"Kalau begitu, kami serahkan Lisa padamu, Jessy~" dan senyum palsuku mengiringi kepergian mereka.
Bagus sekali. Setengah jam yang lalu, mereka menghubungiku. Bibi Emily berkata bahwa ia, Paman Simon dan Lisa akan datang berkunjung.
Ya, mereka memang benar berkunjung. Namun hanya sekadar lewat. Bibi Emily dan Paman Simon datang untuk menitipkan Lisa padaku, mereka berkata kalau mereka ingin berbulan madu dan akan menjemput Lisa di hari Senin pagi.
Haha, sial. Mereka asik bersenang-senang, sedangkan aku harus menjaga anak mereka di hari libur.
Tentu saja aku tidak akan mengeluh apalagi protes, selama Lisa dapat duduk manis. Bibi Emily dan Paman Simon juga sangat baik merawatku di New York. Aku tak tega menolaknya.
"Jessy, aku ingin menonton Barbie~" suara cempreng dari bocah pirang itu membuatku menunduk ke bawah. Lisa berumur lima tahun dan ia jelas masih menyukai barbie.
"Tapi berjanjilah kau duduk dengan tenang di sana, oke?" aku menunjuk sofa merah di ruang tengah. Lisa mengangguk setuju, kemudian segera berlari lebih dulu ke arah sofa.
Jika ia bisa kubiarkan seorang diri, aku akan memilih berada di kamarku dan menonton siaran lain. Sayangnya, Lisa adalah monster kecil.
Aku tidak peduli seri Barbie mana yang diinginkannya, aku hanya memilih satu dari puluhan DVD yang Bibi Emily simpan di tasnya.
"Jessy, aku ingin susu pisang~" terdengar Lisa meminta hal lain.
"Ya ya ya, akan kuambilkan," sahutku cepat. Sepertinya Bibi Emily dan Paman Simon sudah mempersiapkannya satu hari sebelum Lisa datang. Ada banyak camilan Lisa di dalam tasnya, termasuk susu pisang kesukaannya.
"Yei yei yei, Barbie dimulai~" Lisa bersorak senang di sofa, sedangkan aku menahan napas sabar sebelum bangkit dari depan televisi.
Sekotak susu pisang dan sengaja kutambahkan sebungkus kukis cokelat kubawakan untuknya. Aku menghindari kerja dua kali jika ia tiba-tiba meminta kukis cokelat.
"Aku tidak mau kukis cokelat. Aku mau keripik kentang yang rasa keju!"
Sial, Lisa tahu sekali cara membuatku kesal.
Tanpa banyak mengeluh, aku segera mengganti kukis cokelat dengan keripik kentang yang ia minta. Doakan aku agar tetap sabar dan memasang wajah manis di depannya atau ia akan menelepon dan mengadu pada Mom jika aku memarahinya. Lisa adalah keponakan kesayangan Mom. Mulutnya benar-benar jujur. Jujur, namun licik di mataku.
Lisa tidak meminta apapun lagi setelah keripik kentang rasa keju berada di pangkuannya. Matanya sudah fokus menonton Barbie, jadi aku melemparkan diri pada sisi sofa lainnya. Meraih majalah fesyen di bawah meja dan melihat-lihat isinya.
Aku secara rutin berlangganan majalah fesyen setiap bulannya, dan akan membeli satu atau dua barang yang menarik hatiku. Ya...meskipun tergantung bagaimana keuanganku.
Aku masih asik melihat-lihat isi majalah sambil berbaring telungkup di atas sofa. Lisa tidak terdengar merengek, jadi kupikir ia baik-baik saja di sana dengan Barbie-Barbie di dalam layar. Hingga dering ponsel yang kuhafal terdengar, fokusku hilang.
Aku melihat ke bawah, di mana aku meletakkan ponsel. Sebuah nomor tanpa nama tertera di layarnya.
Siapa? Pikirku.
Segera kuangkat tanpa menunggu mendapatkan jawaban.
"Hal-"
"Halo, Jessy~"ยญ belum sempat kuselesaikan sapaanku, suara di seberang sana lebih dulu menyela.
"Siapa ini?" keningku mengernyit bingung, agak kenal tak kenal suara itu.
