Sayangnya tidak semudah itu. Kami semua berakhir di meja yang sama. Tentu saja untuk makan siang. Sangat pas sekali, tiga wanita dan tiga pria. Ini seperti kencan masal.
Adam berada di antara Luna dan Samantha, sedangkan aku di sebrangnya diapit oleh Allan dan Sam. Ramai sekali, sampai menyuruh pelayan untuk menggabungkan dua meja sekaligus.
Cih, aku lebih berharap duduk bertiga bersama Adam dan Allan saja. Setidaknya mereka yang paling kukenal di sini.
"Ayo, kita mulai saja makan siangnya. Jangan sungkan, kakakku yang akan membayar!" Sam berseru di antara kami ketika semua sajian yang dipesan sudah mengisi penuh meja. Adam tidak terlihat terkejut dengan seruan adiknya, ia hanya mendengus tanpa melempar kata-kata. Mungkin ia sedang malas meladeni Sam, juga terlalu wajar dengan adiknya yang memang kurang ajar.
Aku mengintip ke arah Adam, menilik air mukanya saat ini apakah sudah berubah.
"Apa besok kau akan masuk ke kantor?" itu Allan yang bertanya pada Adam. Kulihat ia sudah tidak sekaku tadi, sedikit lebih terkendali.
"Ya. Setidaknya aku tahu kalau Ibu sudah ditangani oleh orang yang tepat." Meskipun tahu begitu, raut kekhawatiran belum hilang di wajahnya. Ya, tidak mungkin juga sirna dalam hitungan menit.
Keberadaan Samantha memang membuat suasana sedikit berbeda, tapi itu bukan karena wanita genit itu mampu mencairkan suasanya dengan baik. Ia sama berisiknya dengan Sam, mereka mengoceh tiapa henti. Berbeda dengan Luna.
Aku tidak tahu bagaimana ia, dan itu membuat rasa penasaran tidak bergunaku muncul. Ia terlalu tenang, atau...cuek?
Oh, sial. Bagaimana bisa aku memperhatikannya lagi?! Buang-buang waktu saja.
"Adam, kau juga harus makan sayur supaya sehat," dengan suara sok manisnya, Samantha meletakkan beberapa sendok salad di atas piring Adam.
"Kau juga bisa memakan supku. Ini bisa menenangkanmu." Semangkuk sup krim jagung miliknya ia geser ke samping piring Adam.
Aku tahu ia sengaja menarik perhatian kami untuk menonton afeksi berlebihnya untuk Adam. Aku merinding konyol diam-diam, sedangkan yang lainnya bertindak biasa saja. Kupikir mereka juga sudah tahu kalau Adam dan Samantha itu kenal sejak kecil.
"Aku bisa memakan makananku sendiri. Ambil kembali milikmu, Samantha," dan Adam menggeser mangkuk sup krim itu, mengembalikannya pada Samantha. Hebat sekali, Adam bahkan tidak kesal dengan Samantha seperti waktu di restoran minggu lalu.
"Berlagak diet malah akan membuat Adam gendut, Samantha." Allan mencoba menimpali dengan gurauan dan ditangkap sebagai ejekan oleh Samantha.
"A-aku tidak sedang diet. Aku hanya mempertahankan bentuk tubuhku untuk Adam." Ia malah membuat Sam tertawa.
Jujur saja, itu tidak lucu sama sekali, tapi kenapa Sam bisa tergelak geli?!
"Untuk kakakku? Kau saja buka tipenya," Sam ikut meledek, membuat wajah Samantha memerah karena kesal.
Oh, sudah pasti ia tidak terima. Memuja adam sudah seperti misinya, dan menjadi milik Adam menjadi visinya.
"Aku permisi sebentar," tiba-tiba suara lain menyela. Luna bangkit dari kursinya, ia juga menggenggam ponsel di tangannya. Jadi, kuasumsikan ia mendapat panggilan telepon. Ya, namanya juga model, pasti manajernya sudah mencarinya. Aku mengikuti langkahnya sampai ia hilang di belokan toilet.
Jeda sesaat tidak membuat Sam dan Samantha berhenti mengoceh. Bahkan makanan di piring keduanya masih banyak. Jika mereka kembar bersaudara, aku sangat kasihan pada Adam, dan aku akan menyarankan agar adiknya dijual saja di 'Black Market'.
Hei, setidaknya itu mengurangi beban.
