Langkah kakiku meringan, bibirku terus membentuk senyum lebar tiada henti. Lihatlah siapa yang tengah berbahagia ini!
Jika sebelumnya ada awan mendung tak kasat mata yang bertengger di atas kepalaku, kini sebuah pelangi datang dan menendang awan mendung itu pergi. Bunga-bunga juga bermekaran di perutku dengan kupu-kupu yang beterbangan. Aku senang.
Persetan dengan semua orang yang menatapku aneh, aku sedang bahagia sekarang.
Malam ini. Aku. Harus. Berpesta. Lalu, berbagai macam rencana langsung tersusun secara otomatis dalam otak gilaku.
Ah, lantai 23.
Ya! Lantai 23. Aku akan memiliki meja dan komputerku sendiri. Aku harus ke sana. Sekarang.
Sebetulnya aku sedikit bingung. Aku diarahkan untuk langsung bekerja setelah sesi wawancaraku diterima. Dari cerita yang kudengar dari teman-temanku, mereka bekerja setelah HRD menyeleksi hasil wawancara dengan para pelamar lain. Namun... ini berbeda. Perusahaan ini berbeda. Sudah kuduga sejak pertama bertemu dengan HDR bernama Allan itu.
Tapi, bagus. Aku merasa serba mudah dan tidak harus lagi mencari alasan bohongan pada Mom dan Dad tentang pekerjaanku. Aku punya pekerjaan sungguhan sekarang!
Kembali memasuki lift, aku menekan angka 23 pada tombol pengatur lift, dan lift pun mulai ditarik ke atas. Sejenak aku mengecek arlojiku, dan sepertinya jam kerja sudah terlewat beberapa jam lalu. Aku tidak akan dianggap terlambat, bukan?! Aku kan masih pekerja baru yang polos~
Berada di dalam lift seorang diri membuatku leluasa menatap pantulan diri pada dinding kaca di dalam lift. Aku merasa lebih percaya diri sekarang. Namun, aku sedikit terganggu dengan benakku yang bertanya-tanya bagaimana rupa bosku, apakah dia pria tua yang botak dan suka membentak pekerjanya atau tidak. Kalau begitu nyatanya nanti, aku dalam bahaya!
Kepalaku menggeleng cepat, mencoba mengenyahkan pikiran negatif di kepalaku dan aku berdoa semoga bosku tampan dan berhati malaikat.
Bola mataku bergulir ke sisi lain, menilik kembali apakah pakaianku masih rapi sebagaimana semestinya atau ada bagian yang tersingkap atau kusut. Rok atau kerah kemejaku, misalnya. Tidak tertinggal dengan riasan di wajahku yang cantik dan rambutku masih berkilauan.
Oke, semua masih beres, Jessy.
'Ting!' suara dentingan terdengar begitu lift terhenti. Aku mendongak, layar elektronik di atas tombol sudah menunjukkan angka 23.
Aku mengintip keluar sejenak sebelum menarik kakiku keluar, sama seperti yang kulakukan sebelum memasuki ruangan HDR. Tidak ramai dan tidak sepi juga. Hanya ada beberapa pegawai yang sibuk melewati koridor dan seorang resepsionis yang tengah menelpon. Suasana pada umumnya sebuah kantor.
Aku tidak ingin mengambil resiko untuk tersesat di gedung super besar ini, maka aku putuskan untuk mendekat pada wanita pirang si penjaga meja resepsionis. Ia masih tidak menyadariku hingga akhirnya ia menyelesaikan panggilan telponnya.
"Permisi," sapaku seramah mungkin. Senyum bidadari terpasang apik di wajahku.
"Ya, Nona. Ada yang bisa saya bantu?" kalimat klise yang biasa wanita pekerja sepertinya lontarkan.
"Aku mencari di mana ruang CEO," jawabku singkat.
"Ah, maaf. Sebelumnya Nona siapa?" ia kembali bertanya, membuatku jengah ingin menarik rambut ekor kudanya. Tinggal katakan saja di mana, pakai repot malah menanyakan namaku!