"Ini aku Allan. Kau masih ingat, kan?" mendengar jawabannya membuatku terdiam di tempat.
Bagaimana bisa?!
"Bagaimana bisa kau mendapat nomorku?!"
"Mudah saja karena aku seorang HRD yang cerdas." Nada suara penuh kebanggaannya membuatku ingin muntah.
"Apa yang kau inginkan? Jangan merusak Sabtu siangku!" siaga saja jika ia memintaku melakukan hal yang aneh-aneh.
"Aku ingin mengajakmu makan siang bersama, bagaimana?" ekor mataku melirik pada jam dinding yang menunjukkan pukul sebelas kurang sembilan menit.
"Tidak bisa, aku sedang mengurus se-"
"Aku juga mengajak Adam."
Oh, Hei!
Allan lagi-lagi memotong kalimatku, kali ini membawa nama Adam.
Sial, sial, sial. Aku ingin ikut, tapi tidak mungkin bersama Lisa. Bibi Emily dan Paman Simon, kalian salah waktu!
"Ughh...kalian pergi saja. Aku harus menjaga adik sepupuku..." suaraku nampak menyesal. Memang begitu adanya.
"Oh, ajak saja," timpal Allan dengan sangat santai.
"Mana mungkin! Lisa masih lima tahun dan sangat merepotkan!" Aku tidak ingin menanggung malu di hadapan Adam. Belum saatnya!
"Tenang saja, Adam sangat menyukai anak-anak. Lisa pasti akan menyukainya."
Allan menyebut nama Lisa seolah sudah akrab. Benar-benar tidak tahu batasan Si Bodoh itu.
"Tidak, tidak. Aku tidak a-"
Kemudian terdengar suara Allan menjauh, tetapi aku menangkap kalimat, "Kau keberatan jika ia datang bersama adik sepupunya?"
Tunggu...
Kepada siapa ia bertanya?!
"Aku sudah bertanya padanya, Adam menjawab kalau ia tidak keberatan." Pria ini sungguh ingin kuhajar di hari Senin nanti.
"Kalau begitu sampai jumpa di Mix and Grill Restourant di dekat kantor~!" dan panggilan pun terputus sepihak. Allan pasti sengaja tidak membiarkanku meresponnya.
Jangan tahan aku. Aku sungguh ingin menghajar Allan di hari Senin.
Aku tidak ingin pergi, tapi aku juga ingin pergi. Haruskah aku mengikat Lisa dengan lakban di sofa?!
Aku berdebat seorang diri dan itu membuang waktu sepuluh menit. Pada akhirnya sisi kananku kalah.
Kuputuskan untuk pergi.
"Lisa, apakah kau mau mak-" ucapanku terputus entah keberapa kalinya. Aku lelah menghitung.
Sofa kosong, Lisa tidak ada di sana. Segera aku melompat dari pembaringan, kemudian berteriak memanggil bocah itu.
"Lisaa~!" Aku mencoba mencarinya ke ruang makan dan dapur, namun tidak kutemukan keberadaannya.
Hingga suara ribut dan tawa kekanakkan terdengar dari arah kamarku.
Tidak. Tidak. Tidak lagi.
Aku melesat cepat ke kamar, menemukan pintu terbuka cukup lebar. Suara Lisa terdengar lebih jelas, menandakan ia benar ada di dalam sana.
Hal selanjutnya yang kutemukan adalah hal yang sama sebulan lalu.
Lisa berdiri di atas ranjangku. Mengenakan gaun mini berwarna merah terang beraksen glitter. Kelopak mata dan pipinya berwana pink terang, sedangkan bibirnya berwarna sama dengan gaunku.
Tatapanku bergulir pada meja rias. Sungguh mengiris hati.
Perlengkapan riasku berantakan di sana. Beberapa lipstick dan botol jatuh di bawah.
Ini bencana. Ia bencana.
Aaaaaaaa!!
Aku ingin menangis.
Lisa masih memasang wajah tanpa dosanya, tertawa seolah mengejekku di atas sana.
"Turun, Lisa. Turun sekarang!" suaraku meninggi, tetapi aku berusaha untuk tidak membentaknya.
"Aku jadi barbie, Jessy~" Lisa yang tidak menurut membuatku segera bertindak.
