Baru saja aku akan masuk, seorang pria melesat mendahuluiku. Pria jangkung dengan setelan kemeja merah dan celana bahan berwarna merah. Dan kami berada dalam satu lift. Dan pria itu tampan. Pemandangan yang bagus sebelum wawancara.
Pria itu sudah menekan tombol berangka 7 di papan tombol sebelah kanan pintu lift, dan aku menekan tombol berangka 2
Huft, rasanya lift ini panas. Aku mengibas kibaskan kerah bajuku, mata nakalku mencuri pandang pada pria itu. 'Ck, hadapkan wajahmu ke mari tampan!' aku menjerit dalam kegilaanku. Pria tampan memang membuatku lupa diri.
Halo, siapa aku? Aku adalah Jessy.
Beruntung aku masih mengingat namaku, bagus.
"Ada yang aneh padaku, Nona?" sekarang terdengar suara bass mengetuk gendang telingaku.
Sepertinya aku ketahuan memandangnya, padahal aku tahu jika dinding lift terbuat dari kaca yang mana mampu memperlihatkan setiap sisi. Ya, kaca.
Aku bodoh, bukan? Jangan tertawakan!
"Aaa…ti-tidak, tidak," cicitku seperti remaja labil dengan wajah merona malu. Tentu saja aku malu. Di mana kantung belanja? Aku akan menutupi wajahku saja.
"Apa kau pekerja baru?" tanyanya lagi.
Dia mengajakku berbicara, Mom!
"Y-ya, aku-"
'Ting!' kalimatku terputus ketika lift berdenting tepat di lantai tujuanku. Gila, singkat sekali.
"Kau sudah sampai," ucapnya. Padahal aku belum melanjutkan kalimatku!
Mau tidak mau, dengan sangat tidak relanya aku melangkah keluar lift. Memberi anggukkan sekali pada pria tampan itu, dan dia membalasnya dengan tersenyum tipis. Rasanya aku ingin meleleh dibuainya.
"Sampai jumpa," begitu ucapnya sebelum pintu lift kembali menutup dengan kejamnya. Sepertinya Tuhan mengerjaiku kali ini. Tapi, tidak apa, aku akan kembali bertemu pria itu. Lihat saja nanti, hahahaha. Kemudian aku tertawa bak kesetanan dalam batinku.
Langkah jenjang kaki pun semakin mendekat hingga akhirnya aku tiba di tujuanku, berdiri tepat di depan pintu cokelat berbahan kayu kualitas terbaik dengan papan nama bertuliskan 'Human Resources Departement' menggantung di permukaannya.
Aku meremas jari-jemariku, mencoba menghilangkan tremor yang kembali datang tiba-tiba. Bayangan pria tua dengan wajah sangar menilai pekerja membayangi pikiranku. Tidak memiliki pengalaman pekerjaan dan wawancara membuatku hilang kepercayaan diri.
Bagaimana kalau nanti aku tidak bisa menjawab pertanyaan dengan benar? Bagaimana nanti aku dimarahi dan diledek seperti pecundang? Bagaimana kalau gagal?! Aku harus melapor apa pada, Mom?!
Jangan-jangan ini karma karena telah berbohong pada Mom dan Dad...
'Ayo jessy, kau pasti bisa. Kau hanya tinggal mengetuk dan masuk ke dalam.' Aku merapal mantra penyemangat diriku.
Mom, Dad, aku mencintai kalian. Maafku putrimu yang nakal ini.
'Knok, knok, knok!' berhasil! Aku berhasil mengetuknya.
"Masuk." Sial, cepat sekali sahutan dari dalam. Aku menatap pintu itu dengan tatapan tidak percaya.
Aku merapikan pakaianku yang terlihat kusut di beberapa bagian, ini semua guna membangun potret rapi dan enak dipandang untukku.
'Krieettt…' pintu berderit pelan ketika aku membukanya. Kepalaku mengintip ke dalam lebih dulu, seperti seorang yang mengendap-endap ketika memasuki kamar terlarang.
Di dalam sana, kudapati sosok pria dewasa, kutebak 30 tahunan. Dan tampan.
Oh, kenapa gedung ini menyimpan banyak pria tampan?! Jiwa terdalamku bergejolak.
"Oh, Kau Nona Ellsworth, bukan?" tanyanya tegas. Sorot matanya menatap diriku penuh ketegasan dan penilaian sekaligus. Aku merasa diam-diam ditelanjangi.
Hei, jika kita bertemu dalam sebuah suasana erotis, aku menjamin aku manatap balik matamu penuh damba, sial.
"Y-ya," tidak tahu harus mengatakan apa, dan aku masih berdiri di celah pintu. Aku masih ingat tata krama, itu terjadi jika aku sadar.
