"Sepertinya kalian sedang membicarakanku," ucapnya dengan tangan-tangannya menata gelas yang dibawanya itu.
"Percaya diri sekali kau," aku mencibir dan Adam hanya mendengus samar.
"Seseorang harus percaya diri untuk dapat berdiri di dunia yang kejam, Jessy." Baiklah, ia menjadi sok puitis sekarang.
Memilih mengabaikannya, perhatianku tertarik pada botol wine di atas meja kaca di depanku. Pasti wine mahal, pikirku.
"Minumlah jika kau ingin Jessy," aku merasa Adam seperti seorang cenayang. Ini kedua kalinya ia dapat membaca pikiranku dengan tepat.
"Tentu saja, aku tidak akan melewatkan ini," dengan tangan sedikit gemetar entah mengapa, aku menuangkan cairan berwarna merah khas itu ke dalam gelasku. Aroma anggurnya mengguar begitu cairan merah itu mengisi seperempat gelasku.
Mereka menatapku ketika aku meminum wine, membuat dahiku mengerut dalam kebingungan. Apa ada yang salah? Lalu mereka mengendikkan bahu bersama sebelum menuangkan wine ke gelas mereka masing-masing.
"Bagaimana jika kita melalukan sebuah permainan?" Allan menatap kami, aku merasa ada rencana lain yang terselubung dari idenya.
"Hmm, menarik," Adam menyetujuinya begitu saja.
"Permainan apa yang kau maksud?" ada perasaan tak enak yang menghampiriku. Allan dengan berbagai hal menyebalkannya adalah satu yang tidak terpisahkan.
"Truth or Dare."
Benar saja, itu permainan yang menyebalkan sekaligus menyenangkan. Menyebalkan ketika aibmu terbongkar atau kau harus melakukan hal gila. Dan menyenangkan jika melihat aib sang korban atau memerintah korban untuk melakukan hal yang tidak waras sekalipun.
"Aku menolak," karena aku sudah sedikit mengetahui bagaimana Allan.
"Tidak kusangka kau ternyata wanita pengecut, Jessy," siapapun tolong beri aku lakban untuk melilit mulut sialannya.
"Aku bukan gadis pengecut," kulayangkan tatapan sengitku pada Allan. Aku tidak terima dia menghinaku pengecut.
"Lalu? Bergabung dengan permainan?" lagi-lagi ia memerkan seringainya. Aku terdiam memikirkan apakah aku akan ikut atau tidak.
"Siapa takut!" Bagus, Allan berhasil.
Adam mengambil satu botol yang sudah dibuka lebih dulu, menghabiskan isinya dengan menuangkannya ke dalam gelas kami masing-masing hingga isi di dalam botol itu tandas.
Mataku tidak berkedip melihat lengan kokohnya yang nampak jelas karena Adam menggulung kemejanya hingga siku. Aku menyukai urat-urat yang menonjol di lengannya.
"Kau yang memutarnya Jessy," spontan aku mengerjap dan segera memalingkan tatapanku.
"Ladies first," timpal Allan.
Aku mendengus, lalu mengambil alih botol wine yang telah kosong itu dari Adam. Menempatkannya tepat di tengah meja, tanganku sudah bersiap untuk memutar botol.
"Kita lihat siapa korban pertama~" gumamku sebelum aku memutar botol wine itu.
Botol itu berputar di tempat, semua pasang mata di antara kami bertiga menatap perputaran botol itu. Aku merapal mantra agar tidak menjadi korban pertama dalam permaianan ini.
Botol kaca itu baru berhenti setelah perputarannya yang kelima.
"Kau yang pertama, Adam," ucap Allan.
Adam memundurkan tubuhnya, menyandarkan punggung tegapnya pada sofa. Ia terlihat santai meskipun menjadi korban pertama.
"Truth or dare?" aku memberikan pilihan padanya.
"Truth."
"Siapa yang akan bertanya?" tanyaku pada mereka.
"Kau saja, Jessy. Aku sudah mengetahui banyak tentang Adam," Allan membiarkanku yang melontarkan pertanyaan pada Adam.
Apa yang harus kutanyakan? Aku tidak mengenalnya selain namanya. Aku juga tidak berniat mempermalukannya dengan melontarkan pertanyaan aneh. Aku harus menjaga imageku di hadapannya.
"Apa kau memiliki kekasih?" tanyaku pada akhirnya.
"Kau penasaran Jessy?!" Allan menyela dengan cepat.
Aku melayangkan tatapan tajam pada Allan, "Aku tidak bertanya padamu."
Pertanyaanku memang tidak berkelas, tetapi aku penasaran untuk ini. Apakah pria panas seperti Adam sudah memiliki wanita atau belum.
Dan jawaban yang kudapat adalah,
"Tidak." Singkat, padat dan jelas.
"Mengapa?" tanyaku cepat. Terlampau cepat hingga Adam menatapku dengan salah satu alisnya terangkat lebih tinggi.
"Tidak ada dua pertanyaan, Jessy," Allan memperingatiku.
"Baiklah, maaf. Sekarang Adam yang memutar botol."
Adam mengangguk singkat, lalu memegang bagian tengah botol dan memutarnya. Botol pun kembali berputar untuk ronde kedua.
