Chereads / Isekai Medic and Magic / Chapter 18 - Chapter 15

Chapter 18 - Chapter 15

"Arka... Umm... Anu..."

"Napa, Ren?"

"Bo-..."

"Bo?"

"Bo-bokongku sakit..." Kata Ren dengan suara kecil dan pipi memerah."

"Bokongmu sakit?? Karena kejadian malam itu ya?? Itu salahku ya?? Aduh maafin aku, Ren!" Aku langsung panik, takut kalau-kalau aku sudah menyakiti bokong Ren akibat birahiku yang lepas kontrol waktu itu.

"Eh? Bukaaan! Uuu Arka... Sebenernya udah terasa sejak tujuh hari yang lalu, awalnya gatel aja terus aku garuk-garuk, eh lama-lama jadi sakit. Tadinya aku pikir akan sembuh sendiri... Tapi rupanya makin sakit, dan sekarang jadi bengkak..."

***

Setelah perang antara pasukan Dranz melawan tentara undead yang menyerang Kota Dranz tadi malam yang berlangsung sampai subuh, kami langsung cepat-cepat meninggalkan area pertempuran. Sebenarnya, subuh itu belum benar-benar bersih, tapi kami pulang mendahului karena situasinya sudah aman, menurutku.

Sisa-sisa tentara undead yang hanya barisan monster kelas rendah, dibasmi oleh seluruh pasukan Dranz dari baris depan. Pasukan lapis dua yang awalnya hanya menjaga perimeter pagar kota, pada akhirnya ikut membantu baris depan setelah kami membersihkan seluruh monster kelas D keatas.

Saat matahari terbit, kemenangan telak sudah menjadi milik pasukan Dranz. Alex yang sudah pulih setelah mendapatkan penanganan dari beberapa Priest yang standby di baris belakang, kembali ke medan perang dan memastikan kemenangan.

Dan di saat itu, kami sudah tertidur pulas di salah satu love hotel, tempat kami selalu menginap setiap malam selama menjadi petualang di Kota Dranz. Kami baru terbangun di sore hari menjelang senja, itupun karena kelaparan.

Setelah makan di luar, kami berempat kembali ke penginapan untuk melanjutkan istirahat yang terpotong tadi. Ketika itulah peristiwa ini dimulai.

Tragedi bokong Ren.

"Ren, ayo kita ke kamar mandi, biar aku periksa dulu."

"Uhm." Kata Ren sambil mengangguk pelan dan mengikutiku masuk ke kamar mandi.

"Hei kalian berdua ngapain masuk ke kamar mandi barengan gitu!?"

Dan... Ya. Syla protes.

"Ada deeeh... Mau tau aja kamu dasar lobang knalpot."

"Ha? Knalpot itu apa?"

"Udah ah nggak usah kepo!"

"Iiih, Arka! Kepo itu apa??"

Aku acuhkan Syla dan kututup pintu kamar mandi setelah Ren masuk.

"Ren..."

"A-Arka..." Ren melihat ke bawah dan terlihat malu.

"Buka... Ren."

"Ta-tapi, Arka..."

"Tenang aja, aku pelan-pelan kok..."

"Aku tau... Ta-tapi... Tetap saja!"

"Ren... Mau kubantu bukain?"

"A-aku malu... Ada Syla dan Ruby di kamar... Nanti... Nanti mereka dengar!"

"Nggak masalah walaupun mereka tau, Ren. Kita semua udah kayak keluarga kok. Ayo, sini aku bantu buka celanamu..."

"Ka-kalau itu yang Arka mau... Baiklah..."

"Ren gadis yang pinter... Buka yuk... Pelan-pelan aja..."

"U-uuh... Aku malu, Arka!"

"Tenang aja, aku udah biasa sama yang kayak gini..."

"Ta-tapi aku belum pernah gini sebelumnya... Uuu..."

"Relax aja. Ren santai aja, pasrahkan semuanya sama aku..."

"Fuuu~ haahh~ baiklah, Arka. Seluruh tubuhku, kuserahkan kepada Arka. Termasuk bokongku."

"Gadis baik... Aku mulai ya..."

"Pelan pelan!"

"Ok... Tenang aja, relax... Kalo kamu tegang jadi tambah sakit..."

"Aw... Aw! Aduh! Sakiiit, Arka!"

"Maaf, aku basahin dikit biar lebih gampang ya..."

"Uhm..." Ren mengangguk perlahan.

"Yak... Ok..... Yes!"

"Aw....."

Aku berhasil membuka celana dalam Ren yang menutupi benjolan nyeri di bokongnya.

Ada inflamasi pada regio gluteus sinistra sekitar diameter 4 cm. Terdapat pus di dalamnya yang sedikit mengalir keluar melalui bagian tengahnya. Abscess.

