarrr"
Heee... Ternyata suara asli Cimot bisa keluar berbarengan dengan telepatinya...
"TAPI..."
'Iya! Cimot nggak akan macem-macem tanpa izin Arka!'
"Satu lagi..."
'Apapun itu, Cimot setuju!'
Baiklah. Siang ini aku akan mengajak Cimot jalan-jalan keluar. Tapi, untuk berjaga-jaga jika sewaktu-waktu cimot lepas kontrol, aku sebaiknya membuatkan dia rantai dari Darkness Creation.
Setelah kuhabiskan waktu sekitar lima menit, jadilah sebuah rantai simple yang tidak akan putus, dan sangat lembut di bagian ban lehernya. Kemudian ini kupasangkan di leher Cimot.
"Cimot pake ini ya... Biar kita nggak terpisah, nanti hilang."
'Okay!'
Cimot lumayan sering mengatakan 'okay', mungkin dia meniru gaya bicara kami. Tapi itu hanya menambah level keimutannya, jadi aku biarkan saja.
"Oh iya, pake kaosmu juga. Bisa pake sendiri nggak?"
'Bisaaaa!' kata Cimot dengan sangat bersemangat.
Aku hanya tersenyum mendengar jawabannya. Senyumanku berlanjut ketika melihat dia bergulat dengan kaos yang kusiapkan untuknya, berusaha keras memakainya. Berguling-guling, lompat-lompat, kesusahan memakai kaosnya. Imutnyaaa! Sebenarnya walaupun kusebut kaos, bentuk pakaiannya lebih menyerupai rompi saja. Ah, tak usah dipermasalahkan.
Mungkin aku harus membuatkannya kaos baru dengan bahan menyerupai spandex longgar. Supaya Cimot bisa memakainya dengan mudah. Kasian juga dia... Tapi lucuuu!
Setelah sekitar sepuluh menit bergulat berguling-guling berusaha memakai kaosnya, akhirnya dia berhasil. Sengaja aku biarkan, supaya dia belajar untuk mandiri. Naluriku sebagai orangtua mulai timbul, hahaha...
'Udaaah!'
"Pake syal dulu biar kita sama."
Aku memakaikan syal yang sama dengan yang kupakai, melilitkannya di pangkal leher Cimot.
"Yuk, jalan!"
'Asyiiiiikkk!'
"Cimot, mungkin nanti akan banyak orang yang ngeliatin kamu dengan tatapan aneh, tapi cuekin aja ya."
'Okay, Arka!'
Aku dan Cimot keluar dari kamar. Seperti anjing piaraan dengan pemiliknya yang ingin berjalan-jalan di taman kota. Ukuran cimot saat ini terlihat sudah sebesar kambing dewasa. Hanya saja sayapnya yang lebar membuat dia terlihat lebih besar. Cimot kusuruh melipat sayapnya jika sedang berada di tempat ramai atau di tempat yang sempit.
Saat ini, Cimot terlihat sangat keren di mataku. Aku ingin menyebutnya gagah, ganteng, tapi tidak mungkin, karena dari suaranya, dia adalah naga betina. Jadi kusebut saja keren, karena keren lebih bersifat unisex, menurutku. Kulitnya yang berwarna merah darah dan sangat bersih, dengan siluet merah marun di sudut-sudut lipatan kulitnya, dada dan perut berwarna coklat muda, mengenakan rompi hitam dengan aksesoris syal berwarna ungu oranye pada pangkal lehernya.
Seperti dugaanku, semua orang menatap Cimot dengan ekspresi yang beragam. Ada yang ketakutan, ada yang melongo, ada yang sangat tertarik, ada yang ingin memegangnya, bahkan ada bocah yang langsung menangis menjerit. Beberapa ada yang menatap dengan tatapan penuh dendam.
Tapi aku tidak pedulikan semua tatapan negatif itu. Dan sepertinya Cimot juga hanya disibukkan oleh rasa penasarannya dengan dunia di luar kamar penginapan. Cimot juga berinteraksi dengan orang-orang yang bersikap positif terhadapnya. Dia menikmati elusan orang-orang yang ingin mengelusnya.
Di luar ekspektasiku, Cimot sangat patuh terhadap semua perintahku. Padahal ekspektasiku ya yang namanya bayi dan anak-anak, pasti akan lari kesana kemari dan sulit diatur. Cimot tidak. Dia hanya berjalan dengan tenang, dan selalu berada di dekatku. Paling hanya menoleh ke kanan dan kek kiri melihat sekitarnya.
"Waaah! Ada bayi naga!"
"Lucunyaaa!"
"Tuan dapat dari mana?"
"Naganya jinak yaa..."
"Bagaimana cara melatihnya supaya bisa jinak begini?"
"Tuan, siapa nama naga ini?"
"Tuan, aku suka nagamu! Bisakah kubeli? Berapapun harganya aku sanggup bayar!"
Kira-kira begitu komentar positif netizen, eh, citizen. Sementara komentar negatif tidak kuhiraukan. Dari semua komentar itu, aku hanya membalasnya dengan senyuman. Sesekali saja kujawab jika menjawabnya hanya butuh satu atau dua kata.
'Arka, kenapa sih banyak yang ngerumunin aku?'
'Karena Cimot itu lucu dan keren!'
'Hmmm... Cimot nggak ngerti.'
'Hahaha... Ya udah nggak usah dipikirin...'
Kami hanya berbicara via telepati. Aku tak ingin membuat orang-orang bingung dan malah memancing mereka untuk bertanya padaku. Aku malas menjawab pertanyaan formalitas semua orang..
Kami berjalan ke arah tempat penjual daging bakar yang pertama kali kusuapkan untuk Cimot saat baru menetas dulu. Penjualnya tampak sedikit kaget dan canggung melihatku membawa pet naga merah.
"Pak, beli daging bakar 3 porsi."
"Ba-baik Tuan. Tunggu sebentar."
Penjual daging bakar itu langsung membuatkan daging bakar pesanan kami kami. Sambil berkali-kali dia melirik ke arah Cimot. Dan kupergoki.
"Kenapa, Pak?"
"E-eh, hehe... Tidak Tuan... Itu... Tuan sejak kapan pelihara bayi naga?
"Sudah sebulan ini... Oh, iya! Naga ini penggemar daging bakar yang bapak jual, loh!"
"A-ahaha... Terimakasih, Tuan..."
Dia masih canggung karena ada naga di sampingku. Setelah beberapa menit, akhirnya pesanan kami selesai dibuat. Kuambil bungkusan berisi daging bakar, kubayar, dan kami bergegas kembali ke penginapan lagi.
Baru beberapa langkah menjauhi lapak penjual daging bakar...
"NAGAAA!!! BIAR KUBUNUH NAGA ITU!!! PARA NAGA ITU SUDAH MEMBUNUH SELURUH KELUARGAKU!!!"
***BERSAMBUNG...***
_______________________________________
Halo! Terimakasih sudah membaca! Chapter berikutnya kita naikkan lagi temperaturnya ya...
Nama penting di chapter ini:
-Syal Sunset Aura, pohon Myriad Illusion.
-Dungeon Eternal Glacier