"Jessica Ellsworth, pegawai baru yang menjadi asisten CEO," dengan bangga aku mengucapkan kalimat itu.
"Oh!" wanita pirang itu sedikit tersentak, lalu membaca sebuah buku di atas mejanya sebentar. Entah mengapa tiba-tiba ia menyeringai tipis sebelum mendongak menatapku kembali.
"Mari saya antarkan Anda," sambungnya sebelum aku mengatakan apapun. Sang wanita pun keluar dari balik meja tingginya. Aku pun terkejut. Berlebihan memang, tapi aku memang terkejut.
OH, SHIT.
Rok merah yang begitu minim, mungkin hanya setengah paha lebih ke atas. Apa-apaan dia, benar-benar jalang perusahaan. Di balik senyum kalemnya dia memiliki sisi lain ternyata. Berbeda dengan rok span cokelatku yang sebatas lutut. Aku merasa kalah di hari pertama!
Hei, Jessy. Kau sedang dalam mode menjaga image-mu!
Tiba-tiba suara seseorang berkumandang dalam pikiranku.
Si pirang yang sialnya memiliki kaki yang tidak kalah seksinya denganku mulai berjalan lebih dulu, membuatku mendengus keras. Sekali lagi, aku merasa kalah di sini.
Dasar rok span cokelat bodoh, makiku pada rok yang kukenakan sekarang.
Aku melangkah dalam diam, tapi pandangan mataku menatap tajam pada punggung si pirang yang namanya tidak ingin kuketahui. Tiba-tiba aku mendapat kilas balik. Aku teringat dengan seorang teman pirangku di waktu sekolah menengah pertama. Kuralat sedikit, dia bukan temanku. Dia yang selalu mengejekku dengan nama 'gadis monster' karena sifat nakal dan tidak bisa diamku, sedangkan dia sendiri gadis yang selalu bertingkah seperti putri dalam negeri dongeng. Hobinya selalu berhalusinasi. Cih, sama seperti diriku dulu.
Ya, dia salah satu dari dua kakak sinting yang jahat pada si baik Cinderella yang selalu terbuli.
Namun, pada akhirnya aku berani menendang bokongnya hingga ia menabrak sebuah tong sampah. Aku ingat dia mendapat jahitan di bawah dagunya. Dan itu membuatku dalam masalah dengan kepala sekolah.
Baiklah, kembali pada saat ini. Ingatan itu hampir membuatku ingin muntah.
Kemudian, langkah si pirang terhenti tiba-tiba di tengah koridor. Dahiku mengerut tak mengerti dan kepala pirang itu menoleh ke belakang. Ke arahku. Seringai lebih lebar yang kulihat tadi menghias wajahnya.
"Kita kembali bertemu, gadis monster gila~"
Satu kalimat itu sukses membuatku terbelalak.
APA!
JADI-
DIA BENAR-BENAR SI PIRANG DI MASA SEKOLAH MENENGAH PERTAMAKU.
Aku. Ingin. Pergi. Dari. Sini. Sekarang. Juga.
Siapa pun tolong bawa aku pulang! Raungku merana dalam batin.
"Wajahmu masih tetap jelek ya dari dulu," kalimat hinaannya terlontar padaku setelah sekian lama aku berusaha untuk melupakannya. Kami tidak bertemu setelah kelulusan dan aku juga tidak pernah berharap bertemu dengannya lagi. Tapi, sekarang apa?!
Sabar, Jessy. Abaikan setan pirang di depanmu.
Aku menarik napas dalam dan mengembuskannya pelan melalui mulut. Aku harus tetap tenang dan tidak boleh terpancing. Ini hari pertamaku bekerja, aku tidak boleh langsung ditendang keluar begitu cepat.
"Jadi, kapan kita sampai di ruangnya?" kedua bola mataku berotasi malas, berusaha menyadarkannya karena kami berdiri di tengah koridor yang beruntungnya sepi.