Abscess seperti ini bisa terjadi dengan mudah. Biasanya sering diawali dengan hal yang sepele, seperti gigitan serangga atau reaksi alergi kecil yang digaruk hingga lecet. Luka kecil akibat garukan itu, menjadi pintu masuk bagi bakteri yang ada pada permukaan kulit.

Lama kelamaan, bakteri yang masuk tadi akan berkembang biak dan menginfeksi bagian bawah kulit, dan singkat cerita, akan menghasilkan pus yang terperangkap di dalam kulit.

Sebenarnya, untuk menghindari kejadian seperti ini, cukup dengan menjaga kebersihan seluruh tubuh, mandi teratur minimal 2x sehari, dan jangan biasakan menggaruk bagian tubuh yang gatal apalagi sampai lecet. Daripada digaruk, lebih baik segera dicuci bersih, kemudian dikeringkan, lalu diberi pelembab kulit atau minyak yang bersih (olive oil, kayuputih, dll.) untuk mengurangi rasa gatalnya.

Namun jika sudah terlanjur abscess, berarti harus dibersihkan dan dikeluarkan seluruh pus yang ada di dalamnya. Lalu minum obat antibiotik (sayang sekali di duniaku yang baru ini sangat sulit mencari obat yang seperti antibiotik).

"Ren, abscess di bokongmu, harus kubuka. Biar isinya bisa keluar semua, biar bisa cepet baikan."

"Sa-sakit nggak? Arka?" Ren bertanya dengan ekspresi hampir menangis.

"Karena nggak ada obat bius untuk ngilangin rasa nyerinya, ini bakal sakit banget. Tapi kamu harus tahan."

"....." Ren diam, tapi ekspresi Ren seperti sangat ketakutan.

"Ren, percaya sama aku."

"... Aku... Boleh aku minta satu ciuman sebelum kita mulai?"

"Silahkan, Ren."

Kuberikan bibirku ke hadapan Ren, lalu dia menciumku dengan sangat lembut. Ujung-ujung saraf pada bibirku seakan merasakan sengatan listrik kecil-kecil ketika bibir kami bersentuhan. Tak berapa lama, Ren melepaskan ciuman itu.

"Arka, ayo kita mulai."

"Ren, nanti aku sayat dikit, nggak begitu sakit. Tapi nanti bakal sakit banget pas aku keluarin seluruh pus di dalamnya. Mungkin ntar bakal aku bersihin dengan alkohol dikit, ini sakit juga. Terus kusiram dengan air bersih. Terakhir kubalut perban."

"... Iya, Arka."

Kusiapkan minor set yang sudah lama tak kupakai. Gorev, minuman beralkohol 70% kugunakan sebagai disinfektan untuk membersihkan peralatanku, dan membersihkan area sekitar lokasi abscess pada bokong Ren.

Ren kuposisikan berbaring telungkup di lantai kamar mandi yang sudah kubersihkan, kuberi alas kain, lalu langsung kubersihkan bokong kirinya dengan kassa yang sudah kucelupkan ke dalam Gorev. Dari tengah inflamasinya, menuju semakin ke pinggir.

"Uu..."

"Sakit ya?"

"Enggak, geli..."

"Ok aku sayat dikit ya."

Kusayatkan ujung bisturi ke bagian tengah abscess untuk membuka jalan supaya pus yang terperangkap di dalamnya bisa keluar dan cavitas-nya bisa dibersihkan.

"Uggghh..."

"Tahan ya, Ren. Yang berikutnya bakal sakit banget. Kamu boleh teriak, tapi jangan nendang aku."

"Aku coba tahan sekuat tenaga ya, Arka. Aku coba..."

"Aku hitung sampe tiga ya... Satu..."

"Aaaakkk!!! Katanya sampai tiga! Kok cuman satu-! Aaaaakkk!!!"

Kutekan di sekitar abscess itu sampai tidak ada lagi pus yang keluar, tapi hanya darah yang keluar. Lalu kubersihkan dalamnya dengan kassa yang dibasahi dengan Gorev sampai menurutku sudah cukup bersih, kemudian kusiram dengan air bersih di bagian dalam dan luarnya. Untuk saat ini, kumasukkan kassa drainase ke dalam lukanya. Dalam tiga hari akan kuganti kassa dan drainnya.

Selama proses drainase abses, Ren menjerit dan berteriak menahan sakitnya. Aku kasihan melihatnya. Tapi aku harus melakukannya demi kesembuhan Ren.

"Fyuuhhh... Udah Ren."

"Huu... Huuhuuuu... Hiks... Sakittt... Huhuu..."