"Silakan masuk dan duduklah," dan mulai dari sini aku tidak boleh menunjukkan kegugupanku. Kudengar, gugup saat wawancara malah akan mengurangi penilaian dirimu.
Jessy! Perlihatkan dirimu, sayang.
Kakiku melangkah masuk dengan tegas, wajah kutegakkan, tidak ada wajah menunduk seolah kau akan diperbudak. Aku menempatkan bokongku di kursi empuk tepat di depan pria yang akan mewawancaraiku. Sebuah meja memisahkan tubuh kami sehingga tidak saling menempel. Padahal aku berharap aku bisa duduk di pangkuannya, pasti bokongku akan panas.
"Hn, kau sudah siap?"
Apa maksudnya? Bersiap untuk apa?!
Oh, tentu saja wawancara, memang kupikir apa? Saling membelai tubuh?
Sial, di saat seperti ini saja pikiranku tidak terkontrol.
"Baiklah, kita mulai…" senyum tipis menyertai kalimat itu. Entah mengapa nampak mencurigakan di mataku.
Aku meneguk liurku dengan berat. Rasanya seperti aku akan kembali sidang skripsi terakhirku.
Oh, tidak. Itu benar-benar berlebihan.
Tapi, percayalah, itulah yang kurasakan sekarang.
"Jadi…Nona Ellsworth, apa yang kau lakukan di sini?" Apa itu? Pertanyaan pertama? Tentu saja untuk bekerja, memang apa lagi? Membuat tanda merah di dadamu, hah?
Jessy, fokus!
"Saya datang untuk menjadi pekerja di perusahaan ini." Wow, jawabanku sudah benar, bukan? Lagipula ada-ada saja pertanyaannya, tidak berbobot seperti yang kutonton di video semalam.
"Memang kau yakin bahwa kau akan di terima di sini?" kali ini nada suaranya terdengar lebih merendahkan. Dagunya meninggi seolah memamerkan posisinya di saat ini. Jelas saja posisiku kalah karena aku masih calon di sini. Masih calon!
Mari kita lihat seberapa jauh pria ini mempermainkanku dengan pertanyaannya. Kau pikir aku takut dengan pertanyaan bodohmu itu.
"Ya, saya yakin saya berpotensi untuk bekerja di sini," tuturku tanpa gugup.
TANPA GUGUP. Beri tepuk tangan untukku.
"Apa yang membuatmu pantas bekerja di sini? Kecantikanmu, eh?" Terima kasih, dia memujiku. Aku menarik sudut bibirku membentuk lengkungan kurva senyuman tipis.
"Tidak hanya itu. Saya memiliki dedikasi tinggi terhadap perusahaan ini, mampu bertanggung jawab pada setiap tugas, dan—"
"Ya, ya, ya, semuanya sudah mengatakan hal seperti itu." Brengsek, dia memotong ucapanku. Kedua tangan di atas pahaku mengepal kesal. Wajah tampannya tidak mencerminkan perilakunya, membuatku ingin menendang benda kebanggaannya.
"Maaf, Tuan. Seharusnya Anda tidak memotong kalimat seseorang begitu saja," balasku tenang.
Aku berusaha tenang dan meredam emosiku agar tidak terpancing.
Kulihat dia menaikkan salah satu alisnya dengan wajah sedikit terkejut beberapa saat.
"Menjunjung sopan santun yang tinggi, hm?" sinisnya. Sial, ini namanya menantangku.
"Tentu saja. Bukankah seperti itu seharusnya manusia saling berinteraksi?" aku berbalik bertanya dan pria yang sialnya tampan itu menyunggingkan seringai tipis lebih lebar.
"Aku tidak menyangkalnya. Ternyata kau pandai berbicara, ya." Tentu saja, tapi apa yang sebenarkan akan kami obrolkan saat ini?! Aku tidak merasa ini benar wawancara kerja.
"Ya, saya juga mampu mengendalikan diri," ucapku dengan tersenyum, kelopak mataku menyipit sabit. Namun, diam-diam aku mengumpatinya dalam hati.
Lalu, aku teringat akan sebulan lalu, aku menendang perut hatersku.
"Dan...kupikir kau tengah mengumpat dalam hati, Nona Ellsworth."
Gila, apa-apaan pria ini. Dia pikir ia cenayang yang dapat membaca pikiran seseorang. Aku benar-benar sebal dengannya.
Untuk sekarang.
"Tidak baik berpikir buruk terhadap orang lain, terlebih Anda baru bertemu dengannya, Tuan."
Oh Tuhan, wawancara macam apa ini....
Aku merasa sia-sia setelah mempelajari video-video semalam. Kudengar dari salah satu pemilik video yang kutonton, wawancara tidaklah seperti ini. Ini malah jauh menyebalkan dari cerita yang beredar.