Aku menangkap monster kecil itu. Kemudian segera melepaskan gaunku dari tubuhnya. Ia harus segera dibersihkan. Dalam artian sebenarnya.
Mengabaikan alat riasku yang mungkin dirusaknya, aku menghapus riasan jelek di wajahnya. Tabiatnya yang jelek sudah memengaruhi wajahnya.
Ingatkan aku untuk memberikan tanggungan pada Bibi Emily dan Paman Simon mengenai apa yang Lisa perbuat.
"Jadilah anak baik, Lisa. Jangan membunuhku," aku gemas ingin mengikatnya dengan lakban di sofa.
Selesai aku berurusan dengan kekacauan Lisa, aku mencoba menenangkan diri dan merapikan diriku. Adam pasti sudah menunggu.
Aku melirik pada jam dinding. Sudah pukul 11.21. Masih ada sekiranya setengah jam sebelum waktu makan siang.
"Berjanjilah padaku untuk jadi anak manis. Mengerti?!" kucengkram bahunya agak kuat. Aku khawatir, namun tetap ingin pergi.
"Pinky promise?" Lisa menawarkan jari kelingkingnya padaku dan aku membalasnya dengan terpaksa. Segera setelah kami selesai, aku memesan taksi.
Lisa begitu cerewet. Ia tidak menutup mulutnya selama di perjalanan, mengomentari segala hal yang dilihatnya dari balik jendela mobil. Sesekali bertanya hal yang tidak penting padaku, ia membuat supir taksi sesekali mengintip melalui cerminya.
Aku bukan sosok kakak yang baik, jadi aku mengabaikannya dan memilih asik bermain ponselku.
"Jessy, tadi aku melihat toko es krim!"
"Jessy, aku melihat toko es krim lagi!"
"Apakah kita nanti akan makan es krim, Jessy?"
"Aku mau stroberi di es krimku!"
"Jessy, nanti makan es krim, ya~!"
Jessy. Jessy. Jessy. Jessy. Jessy.
Aku menahan napas ketika telingaku memanas. Lisa tidak ada lelahnya menyebut namaku dan meminta es krim.
"Kau bisa memintanya pada Mommy dan Daddy, oke?" Bukannya aku tidak mau membelikannya barang satu mangkuk. Tapi Lisa tidak akan cukup hanya satu atau dua mangkuk.
"Tapi, Mommy bilang kalau aku bisa meminta es krim pada Jessy dan nanti Mommy yang akan membayar~" matanya menatap polos padaku.
Sayangnya, aku tidak akan terpedaya.
Waktu perjalanan diisi oleh celoteh Lisa mengenai es krim. Janjinya sih hanya ingin makan satu mangkuk, kalau melanggar ia tidak akan menonton Barbie di apartemenku.
Taksi pun menepi saat kulihat papan kayu berukir 'Mix and Grill Restourant' tertangkap retinaku. setelah membayar ongkos perjalanan, aku menggandeng Lisa keluar dari mobil.
"Ingat. Jadi anak manis. Anak manis, setuju?!" aku bahkan sampai mengatakannya dua kali, berusaha menanamkannya pada kepala kecil Lisa.
Lisa menjawabnya dengan anggukan kepala, kemudian mengambil langkah masuk lebih dulu. Aku buru-buru menyusulnya dan langsung mengamit lengan Lisa.
Di dalam sana sudah ramai, mungkin karena ini sudah jam makan siang, jadi semua kursi sudah terisi penuh. Agak kesulitan menemukan Adam dan Allan jika,
"Jessy! Di sini!" Allan tidak memanggilnya lebih dulu. Kulihat tangannya melambai di udara dengan riang.
Aku mendekat bersama Lisa yang mengekori langkahku dengan kalem, dan kami tiba di meja di mana Adam dan Allan sudah menetap lebih dulu.
"Kami sudah menyiapkan dua kursi kosong untukmu. Duduklah." Allan banyak bicara sekali, padahal aku ingin Adam yang berbicara padaku.
Ketika aku menoleh pada bocah yang kubawa, Lisa sudah mengambil kursi di sebalah Adam.
Oh, hei, bocah! Kau mencuri start!
.
.
.
.
.
- To be continue -