Ren menangis. Aku jadi merasa berdosa. Tapi mau bagaimana, aku tidak tahu dimana harus mendapatkan obat anestesi lokal.

Setelah kukeluarkan pus di bokong Ren, akhirnya kubawa dia ke gedung religi pemuja Gaea, untuk bertemu priest dan meminta bantuan heal untuk mempercepat penyembuhan lukanya.

Aku mendapat pujian dari Priest disana karena sudah membersihkan pus di dalamnya sehingga proses penyembuhan dengan skill Heal menjadi lebih cepat. Bahkan, kembali dari sana, Ren sudah bisa beraktivitas lagi, karena lukanya hampir sembuh dan hanya menyisakan sedikit saja rasa tidak nyaman.

***

Di malam harinya, kami masih bersantai. Rencana kami, besok baru mulai menjalani misi baru. Dan akhirnya, aku mengangkat topik pembicaraan ini untuk didiskusikan antara aku, Syla, Ren, dan Ruby.

Topik yang harusnya dari awal sudah kami bahas, namun aku belum menemukan alasan untuk memulainya. Topik yang dimiliki oleh semua MC di setiap anime, manga, dan light novel.

Tujuan. Hal yang ingin kami dicapai. Apa hasil akhir yang kami inginkan dari membentuk sebuah party dan terus-menerus menyelesaikan misi?

Aku? Tidak ada.

Aku tidak punya tujuan yang mendorongku untuk terus melangkah.

Karena aku hanya ingin menolong orang dan menjadi bermanfaat bagi semua orang di sekitarku. Hanya sesepele itu.

Tapi...

Aku belum pernah mendengar tentang hal ini secara detail dari tiga orang gadis yang sekarang sedang bersamaku.

Mungkin mereka punya alasan yang kuat yang selama ini mendorong mereka untuk terus berpetualang dan membahayakan keselamatan mereka sendiri. Malam ini, sebelum kami melanjutkan petualangan kami, aku ingin mendengar semua isi hati dan pikiran mereka.

"Syl, Ren, Ruby, abis ini kita adain diskusi party kita yang pertama ya."

"Buat apa, Ar?"

"Mungkin Arka mau denger rencana party kita ke depannya mau gimana, Syl..."

"Hmm... Tumben banget Arka mau ngobrolin yang berat gini."

***

"Oh, selamat malam, Komandan Zerga. Bagaimana dengan persiapannya kemarin?"

"Bapak Walikota Ernefo, kami telah mengirim tim pengintai cepat untuk memeriksa perkiraan tempat asal dari para undead yang menyerang Dranz. Besok atau lusa kami berharap, minimal sudah didapatkan informasi awal terkait tragedi ini."

"Tolong, informasi tentang kondisi pemukiman di jalur yang dilalui para undead hingga sampai ke kota ini."

"Tentu saja, Bapak Walikota. Kami juga sudah mengirimkan sebagian Priest yang masing-masing dikawal oleh beberapa petualang untuk membantu penyembuhan korban luka di pemukiman yang terkena imbas."

"Baiklah, kerja bagus. Terimakasih atas loyalitasmu selama ini dalam melayani masyarakat di Kota Dranz dan area sekitarnya, Komandan Zerga."

"Terimakasih, Bapak Walikota. Dan sebenarnya, ada satu hal lagi yang ingin saya bicarakan dengan Bapak Walikota." Ucap Zerga dengan tatapan yang memancing rasa penasaran orang yang melihatnya.

"Hmm... Dari tatapan matamu, sepertinya ada hal menarik yang sebentar lagi akan kudengar..." Kata Walikota dengan sedikit tersenyum.

"Tentang yang terjadi di medan pertempuran kemarin..."

"... Lanjutkan."

"Sebenarnya, mungkin Bapak Walikota sudah mendengar desas-desus tentang adanya malaikat hitam kiriman Dewi Gaea yang turun membantu pasukan kita untuk memperoleh kemenangan telak walaupun jumlah kita sangat jauh lebih sedikit."

"Hahaha... Rupanya masalah itu. Ya... Ya... Aku sudah dengar. Tapi, itu tidak mungkin terjadi, bukan? Karena hanya Tuan Alex yang mempunyai kekuatan untuk membalik keadaan seperti itu kan? Hahaha..."

"..."

Zerga hanya diam menunduk, ekspresi wajahnya terlihat kaku. Walikota Ernefo tertawa sejenak, lalu setelah melihat ekspresi Zerga, dia berhenti tertawa.

"Komandan Zerga..."

"Bapak Walikota." Zerga merunduk sambil tangan kanannya memegang dada kirinya.

"Ceritakan semuanya padaku."

Zerga menceritakan tentang yang terjadi malam itu. Semua yang dilihatnya sendiri. Tentang Tuan Alex yang menggunakan hampir seluruh mana yang dimilikinya untuk membunuh sekitar 20% dari tentara undead.