"Setiap orang bebas berspekulasi, Nona," izinkan aku menggigitnya sekarang. Gigiku sudah gatal ingin menancap di kulitnya.
"Apa sebelumnya saya berkata jika saya melarang Tuan?" aku membanggakan kecakapan kalimatku untuk mendebatnya. Mungkin seharusnya kita berpindah panggung ke kompetisi debat nasional.
"Hm? Tidak. Bahkan aku tidak menuduhmu telah melarangku." Seringai itu lagi, ugh, sungguh godaan yang menyebalkan. Sayangnya, aku tidak lagi tertarik dengan itu.
"Baiklah, bisakah kita kembali ke topik utama?" pintaku. Aku sudah muak dengan basa-basinya. Pikirku ini akan berakhir lama dengan pria itu yang mewawancaraiku. Masih bagian pembukaan wawancara saja sudah berpuluh menit, memang ia tidak memiliki calon pekerja lain yang harus diwawancarai lagi?!
"Hm..." pria itu hanya bergumam, lalu meraih sebuah map merah. Membacanya beberapa detik sebelum kembali meletakkan map merah itu di posisinya kembali. Ia bersandar ke kursi kebesarannya, terdiam memandangku dan aku juga ikut diam memandangnya. Jari telunjuknya mengetuk dagunya dengan konstan. Aku merasa aneh berada dalam situasi ini, saling bertatapan tidak jelas.
Suara detik jarum jam menjadi pengisi kesunyian yang tercipta setelah perdebatan. Tatapannya lama-kelamaan membuatku tak nyaman duduk di kursiku. Benakku mengira-ngira apa yang tengah dipikirnya sembari menatapku aneh seperti itu. Lelah membalas tatapannya terus-menerus yang entah sudah berapa menit terlewat, aku merotasikan bola mataku ke sisi lain yang mungkin lebih menarik.
"Kau boleh keluar dari ruanganku," mulutnya kembali buka suara tiba-tiba. Aku membeku seketika.
APA?! JADI, AKU GAGAL?!
"Apa saya ditolak dalam perusahaan ini?" aku bertanya cepat. Daripada sedih, air mukaku menunjukkan keterkejutan.
Bagaimana tidak, setelah merasa sia-sia mempelajari video wawancara, pagiku yang buruk, wawancara yang menyebalkan dan tidak jelas apa yang dibicarakan, serta jeda kepastian yang juga menyebalkan, aku gagal. Aku jadi ragu dengan perusahaan ini. Orang HRD-nya saja seperti salah pekerjaan. Jadi juri kompetisi debat saja, sana!
Sial, aku ingin menangis saja.
"Apa aku bilang begitu?" Huh? Apa maksudnya?
"Aaa…tidak," cicitku dengan kikuk. Menelan liur dalam kerongkongan rasanya jadi sulit.
"Kalau begitu keluarlah." Astaga, HDR macam apa yang aku hadapi ini?!
"Baiklah, kalau begitu saya permisi, dan terima kasih, Tuan," ucapku sengit seraya membungkukkan tubuhku singkat padanya, lalu menolakkan langkahku menuju pintu keluar. Namun, belum sampai tanganku meraih gagang pintu, suara pria itu mengudara lagi.
"Lantai 23," celotehnya membuat alisku menukik, benakku bertanya dan mengumpat bersamaan. Aku mencoba untuk berbalik dan bertanya apa maksudnya.
"Ruanganmu di sana, sebagai asisten CEO," lanjutnya dengan seringai andalannya.
Apa?
Apa?
Aku diterima?
"Anda serius?" kali ini nadaku sudah malas menanggapi. Jika ternyata masih mempermainkanku, aku janji akan melempar heelsku ke arahnya.
"Ya. Aku menyuruhmu keluar karena wawancara sudah selesai~" bahunya mengendik santai, seolah tak bersalah telah membuat jiwa seseorang terombang-ambing kekesalan.
Oh, Mommy! Terberkati putri cantikmu ini~!
Sepertinya Dewi Fortuna sudah pulang dari salon.
Rasanya aku ingin berteriak kegirangan, dan keinginanku untuk menggigit tengkuk pria itu masih ada. Beraninya dia mempermainkanku.
"Terima kasih, Tuan—" kali ini senyumku menjadi sumringah, perutku berbunga-bunga.
"Allan," sahutnya melanjutkan kalimatku. Dan aku baru sadar jika sejak tadi kami belum berkenalan dengan benar. Pria itu hanya memastikan namaku tanpa memperkenalkan dirinya sendiri.
Allan ya… hahaha, akan kubalas kau nanti, lihat saja.
Sekali lagi aku tertawa kesetanan dalam benakku. Akhirnya aku memiliki pekerjaan dan uangku sendiri!
.
.
.
.
.
- To be continue -