Chereads / DAYS WITH MY UNEXPECTED BOSS / Chapter 19 - Absent [Part B]

Chapter 19 - Absent [Part B]

Apa yang terjadi dengan Adam?!

Arghhh, aku ingin segera mengetahuinya. Seingatku, ia masih baik-saja di hari Sabtu lalu, entah bagaimana di hari Minggunya.

Mungkinkah ia sakit...demam atau flu? Tapi, kupikir meskipun sakit ringan seperti itu, memberi kabar padaku, yang merupakan asisten pribadinya, bukanlah pekara sulit. Y-yaa...jika ia memang betul hanya terserang demam atau flu biasa.

Tapi, bagaimana jika tidak?! Bagaimana jika sesuatu yang lebih buruk menimpanya?! Sial, aku jadi merinding sekarang. Aku ingin segera menelepon Allan untuk meminta kejelasan, namun tidak mungkin sebelum aku selesai membatalkan agenda Adam hari ini.

Cih, belum lagi jika mendapatkan balasan menyebalkan dari mereka.

Ah, masa bodoh. Aku ingin tahu keadaan Adam lebih dulu. Bosku itu yang terpenting!

Aku menelpon Allan untuk kedua kalinya, dan tak perlu mengulang panggilan karena Allan langsung mengangkat panggilanku.

"Apa yang terjadi dengan Adam?!" aku menembaknya tanpa berbasa-basi.

"Wow, tenanglah Jessy. Untung saja kau tidak berteriak," dan ia malah menanggapinya dengan basa-basi.

"Ayo jawab, cepat! Bosku kenapa?!"

Sekarang kudengar tawa tertahan di ujung sana. Allan pasti mencoba tertawa, tapi tidak ingin menyinggungku.

Tapi, aku sudah tersinggung!

"Adam baik-baik saja," suaranya terdengar main-main. Apa pesannya tadi hanya salah satu dari 1001 tipuan badutnya? Sialan benar, pria itu!

Ughh, aku ingin memaki, namun aku masih ingat posisiku di perusaan ini, dan ia adalah kepala HRD. Aku tidak ingin mengancam diriku sendiri.

"Cepat katakan dengan benar, Allan. Dasar mengesalkan." Heran, Allan suka sekali bertingkah seperti idiot menyebalkan. Adam salah menempatkannya sebagai kepala HRD.

"Aku sudah mengatakan yang sebenarnya."

"Tapi, apa maksud pesanmu tadi?"

"Itu benar."

Astaga. Zeuz, angkat aku dari bumi.

"Apa yang kau maksud benar, hah?!"

"Benar Adam tidak apaa-apa," Allan mengulang.

"Lalu ada apa dengan rumah sakit?"

"Ya, Adam benar berada di rumah sakit."

Seseorang bisa katakan siapa yang gila di sini?!

"Sudahlah, aku lelah berbicara denganmu." Sialan, Allan. Ia tidak membantu sama sekali, hanya membuatku cepat tua karena emosi terus-menerus.

Aku sudah ingin mematikan panggilan, namun Allan lebih dulu kembali angkat suara. "Keluarganya kembali dirawat di rumah sakit. Aku mengetahuinya setelah berhasil menghubungi Sam."

Sam, si adik Adam yang tidak waras. Kalian masih ingat dengan bos gadungan di awal aku bekerja, bukan?

Lalu...tunggu-

Keluarganya? Aku tidak salah dengar?

"K-keluarga?" aku mencicit, kali ini suaraku memelan.

"Seperti istri atau...anak?" aku ragu untuk menanyakannya. Jauh jauh jauh di lubuk hatiku, aku terkejut antara percaya dan tidak percaya, dan juga penasaran.

"Iya, istrinya."

Dan, jawaban Allan sukses bak batu yang menimpaku dari langit. Huhuhu, segala sesuatu mengenai Adam selalu mengejutkan. Batinku sedang menangis sekarang.

K-kupikir Adam adalah pria yang masih bebas, tanpa kekasih atau wanita lain yang entah apapun statusnya disebut. Ternyata, jauh meleset dari dugaanku. Mungkin salahku juga yang terlalu dini menyimpulkan, padahal aku masih pekerja hijau. Mengenalnya saya belum ada kemajuan pesat.