Bagaimana datang sosok berpakaian serba hitam itu untuk menyelamatkan Alex, kemudian bersama Naga Api dan teman-temannya membunuh Vampire Lord dan menghabiskan sekitar 70% tentara undead. Kemudian mereka menghilang begitu saja, hingga Tuan Alex kembali ke medan pertempuran dan menghabisi sisa tentara undead yang ada.

***

Syla, Ren, Ruby, dan aku berkumpul di atas dua kasur yang didempetkan menjadi satu. Awalnya, rencananya kami duduk melingkar.

Tapi, sekarang malah jadi seperti ini. Aku duduk di kasur menyandar ke dinding. Ren bersandar di bahu kiriku. Syla tiduran di paha kananku. Ruby, duduk di pangkuanku.

"Kalian..."

"Ayo Arka, kita mulai diskusinya. Tapi gini aja ya, udah nyaman kayak gini." Ren tidak mau pindah dari sandarannya di bahuku.

"Emangnya Arka mau ngomong apa sih?" Syla sambil melukis khayalan dengan jari telunjuknya di pahaku.

"Sisirin rambut Ruby, Arka!" Naga kecil yang menggemaskan.

"Ok. Tolong jawab dengan serius. Apa sih tujuan kalian mau jadi petualang kayak gini?"

"Ruby dulu Ruby dulu!"

"Iyaa cantiiik, Ruby mau apa?"

"Ruby mau punya permen yang banyaaaak! Ruby mau punya daging bakar yang banyaaaak!"

"Iyaaa... Nanti kita beli yang banyak yaaa... Naga pinterrrr..." Aku merespon jawaban childish dari Ruby, si Naga Api yang sedang berwujud seperti gadis kecil cantik di pangkuanku ini.

"Syla gimana?"

"Aku sih cuman mau dampingin Arka kemanapun Arka pergi. Udah tugasnya istri kan." Kata Syla tersenyum sambil masih melukis gambar non-eksisten di pahaku.

"Loh, katanya dulu kamu kan karena mau jadi petualang terus lari dari rumah dan akhirnya hampir mati sama Helvaran?"

"Hehehee... Iyaa itu kan duluuu!"

"Ya, itu... Dulu apa alasanmu?"

"Aku pengen jadi wanita yang kuat dan mandiri dulu. Aku pengen berpetualang, menaklukkan dungeon, memberantas monster-monster jahat, melihat keindahan dunia luar, ketemu orang-orang baru, terus... Aku juga pernah ngeliat ada petualang cewek datang ke Kerajaan Acresta, keliatannya kereeeen banget! Jadinya ya aku pengen aja. Aku nggak mikir lagi abis itu mau ngapain. Eh, malah ketemu Arka... Hehehe..."

"Acresta... Eh, tunggu dulu Syl. Kalau nggak salah, nama keluargamu Acresta juga kan?"

"Iya, Ren. Emang kenapa?"

"Jangan-jangan... Kamu, keluarga kerajaan?"

"Serius, Ren?" Aku.

"Eh, Ren baru tau?" Syla.

Aku dan Syla baru ingat kalau selama ini Ren belum pernah kami beritahu tentang asal usul Syla, dan Ren juga tidak pernah bertanya.

"Aku nggak pernah dikasih tau..."

"Hahaha... Iya iya Ren... Syla ini putri tunggal dari Raja Kerajaan Acresta, milik bangsa Dark Elf."

"Iyaa gitu, Ren! Tapi tenang aja, aku sekarang cuman seorang petualang plat Copper biasa dan calon istrinya Arka. Jadi, walopun aku putri raja, di sini sekarang ya nggak ada bedanya dengan petualang biasa."

"Lagi... 'Calon istri Arka' mulu Syl."

"Aku jadi nggak enak selama ini memperlakukan Syla kayak orang biasa..."

"Eeehh nggak apa-apa, Ren! Justru aku seneng digituin! Jadi Ren jangan berubah ya sikapnya ke aku!"

"Ehh... Baiklah kalo gitu..."

"Ok kita balik ke topik yang tadi. Jadi, Syla cuman pengen mandiri dan keliatan keren aja ya?"

"Yaa gitu deh, dulu..."

"Kalo Ren, gimana?"

"Hmm... Kalo aku sih, dulu rencananya mau jadi petualang, terus nabung yang banyak, terus membuat sebuah tempat dimana nggak ada perbedaan antara orang miskin atau kaya, nggak ada diskriminasi antara ras satu dengan lainnya."

"Wah... Ren, itu cita-cita yang mulia banget."