"Huh? Sampai?" dia menyipit dengan wajah congak. Aku masih menahan untuk tidak menendang bokong merahnya hingga ia terlempar ke tempat sampah untuk kedua kalinya. Ia harus berterima kasih karena aku sedang berbaik hati saat ini.
"Kau membuang waktuku, pirang sinting," sinisku padanya. Jariku gatal ingin membotaki rambutnya.
"Cih. Pergi saja cari sendiri," dan dia pun berbalik dengan seenak jidatnya seraya mengibaskan rambut. Brengsek.
Aku terpaku karenanya. Seketika aku merasa wajahku memanas. Memanas karena dirundung kekesalan kembali.
"Dia mengibar bendera perang lagi padaku," geramku tertahan. Lihat saja nanti, aku akan balas dendam padanya.
Dari ratusan perusahaan, kenapa di sini aku harus bertemu lagi dengannya?!
Memutuskan untuk mengabaikan si pirang gila, aku sebaiknya kembali mencari. Siapa tahu si Bos sudah menunggu sejak tadi. Aku akan menghajar si pirang sialan itu jika aku kena omelan Bos. Oh ya, tolong ingatkan aku siapa nama si pirang itu.
Benar.
Aku lupa dengan namanya.
Aku menyusuri sepanjang lorong di lantai 23 yang sialnya sangat luas. Sial, di mana ruangan bos besar itu, gerutuku kesal. Ekspresiku sepertinya sangat kusut mengingat aku bertemu dengan musuh bebuyutanku, dan sekarang aku dibiarkan layaknya bebek hilang di perusahaan ini.
Kalian bertanya-tanya mengapa aku tidak bertanya di mana ruangan bos pada orang lain?
Ya, aku pun bertanya-tanya mengapa.
Hal itu tidak terpikirkan olehku sebelumnya. Bodoh.
Kemudian aku melihat seorang gadis berjalan ke posisiku berdiri dengan membawa tas laptop di tangannya, kuharap jika aku bertanya padanya adalah sesuatu yang benar.
Sebelum ia berlalu tepat di sampingku, aku meraih lengannya tanpa permisi. Ia terkejut karena ulahku dan aku tidak peduli.
"Ah, maaf. Bolehkah aku bertanya?" tanyaku pelan dengan raut wajah memohon agar ia mengerti dan berniat membantuku.
"Ya. Apa ada yang bisa kubantu, Nona?" Oh, lihat! Dia tampak baik dengan kalimatnya. Suaranya terdengar bersahabat.
"Aku mencari di mana ruangan CEO," ringisku pelan. Persetan dengan wajah bodohku. Gadis itu berjengit entah karena apa.
"Ruangannya berada di pintu ketiga setelah lift," cicitnya dengan mengembangkan seulas senyum padaku. Dia cantik. Tapi, tidak lebih cantik dari diriku.
Segera aku menolehkan kepala, menghitung dalam hati. Tiga pintu setelah lift.
Ck, sial. Aku bahkan belum memeriksa setiap papan nama di pintu, dan aku sudah mengerang frustrasi tadi.
"Baiklah, terima kasih. Maaf mengganggumu," kedua mataku menyipit karena bibirku membentuk lengkungan senyum manis.
"Tentu. Kau tak perlu sungkan," katanya sebelum benar-benar berlalu pergi.
Sekarang aku kembali sendiri, di tengah lorong. Kali ini tidak ada pegawai lain yang melintas. Aku mengalihkan tatapanku, memandang arloji yang melingkar di lenganku.
Sudah satu jam berlalu sejak aku datang.
Tarik...keluarkan...
Batinku seraya mengambil napas dalam dan mengeluarkannya pelan. Astaga, rasa gugupku kembali menyerang.
Aku merapikan kembali pakaianku yang entah sudah ke berapa kalinya, mengibas-kibaskan bagian yang tampak kusut. Tak lupa aku juga merapikan rambutku yang kuyakin sudah berantakan karena kuhampir melakukan jungkir balik.
Lupakan.
.
.
.
.
.
- To be continue -