Sialan, mengigat itu semua membuatku sakit hati.

"Jessy? Kau masih di sana?" Aku menghela napas berat.

"Ya, aku masih di sini. Aku tidak tahu kalau bos sudah menikah." Sudah, sudah, aku tidak lagi bersemangat untuk berbicara.

"Adam? Ia belum menikah."

Baiklah, sampai sini aku sudah sadar bahwa memang aku yang bodoh. Bagus, Allan.

"Lalu keluarganya yang merupakan istrinya itu apa artinya, huh?"

"Oh, maksudku, istri ayahnya. Ayahnya Adam."

Aku pun mematikan panggilan telepon dengan Allan secara sepihak. Persetan dengannya.

Setidaknya sekarang aku sudah lega. Adam baik-baik saja tanpa seorang istri atau anak. Calonnya pun sedang sibuk bekerja sekarang menggantikan dirinya. Kalian tahu maksudku~

Aku kembali membalas pesan-pesan para kolega Adam, dari pesan santai hingga pesan bernada kesal. Untung saja hanya perlu melalui pesan daripada bertemu langsung, aku jadi merasa aman.

Setelah itu, pekerjaanku benar-benar lenggang sampai rasanya aku ingin pulang cepat saja dan menonton Netflix. Hanya ada dua pekerja yang datang untuk membawakan laporan lama atau laporan baru. Aku mengecek kelengkapan isinya dan mencatat apa saja laporan yang masuk, kemudian menumpuknya di atas meja Adam sampai sang pemilik meja kembali hadir. Kuharap besok aku sudah bisa melihat dada bidang dan wajah tampannya lagi. Gawat sekali ini, aku sudah merindu sejak hari terakhir bertemu.

Aku tetap di kursiku sembari berhalusinasi ke sana ke mari, sampai jam dinding di ruang itu menunjukkan waktu istirahat siang. Rasanya aku sudah kenyang lebih dulu.

"Hoamm~" Kali ini aku mengantuk sungguhan. Menganggur seperti ini sangat tidak enak, apalagi tanpa pemandangan yang menyegarkan.

"Jessy, apa kau ingin ikut denganku?" kelopak matanya sayup-sayup ingin menutup, namun suara tak asing mengagalkan rencana tidurku. Seenaknya sekali main masuk ke ruangan orang, tanpa mengetuk pintu lebih dulu pula!

Aku yang kembali membuka mata pun merasa menyesal. Seharusnya aku tertidur lebih awal sebelum gangguan datang.

"Jessy?" sengaja aku tidak meresponnya dan memilih lanjut menelungkupkan kepalaku di atas lengan. Siapa peduli.

"Aku ingin mengunjungi Bibi-"

Aku tidak peduli.

"Kurasa Adam tertekan jika dibiarkan di sana terus."

Aku peduli.

"Datang ke rumah sakit, maksudmu?" aku bangun dan memastikan.

"Tentu saja. Kalau kau khawatir makan siangmu terganggu, kita bisa lakukan di luar nanti."

"Baiklah, setuju."

Kami meninggalkan ruangan setelah aku merapikan penampilanku sebentar. Aku harus tetap menawan untuk bertemu Bos.

Kami pergi dengan mobil milik Allan, karena hanya dia yang memiliki mobil di antara kami. Kalau mobilku, sih, masih di toko dan belum kuangkut.

Ia membicarakan tentang Adam. Bagaimana bosku itu memang kerap kali absen tanpa kabar, tentu saja dengan alasan yang serupa hari ini. Allan juga bercerita dengan ringan kalau Adam kini hanya tinggal dengan ibu dan adiknya, sedangkan ayahnya telah meninggalkan dunia sejak dua tahun lalu. Naasnya, sejak kematian sang ayah, si ibu didiagnosa menderita penyakit paru-paru dan gagal jantung. Allan tidak menjelaskan secara rinci. Namun, aku tidak mengerti mengapa ia bisa sebegitu bebasnya membicarakan kehidupan pribadi bosnya sendiri. Yaa, meskipun kuakui keduanya memang akrab.

"Kau itu pekerja sekaligus sahabatnya? Seperti teman sejak sekolah menengah atas, mungkin?" iseng saja kutanyakan. Aku iri dengan keakraban mereka.