"Karena aku tau, dan aku pernah mengalami sendiri, gimana rasanya jadi budak, gimana rasanya hidup jadi manusia rubah di tengah-tengah peradaban manusia biasa. Diskriminasi, pelecehan, hinaan, bahkan kekerasan fisik udah jadi makanan sehari-hari. Aku mau kehidupan dimana semua orang hidup berdampingan. Nggak peduli warna kulit, nggak peduli ras, nggak peduli berapa harta kekayaannya, hanya ada kebahagiaan dan canda tawa, bekerja bahu-membahu membangun kehidupan yang lebih baik."

"Ren! Aku nggak nyangka kalo Ren punya cita-cita sebesar itu!"

"Hehe... Maaf ya Arka, Syla, cita-citaku naif banget. Dulu aku berpikir, mungkin ini mustahil untukku. Mungkin seumur hidup aku ngumpulin uang, aku nggak akan bisa mewujudkan cita-citaku ini. Tapi setelah ketemu kalian berdua, ditambah Ruby, aku jadi merasa kalo masih ada setitik harapan buat aku mewujudkannya."

"Itu... Keinginan yang mulia banget, Ren. Aku terharu denger kamu ngomong. Ren, ayo kita sama-sama mewujudkan keinginanmu itu. Satu atau dua tahun mungkin belum terwujud. Tapi kita bisa mulai nabung. Semua perjalanan yang sangat jauh pun akan selalu dimulai dari langkah pertama yang dekat dulu. Syla juga, Ruby juga. Sambil kita berusaha mewujudkan mimpi Ren, kita juga bisa merealisasikan keinginan kalian berdua, kan?"

"Syla setuju! Kita bisa bantu Ren mewujudkan keinginannya! Asalkan ada Arka, aku pasti ikut!"

"Ruby mau bantuin Ren juga!"

"Ka-kalian... Hiks... Kalian nggak perlu melakukan itu semua... Hiks..."

Ren, menangis setelah mendengar perkataan kami. Mungkin dia terharu. Di balik pengalaman hidupnya yang telah membuatnya menjadi pribadi yang tegar, ternyata masih ada sedikit kerapuhan seorang wanita biasa di dalamnya. Aku langsung merangkul bahu Ren yang sedikit lebih dingin dari tanganku.

"Arka sendiri gimana?" Tanya Syla sambil menoleh ke wajahku, masih tiduran di pahaku.

"Aku sih nggak ada keinginan khusus. Aku cuman pengen membantu semua orang di sekitarku. Dulu, aku dikasih kesempatan untuk hidup kedua di dunia ini oleh Dewi Nyx karena Dia ngabulin doaku agar aku bisa bermanfaat buat semua orang di sekitarku."

"He? Hiks... Arka?" Ren sambil sesenggukan dengan ekspresinya yang kaget.

"Aku memang baru cerita ke Syla tentang ini, kalau aku sebenarnya udah mati di duniaku sebelumnya. Terus dihidupin lagi sama Dewi Nyx ke dunia ini dan dikasih kekuatan seperti sekarang ini."

"Wa-waaahhh hiks, aku baru hiks, tau ini! Hiks." Ren terkejut sambil sesenggukan.

"Aku mutusin buat nggak cerita karena aku yakin kalian nggak bakal percaya. Bahkan Syla aja yang ngaku-ngaku calon istriku, sampe sekarang masih nggak percaya."

"Eh! Aku percaya kooook! ... Dikit."

"Tuh kan. Ah serah deh."

"Yuhuuu Arka ngambek lagiii hihihi..."

"Bodo amat."

"Kalian semua... Terimakasih..."

"Ruby ngantuk!"

"Hahaha Ruby ngantuk yaaa... Yuuuk kita tidur dulu... Biar besok semangat lagi, ngerjain misi lagi..."

"Haaahhhhmm... Syla juga ngantuk..."

"Yee yee Ruby mau tidur sama Arkaa!"

Malam ini, setelah menetapkan tujuan kami bersama, kami tidur bersama. Seperti biasa, dengan kasur yang sudah ada plotnya masing-masing, Syla di kanan, Ren di kiri, Ruby di dadaku. Sekarang, aku sudah mulai bisa tidur nyenyak dengan posisi seperti ini karena sudah mulai terbiasa.

***

*Tok tok tok*

"Hooaaaahhhh... Iya... Tunggu sebentar..."

Mendengar suara ketukan pintu, aku terbangun dan menjawabnya sambil mengusap-usap wajahku. Setelah kubukakan pintu, ternyata sang pemilik penginapan yang mengetuk pintu.

"Tuan Arkanava, ini ada surat dari Bapak Walikota, tadi diantarkan oleh seorang tentara." Katanya sambil memberikan sepucuk surat dengan 'seal' Walikota Dranz.

