Aku menjatuhkan bokongku pada sofa merah di ruang tengah, kemudian menyalakan televisi cukup besar di depan sana. Tanganku meraih toples berisi keripik kentang di atas meja dan membawanya ke atas pangkuanku.
Memakan keripik kentang satu demi satu sembari terus menekan tombol remote televisi berulang kali. Aku bahkan tidak tahu sudah berapa lama aku melakukan olahraga jari dan mulut ini. Tidak ada tayangan yang menarik.
Aku meletakkan kembali toples keripik kentang itu dengan kasar, lalu bangkit dengan gusar tanpa mematikan televisi lebih dulu.
Astaga, aku benar-benar akan mati kebosanan jika seperti ini terus. Ini tidak ada bedanya di kantor maupun di apartemen.
Aku pindah menuju dapur, entah mengapa aku merasa haus dan lapar lagi. Padahal belum lama aku makan siang.
Membuka kulkas besar di sana, lalu mengeluarkan satu botol sirup limun dan meletakkannya di atas meja makan.
Aku juga mengambil hal lain lagi dari kulkas. Semangkuk berisi sup jagung kukeluarkan dan membawanya ke dalam microwave untuk dihangatkan. Tidak perlu membutuhkan waktu lama hingga sup jagungku kembali hangat. Aku pun mengambilnya kembali dari dalam microwave tanpa ingat menggunakan sarung tangan.
'Prankk!!!'
"Arrrgghhhh!!" aku reflek menjerit keras setelah itu. Rasa panas dari sup jagung yang tumpah mengenai kakiku. Terkejut dengan itu, aku mundur beberapa langkah dengan cepat hingga tanpa sengaja pingganggku menabrak meja makan di belakangku dengan keras.
'Prannkk!!!'
Bunyi benda dari kaca yang menghantam lantai terdengar untuk kedua kalianya.
"Arrggghh!!!" aku mengerang lagi, kali ini aku merasa pinggangku sangat nyeri.
Sialan. Kekacauan di atas kekacauan. Dapurku berantakan dengan sup jagung, sirup limun dan pecahan kaca. Sedangkan aku masih mengerang di tempat sembari memegangi pinggangku kuat-kuat, air mata menggenang di pelupuk mataku.
Jessy yang malang.
Eranganku baru berhenti setelah bermenit-menit rasa nyeri itu hilang perlahan, rasanya lebih menyakitkan dari tumpahan sup jagung di kakiku.
Tidak, tidak. Ini sama sakitnya.
Aku melangkah dengan tertatih-tatih ke dalam kamar mandi untuk menghilangkan rasa panas di kakiku. Menyiram kakiku dengan air mengalir yang kuatur suhunya menjadi dingin. Beruntung aku tidak mendapat luka bakar di kulitku, namun rasa panasnya masih sedikit terasa.
Aku mengambil kain lap basah dan sapu kecil untuk membersihkan bencana yang kualami. Satu per satu aku punguti pecahan kaca besar di atas lantai, setelah itu menyapukan bagian pecahan terkecilnya. Noda-noda limun dan sup jagung yang tumpah aku bersihkan dengan lap basah.
Aku melakukan ini beberapa kali, aku harus memastikan jika lantai benar-benar bersih tanpa serpihan kaca. Jika masih ada yang tertinggal, akan sangat bahaya dan aku tidak ingin mendapat bencana susulan selanjutnya.
Setelah kupastikan semuanya selesai, aku membuka kulkas lagi. Kali ini aku hanya mengambil botol berisi air mineral. Meneguknya dengan beringas. Aku baru sadar sejak tadi aku tidak jadi menghilangkan dahaga ini.
Sudah cukup, aku tidak ingin melakukan hal apapun setelah ini. Kupikir vertigoku akan kambuh nantinya.
Suara dering ponsel terdengar nyaring hingga ke dapur. Seseorang menelponku. Aku melangkah malas menuju ruang tengah dan segera menggeser tombol hijau pada ponselnya begitu aku menemukannya di sofa.
"Halo?" Oh, aku bahkan tidak sempat melihat siapa yang menelpon.
"Halo, Jessaku~" suara yang sudah tak asing lagi masuk ke gendang telingaku.
"Oh, Sharon," responku malas, lalu aku merebahkan diriku di sofa. Sudah lama aku tidak bertemu atau berbicara melalui telepon seperti ini. Umm... kira-kira seminggu.