"Aku sepupunya dari pihak ibu."

Haha, lebih dari yang kukira. Kupukir mereka berkawan sejak sekolah atau kuliah.

"Adam tidak malu ya memiliki sepupu sepertimu?" aku menyindirnya terang-terangan.

"Hahahaha, sialan," dan ia membalasnya dengan tertawa tanpa menyangkal. Aku yakin tubuhnya pasti malu dengan jiwanya sendiri.

Allan pun membelokkan mobilnya ke pelataran rumah sakit setelah 23 menit perjalanan. Kami bergegas keluar dan Allan tidak perlu bertanya pada resepsionis, ia langsung membawa langkahnya ke lift. Sam sudah memberitahu di mana ruang Nyonya Madelyn dirawat. Ya, Madelyn Finch adalah nama ibu dari Adam Finch, bosku.

Ruang ICU di lantai lima.

Raut wajah Allan yang terpantul dari kaca lift nampak berubah. Sedikit lebih tegang dari sebelumnya. Ia pasti ikut khawatir dengan keadaan sang bibi, selaku ibunya Adam.

Jika Allan memang sekhawatir itu, bagaimana dengan Adam?

Seperti sudah hafal seluk beluk ruangan, Allan melangkahkan kakinya dengan yakin, sedangkan aku mengekor di belakang langkahnya yang semakin dipercepat. Dan setelah berbelok ke kiri, aku menangkap sosok Adam di kursi tunggu. Ia seorang diri, duduk dengan bersandar lemah ke dinding. Setelan jas lengkap menempel di tubuhnya, tapi nampak kusut.

"Adam." Allan memanggil. Adam menoleh tanpa semangat dan kata-kata. Air mukanya begitu kuyu.

Aku mencoba melempar senyum padanya sebagai bentuk sapa dan memberitahunya kalau aku ikut datang menjenguk. Adam terlihat terkejut, kemudian menyeka wajahnya dengan telapak tangan. Ia bernapas gusar.

"Ah, maaf aku tidak menghubungimu hari ini, Jessy." Suaranya terdengar serak dan lirih. Aku tahu pasti ia lelah. Lalu, di mana Sam? Aku tidak melihat batang hidungnya di sini selain Adam. Tega sekali adik kurang ajar itu.

"Tidak apa, aku sudah mendengar kabarnya dari Allan. Aku juga sudah membatalkan semua jadwal hari ini dan akan mengatur jadwal barunya nanti."

Kulihat Adam tersenyum sungkan sembari menggumam terima kasih, mungkin karena masih merasa bersalah dengan tidak adanya kabar ke kantor.

"Tak perlu dipikirkan, Bos. Semuanya terkendali." Semoga saja ia bisa merasa lebih tenang.

"Bagaimana keadaan Bibi Lyn?" Allan menyela kemudian, dan lagi-lagi Adam bernapas gusar.

"Ia masih belum sadarkan diri. Jantungnya sempat berhenti begitu sampai di rumah sakit. Kesekian kalinya aku merasa di ujung kematian." Adam tidak menatap ke arah Allan atau aku, pandangannya menatap lantai seolah menerawang sesuatu.

"Jangan khawatir. Aku yakin Bibi Lyn akan segera sadar." Allan menepuk bahu Adam seolah dengan itu bisa memberi semangat padanya.

Aku menggigit bibirku, ingin ikut mengatakan sesuatu namun ragu apa yang ingin kukatakan.

"A-aku juga akan ikut mendoakan Nyonya besar agar segera pulih." Hanya itu, dan Adam tersenyum tipis seraya mengucapkan terima kasir padaku untuk kedua kalinya.

Suasana menjadi hening, tidak ada lagi yang angkat bicara. Allan pun memilih mendekati jendela di mana Nyonya Madelyn dirawat, bermaksud melihat keadaan sang bibi yang berbaring lemah di sana.

"Ia akan selalu tahu kalau kau sangat menyayanginya Adam," itu yang Allan katakan sebelum kembali mendekati Adam.

Kami tidak menyadari dari kejauhan datang seseorang, hingga suaranya menarik perhatianku, Allan, dan Adam.

"Loh, Jessica datang?"

Aku melihat Sam dan seorang wanita semampai di sampingnya.

.

.

.

.

.

- To be continue -