"Oh, terimakasih Nyonya Lucia." Sambil kuambil surat dari tangannya.

Aku kembali ke kasur, ingin mencoba tidur kembali. Tapi setelah kulihat kasurnya, sudah tidak ada tempat lagi buatku. Karena setelah aku turun dari kasur, tiga orang gadis itu berpindah posisi sehingga mereka mengisi semua spot kosong di kasur.

"Hoahhhh... Ya udahlah aku di kursi aja."

Aku duduk di kursi dan mulai membuka surat itu.

"Hmmmmmm... Mmm..... Oh."

Isi suratnya hanyalah undangan makan malam bagi seluruh anggota Dark Edge, di Gedung Walikota Dranz. Kenapa ya? Apa karena tindakanku saat perang kemarin berlebihan? Ah, rasanya masih batas wajar. Jangan bilang mereka mau mengusirku karena mereka berpikir bahwa kekuatanku ini membahayakan semua orang di Kota Dranz?

Apa mereka benar-benar sudah tahu bahwa yang ada di balik Lucifer Mode adalah aku? Padahal harusnya tidak ada yang tahu karena aku mengaktivasi Lucifer Mode ketika terbang tinggi, di atas punggung Ruby versi naga besar. Aku juga tidak pernah membuka topeng Lucifer Mode di depan orang lain. Walikota punya sangat banyak mata-mata sepertinya.

"Arka... Udah bangun?"

"Udah, Ren. Kayaknya kita nggak jadi ngambil misi hari ini. Soalnya ada undangan makan malam dari Walikota Dranz."

"Oh ya? Mana liat! ... Hooo..."

"Ren tadi malem nangis ya pas kami udah tidur?"

"E-eh... Kok Arka tau... Arka denger aku nangis ya?"

"Nggak sih. Cuman itu matamu sembab."

"Eh aduh gimana ini nanti ketemu Walikota mataku sembab gini..."

"Hahaha nggak masalah kok itu Ren, paling nanti siang udah baikan."

"Haahhhhmm... Kalian berdua ngobrolin apa?" Syla bangun dan ikut masuk ke obrolan.

"Nanti malam kita diundang makan di Gedung Walikota, Syl!" Ren menjawab dengan semangat.

"Iya, Syl. Kayaknya hari ini kita belum bisa ngambil misi baru karena itu."

"Mmmm... Aku pake baju apa yaa... Oh, aku pake dress khas Dark Elf aja deh."

"Ren pakai coat yang dibikinin Arka aja."

Berbicara tentang pakaian, aku baru ingat kalau pakaian Ruby hampir robek dan sangat ketat ketika ia berubah menjadi naga besar. Berarti aku harus membuatkan pakaian yang bisa melar 20x supaya tidak robek walaupun Ruby berubah bentuk menjadi naga yang sedikit lebih besar daripada yang kemarin.

"Kalian berdua, yuk kita belanja pakaian. Beli yang bagus buat dipake di acara-acara kayak nanti. Aku juga nggak punya pakaian formal. Bantuin pilih ya..."

Syla dan Ren saling melirik satu sama lain. Setelah beberapa saat, mereka berdua melihat ke arahku dengan senyuman yang sedikit menyiratkan adanya sebuah rencana busuk di antara mereka berdua.

""Okeee!"" Syla dan Ren menjawab serentak.

***

Setelah sarapan di dekat penginapan, kami berempat jalan-jalan ke pusat perdagangan, terutama di bagian yang banyak menjual beraneka ragam pakaian. Ya, memang kami berempat berencana membeli pakaian untuk acara-acara formal.

Aku, dengan bantuan Ren dan Syla, sudah selesai memilih tuxedo berwarna marun dengan lapel hitam. Kemeja putih dan dasi kupu-kupu hitam. Simpel, dan menyesuaikan warna ekornya Ruby. Berikutnya giliran Ren dan Syla yang memilih dress.

Rencanaku juga membelikan Ruby dress berwarna marun setelah ini.

"Ren dan Syla sana kalian bebas pilih mau dress yang mana."

"Nanti Arka yang kasih nilai ya..."

"Iya, Ren..."

"Yuk, Ren! Sesuai peraturan kita yang tadi ya!"

"Uhm!"

"Hei hei! Kalian ngomongin apa sih? Peraturan apa?!"

"Arka jelek nggak perlu tau! Weeek!"

"Au ah bodo amat."

Ren dan Syla, menyusuri setiap dress yang dijual di toko itu. Kata semua orang yang kami tanyai, di sinilah tempat menjual dress yang terbaik. Memang, setelah kuintip beberapa price tag, harganya lumayan mahal. Sekitar 1 BG atau lebih untuk setiap helainya. By the way, setelan tuxedo-ku harganya 2 BG (Balvaran Gold).