Aku menekan tombol spaker pada ponselku agar suara Sharon terdengar lebih keras, lalu ponselku kuletakkan di atas dada. Tanganku sudah lelah hanya untuk memengangi ponsel.
"Apa apa denganmu, Jessa? suaramu terdengar lesu, seperti kau sedang mengalami masalah."
Ya, aku sedang bermasalah dengan hari ini.
"Aku baru saja terkena bencana jika kau ingin tahu," ucapku dengan mendengus kesal.
"Ini bukan masalah kau patah hati, bukan?" bola mataku berotasi malas.
"Tidak. Bagaimana bisa aku patah hati jika aku bahkan belum menemukan pria yang kuinginkan?" lalu aku mendengar Sharon tertawa keras di seberang sana.
"Kau harus ikut kencan buta lagi, Jessa~ Siapa tau ada pria panas yang dapat membuatmu panas juga." Aku yakin, kali ini Sharon pasti menyeringai lebar. Ini sudah kesekian kalinya ia memberiku saran hal yang sama. Mengikuti acara 'Kencan Buta'.
"Aku tidak percaya dengan acara bodoh seperti itu. Mereka yang ikut dalam kencan buta pun tidak menjamin akan berjalan bagus seterusnya." Bukan kebohongan, aku mengatakannya berdasarkan pengalaman.
Ya, aku pernah mengikuti acara itu, dan yang kudapat adalah mantan terakhirku yang brengsek.
"Tidak perlu kaku seperti itu, Jessa. Ini masih masa mudamu untuk bersenang-senang. Kecuali jika kau memutuskan untuk segera menikah," Sharon tidak pernah berhenti untuk mengiming-imingku dengan sesuatu yang tidak jelas. Aku tidak bermaksud menolak segala sarannya, aku juga ingin bersenang-senang. Namun, sekali lagi kukatakan tidak untuk kencan buta.
"Aku akan menemuka pria panasku sendiri, Sharon. Tidak melalui kencan buta bodohmu itu," ucapku sambil melirik ke arah televisi yang masih menyala sedari tadi.
"Oke, oke. Jika kau menemukan pria panasmu itu, orang pertama yang kau ceritakan adalah aku! Harus a-ku!" ucapnya dengan nada sarat akan paksaan.
"Ya, ya, ya. Lihat saja nanti," aku menanggapinya setengah jengah.
"Oh ya, ini adalah hari kau wawancara kerja, kan? Kau tidak berniat merayakan pesta? Aku ingin mendengar ceritamu hari ini~" Pertanyaan Sharon membuatku ingat sesuatu, mengenai pesta yang kurencanakan di otakku siang tadi.
"Ah, aku hampir lupa mengatakannya," netraku berpaling, menatap jam dinding.
"Kita rayakan di kelab biasa. Kau hubungi yang lain, aku ingin tidur sebentar," lanjutku padanya. Tiba-tiba rasa kantuk entah dari mana menyerangku. Aku menguap lebar sebelum Sharon meresponku.
"Tenang saja. Akan kuatur, kau hanya perlu menyiapkan uang untuk mentlaktir kami."
"Sialan," umpatku setengah kesal. Aku saja belum dapat gaji pertamaku!
"Hahaha...kalau begitu selamat tidur, little Jessa~" Sharon langsung menutup telepon setelah menyebut namaku dengan nama kecilku dulu yang selalu kusembunyikan. Ia mengetahuinya dari Mom saat hari kelulusan sekolah dasarku.
Aku mengangkat kedua tanganku ke udara untuk merenggangkan ototku yang terasa pegal. Sofa ini sudah membuatku nyaman, lagipula aku sudah malas untuk sekedar bangkit dan berjalan menuju ranjang.
Beruntungnya sofa ini sangat nyaman. Kuraih remote di atas meja, menekan tombol merah disusul dengan matinya televisiku. Tubuhku berputar menghadap punggung sofa, lalu kupejamkan sepasang kelopak mataku. Tidur selama satu atau dua jam kupikir bisa menghilangkan rasa lelah dan kantukku. Semoga saja aku tidak terlambat bangun atau Sharon akan menggila di sana sebelum mendatangiku di rumah.
.
.
.
.
.
- To be continue -