Tiba-tiba aku merasa was-was, rapalan mantra terus kupanjatkan. Berharap botol tidak berhenti ke arahku, terserah di mana botol itu berhenti, pada Allan atau Adam lagi, asalkan jangan mengarah padaku.
'Shit!' makiku dalam hati.
Bibir botolnya berhenti tepat ke arahku.
"Truth or dare?" Adam yang bertanya, kulihat Allan menyeringai. Lagi.
"Dare saja, Jessy," sahut Allan. Bodoh, sebenarnya siapa yang harus memilih?
"Biarkan dia yang memilih," Adam memberikan pembelaan padaku.
Terima kasih, akan kucium kau nanti, sayang.
"Errr...Dare?" Bagus, aku ingin menampar bibirku sendiri.
Aku tidak tahu mengapa aku memilih itu, aku hanya penasaran apa yang akan Allan lakukan atau Adam yang mungkin memberikan perintah.
"Cium bibir Adam," perintah Allan singkat.
Brengsek, keingingan dalam otakku mengudara melalui Allan.
Aku terdiam, begitupun dengan Adam. Namun, pria itu tetap tenang dalam posisinya, seolah tantangan yang Allan berikan adalah hal yang biasa. Mencium seseorang memang bukanlah hal yang tabu, terlebih di New York. Aku juga bukan wanita yang termasuk belum pernah merasakan bagaimaa rasa dari ciuman. Kenyal, hangat dan basah.
"Tunggu apa lagi, Jessy?" Allan mendesakku setelah beberapa menit aku terdiam, larut dalam pikiranku sendiri.
"Sial. Kau pasti sengaja," aku mendecak kesal pada si bodoh Allan. Sedangkan Allan hanya menanggapi dengan mengendikkan bahunya tidak peduli.
Tangan kananku menyambar gelas wineku, meminum isinya lagi dengan tergesa. Tidak sampai tandas, ketika tersisa setengah gelas, aku menjauhkan gelas itu dengan tanganku. Tiba-tiba tubuhku bangkit dan sedikit condong pada Adam, dan secepat yang kubisa, aku menciumnya tanpa aba-aba.
Aku memejamkan kelopak mataku, aku yakin Adam terkejut dengan serangan mendadakku, aku dapat merasakan bibirnya kaku sesaat.
Tidak ada yang kulakukan selain hanya menempelkan bibirku dengan bibirnya.
Ya, tidak lebih. Namun, aku ingin lebih.
Aku kembali menarik diriku, dan tidak berani menatap Adam. Lalu, keadaan melenggang beberapa saat.
"Wow," celetuk Allan.
Kepalaku menunduk dengan menumpu pada punggung tanganku yang saling bertautan di atas meja. Surai cokelatku kubiarkan jatuh menutupi wajahku. Umpatan kasar terus tergumamkan dari bibirku.
Aku merasa senang sekaligus malu. Adam bisa saja mencapku wanita murahan karena menciumnya tiba-tiba, namun ini dare, aku tidak bisa menghindar.
Namun, sekali lagi kuungkapkan, aku senang dapat merasakan bibirnya. Oh, Tuhan. Bibirnya sangat menyenangkan, aku ingin mencicipinya lagi.
"Kerja bagus, Jessy," Allan menepuk-nepuk bahuku.
"Sekarang giliranmu, bodoh," tuturku dengan umpatan yang tak dapat kukontrol.
Allan malah mengalihkan atensinya, ia melirik pada arloji di pergelangan tangannya, sebuah senyum mengembang di wajahnya yang ingin sekali kutinju.
"Ah, sayang sekali. Ini sudah waktunya pergi. Ayo, Adam."
Aku menatap Adam cepat, meminta penjelasan lebih apakah ini hanya alasan Allan untuk kabur.
"Hn, masih ada sesuatu yang harus dikerjakan." Adam tidak berada dalam pihakku.
"Kalian menyebalkan," geramku tertahan.
Aku masih terduduk di sofa begitu Adam dan Allan bangkit dari duduknya, merapikan sedikit pakaian mereka yang nampak kusut di beberapa bagian.
"Senang bermain denganmu, Jessy. Lain kali kita bersenang-senang lagi," tanganku sudah gatal ingin melempar Allan dengan high heelsku.
"Kami pergi dulu, Jessy. Kau bisa menikmati ruangan ini untuk beberapa jam ke depan. Sampai jumpa," dan mereka benar-benar meninggalkanku seorang diri.
"Arrghhh..." erangan pelan keluar dari kedua belah bibirku.
'Drrtttt...' sebuah getaran terasa dari saku celanaku. Itu berasal dari ponselku.
Tanganku merogoh untuk mengambil benda elektronik itu. Tertera nama 'Sharon' dalam layar ponselku yang menyala.
"Ya?"
"Di mana kau, Jessa?" dia pasti sudah kembali ke konter di lantai bawah dan tidak menemukanku di sana.
"Ruang VIP," jawabku.
"APA?!!" aku sudah menduga Sharon akan berteriak, untungnya aku sudah menjauhkan ponselku lebih dulu.
"Tunggu di tempat tadi, aku akan kembali," aku menghabiskan wineku. Sayang jika tidak dihabiskan, itu wine mahal.
"Sialan kau Little Jessa!" Sharon mengumpatiku. Aku tidak membalasnya, aku langsung mematikan panggilannya begitu saja.
.
.
.
.
.
- To be continue -