Aku mentraktir ketiga gadis ini dengan uang tabunganku dari hasil menjual gading Helvaran dulu. Karena pendapatan dari petualang plat Copper tidak cukup untuk membeli pakaian semahal ini.

"Arkaaa siniii jangan jauh-jauh!"

"Arka tunggu di sini ya..."

"Iyaa iyaaa..."

Aku berdiri menunggu di depan ruang ganti. Syla masuk ke ruang ganti membawa dress berwarna pink, sedangkan Ren membawa dress berwarna krem. Setelah sekitar 5 menit menunggu, Syla yang pertama keluar.

"... Gimana?" Syla bertanya sambil berpose dan berputar.

Dress berwarna pink yang dipakai Syla merupakan dress yang di seluruh bagian punggungnya terbuka. Dengan model seperti mermaid, membuat bahan dress yang halus dan mengkilat itu jatuh dengan pas di tubuh Syla, memperlihatkan siluet bentuk tubuh Syla yang sangat berlekuk. Bagian bawah jatuh ke lantai, sedikit diseret jika berjalan.

Dengan model strapless, menjadikan setengah atas payudaranya yang besar itu terekspos memberikan nuansa sensual yang tak tertahankan. Warna kulit Syla yang 'tan' seperti orang habis berjemur di pantai, menambah kombinasi yang meningkatkan sensualitas Syla, sampai pada taraf mematikan.

Kalung dengan liontin Bola Mata Helvaran, memberikan bayangan kemerahan, menghiasi bagian dadanya yang sexy itu.

Ahhh... Aku jatuh cinta lagi kepada wanita cantik dan sexy di hadapanku ini.

"Syla cantik pakai dress itu..." Kataku sambil membuka lebar mataku dan bahkan lupa berkedip.

"Hihi... Aku ambil yang ini!"

Tak lama kemudian, Ren keluar dari ruang ganti, memakai dress krem yang imut. Seperti bertolak belakang dari penampilan Syla.

Dengan model off-shoulder dress yang panjangnya sampai lutut dengan bagian bawah mengembang, Ren melangkah mendekatiku.

"Dress ini... Cocok nggak, Arka?"

Bagaimana mungkin aku bisa mengatakan tidak cocok? Ren terlihat imut, dangerously cute! Tubuhnya yang mungil terlihat semakin imut. Payudaranya yang berukuran sedang itu sedikit mengintip, membuat semua orang akan merasa penasaran. Pada bagian putingnya terlihat sedikit menonjol, sepertinya Ren tidak memakai bra! Jantungku berhenti sedetik. *Glek...*

Bagian bawah yang mengembang itu memberikan nuansa keceriaan. Di sisi lain, warna krem membalut kulit cerah Ren yang tampak sehat itu, memberikan sensasi ketenangan. Dua hal berbeda ini menjadi satu, membuat mata tidak akan pernah bosan melihatnya.

Telinga rubah dan ekor tebal yang sedikit mengangkat bagian belakang dressnya, membuat aku geregetan ingin memeluk rubah imut ini.

"Ren... Imutnya..." Aku sulit berkata, lidahku lemas di hadapan peri kecil ini.

"Makasih... Arka." Ucap Ren sambil menunduk malu.

Akhirnya giliran Ruby. Kami bertiga memilihkan dress lolita berwarna hitam dan marun. Dengan sarung tangan hitam dan bando sesuai warna dan motif dressnya. Ruby praktis terlihat seperti boneka yang luar biasa cantik tapi imut.

"Ruby, coba sini aku peluk"

"Peluk Arkaaa!"

"Uuuu naga cantik kesayangankuuu!"

"Kenapa aku nggak dipeluk sih tadi?"

"Arka, Ren nggak marah kalau dipeluk Arka."

" Halah... Kalian ini..."

Aku tak terlalu menghiraukan perkataan terakhir Syla dan Ren. Setelah kubayar, kami kembali ke penginapan. Tak terasa waktu bergulir, ternyata hari sudah mendekati jam makan malam.

Lantas kami langsung mandi, pakai baju baru, dan kemudian dandan sepantasnya lalu bersiap untuk memenuhi undangan Walikota Dranz dalam acara makan malam bersama.

***

Gedung Walikota. Gedung ini sangat besar. Di depan pintu masuk terdapat dua tentara yang berjaga-jaga dengan membawa tombak yang sedikit lebih panjang dari tinggi badan mereka. Kami dipersilahkan masuk setelah menunjukkan undangan.

Setelah masuk ke dalam, kami diantarkan oleh resepsionis menuju ruang makan besar, di salah satu ruangan yang terdapat di dalam gedung itu. Kemudian dipersilahkan duduk di salah satu kursi yang mengelilingi sebuah meja panjang yang ditutupi dengan kain putih yang bersih. Tidak ada satupun cela pada meja makan yang sangat bersih ini.

Sepertinya, ruang makan ini sering digunakan untuk menjamu tamu diplomat atau petinggi-petinggi pemerintahan dan organisasi yang berhubungan dengan Kota Dranz.

Di dalam ruang makan itu, sudah ada Komandan tentara Dranz yang menunggu. Dia langsung bangkit dari kursinya dan memberi penghormatan kepada kami.

"Selamat malam, Tuan dan Nona sekalian..." Sambil sedikit merunduk dengan tangan kanan di dada kiri.

"Oh, ada Bapak Komandan ternyata... Selamat malam."

Mendengar responku, Komandan ini sedikit terlihat kaget, entah karena apa.

"Perkenalkan, saya Komandan Tentara Kota Dranz, Zerga Vadir. Terimakasih atas kehadiran Tuan dan Nona sekalian."

"Perkenalkan, saya Arka, ini Syla, Ren, dan Ruby. Senang berkenalan denganmu, Tuan Zerga."

Beberapa detik kemudian, Walikota dan dua ajudannya memasuki ruang makan, duduk di kursi besar yang ada di ujung meja, dan menyapa kami berempat.

"Selamat siang, Tuan Arkanava, Nona Sylaria, Nona Renia, dan gadis kecil yang cantik... Selamat siang, Komandan Zerga."

"""Selamat siang Bapak Walikota..."""

"Mungkin kalian sudah pernah melihatku sebelum terjadi peperangan dengan tentara undead beberapa hari yang lalu. Tapi izinkan aku memperkenalkan diri sekali lagi. Namaku adalah Ernefo Jarken, Walikota Dranz. Berhubung aku sudah mengetahui nama Tuan dan Nona sekalian dari informasi yang dimiliki guild, kecuali gadis kecil ini, bolehkan aku bertanya siapa namamu?"

"Aku Ruby! Hehee..."

"Wah wah wah Ruby sangat ceria, ya... Hahaha..."

"Walaupun badannya sudah sebesar ini, tapi umurnya masih kurang dari 3 bulan. Mohon maaf atas kelancangan Ruby, Bapak Walikota."

"Tiga... Bulan? Hahaha... Tuan Arkanava senang bergurau ternyata."

"Saya tidak bercanda, Bapak Walikota. Ruby adalah seekor Naga Api peliharaan kami yang saat ini sedang berubah wujud menjadi seperti manusia." Jawabku dengan nada yang sopan sambil tersenyum.

"O-oh... Begitu ternyata... Berarti gadis kecil ini adalah Naga Api yang diceritakan semua orang itu ya?"

Ternyata Ruby sudah menjadi salah satu topik perbincangan hangat di Kota Dranz ini. Semoga tidak ada gosip negatif tentang kami yang beredar di luar sana.

"Benar, Bapak Walikota."

"Mungkin setelah ini aku ingin melihatnya dalam wujud naga, bolehkah Tuan Arkanava?"

"Tidak masalah bagi kami, Bapak Walikota."

"Dan mulai sekarang, tolong panggil saya dengan Ernefo saja. Karena mulai sekarang, kita sudah berada di posisi yang setara."

"Kalau begitu, panggil saja saya dengan Arka."

Segera setelah saya berbicara, para maid langsung menghidangkan makanan dan minuman kami di meja. Untuk saat ini, Ernefo duduk di posisi kepala meja, dan aku berada di kanannya, diikuti Syla, Ren, dan Ruby. Komandan Zerga berada di seberang kami.

Kami pun segera makan malam sambil diisi oleh perbincangan dengan topik yang ringan. Ernefo banyak bertanya tentang kemampuan kami dan menyampaikan pujian-pujian ringan atas pencapaian kami di usia yang masih tergolong muda ini.

Setelah makan, kami melanjutkan ke perbincangan yang lebih serius di sofa yang terdapat di dalam ruang tamu Walikota. Obrolan serius yang penting untuk kelanjutan rencana kami ke depannya.

***BERSAMBUNG...***

______________________________________

Terimakasih sudah membaca! Minggu ini banyak laporan bulanan yang harus saya susun jadi updatenya akan sangat terlambat. Tapi setelah tugas-tugas saya selesai, saya akan melanjutkan ceritanya lagi.

Nama penting di chapter ini :

- Ernefo Jarken

- Zerga Vadir

Medical Terminology

Inflamasi : peradangan.

Regio gluteus sinistra : area di bokong kiri.

Pus : nanah.

Abses : bagian tubuh yang bernanah

Cavitas : lubang.

Drainase : pembuangan nanah.