"Adam, ada noda kuah di bibirmu," belum juga Adam merespon, ibu jari Samantha bergerak untuk menyeka lebih dulu. Tindakannya bersamaan dengan Luna yang baru saja kembali ke kursinya, dan wanita itu melihat apa yang Samantha lakukan.
"Samantha. Jaga sikapmu pada tunanganku."
Duarr!
Otakku seperti meledak seketika. Gerakkan tanganku dengan alat makan ikut terhenti.
Apakah ia berbohong?!
Sudut bibirku berkedut, tanganku rasanya gatal. Brengsek. Aku menggigit pipi dalamku, dan mencoba melihat reaksi Samantha. Ia tidak menyangkal apapun, berkata Luna bohong saja tidak, malah melengoskan kepala dan menarik tangannya kembali ke sisinya.
"Aku sudah harus pergi. Terima kasih untuk makanannya, sayang."
Dan setelah merapikan tasnya, ia mengecup bibir Adam sebelum berlalu meninggalkan meja kami. Suasanya yang gaduh pun menghening kembali. Samantha memasang wajah kecut.
Arghhh! Bagaimana bisa?!
Ini menggangguku. Sangat-sangat mengganggu.
Kulihat Adam tidak bereaksi apapun selain ekspresi datarnya. Tidak nampak terkejut di mejanya bila apa yang dikatakan Luna itu hanya kebohongan belaka.
J-jadi, benarkah? Benar mereka sudah bertunangan?
Gila, aku ingin mendengar kepastiannya dari Adam sendiri, tapi tidak mungkin aku menanyakannya. Sejak awal Luna datang, mereka tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa mereka sepasang yang bertunangan. Kalau kuingat pun, Adam menunjukkan raut tak nyaman saat melihat Luna datang bersama Sam ke rumah sakit.
"Ahahaha, Kak Luna bisa seram juga. Setelah ini Samantha pasti tidak berani bertemu Kak Luna lagi." Sam mencoba mencairkan suasana.
"Enak saja. Aku tidak akan kalah!" Samantha enggan mundur, meskipun faktanya ia sudah mengetahui hubungan Luna dan Adam. Lihat saja aksi-aksinya tadi yang dilakukannya di depan Luna. Menantang dengan konyol.
Suasana hatiku menurun drastis, gantian dengan Adam. Mommy, putrimu sedang sakit hati sekarang.
"Jessy?" Allan memanggilku, dan ketika aku mendongak, semua mata menatapku bertanya. Berbeda dengan Samantha yang memberiku lirikan merendahkan.
Ck, bikin jengkel saja jika dilihat.
"Ada apa?" aku ini sedang sakit hati diam-diam. Jadi, jangan tanyakan apapun.
"Apa ada yang mengganggumu?"
YA, YA, YA. ADA.
Aku ingin berteriak demikian, tapi masih sadar diri untuk tidak dungu di depan umum.
"Oh, aku tidak sadar ada dia sejak tadi."
Keluar juga tanduknya. Saat Luna masih di antara kami, sok bersikap manis tanpa dosa.
"Samantha, berhentilah mengganggu orang lain." Rasanya dejavu, Adam yang mengatakan itu untuk membuat Samatha bodoh itu berhenti dan kembali melanjutkan makan siang yang panjang.
Kami jadi lebih tenang setelah sadar sudah menghabiskan banyak waktu hanya untuk makan siang. Aku memeriksa arloji, jam menunjukkan kalau waktu istirahat siang kantor sudah berlalu sejak dua belas menit lalu.
Ah, aku ingin pulang saja.
Seusai makan siang, kupikir Allan akan langsung mengajakku kembali ke kantor. Ia meminta waktu lebih agar bisa menjenguk sekali lagi ibunya Adam. Setidaknya ia tidak ikutan tegang nanti, begitu katanya.
Tidak masalah, aku juga sudah malas bekerja hari ini.
Seorang dokter baru saja keluar dari ruangan di mana ibunya Adam dirawat. Adam bergegas menghampiri dengan langkah panjang.
"Bagaimana keadaan ibu saya, Dokter?" aku melihat kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya.
"Tidak perlu khawatir. Ibumu baru saja melalui masa kritisnya. Namun, meskipun sudah stabil, ia masih belum sadarkan diri. Jika ingin menjenguk, dua orang bergantian saja." Seolah tahu apa yang akan Adam tanyakan berikutnya, dokter itu lebih dulu menjelaskan.
Adam yang tidak mengatakan apapun lagi, langsung mengambil langkah masuk. Samantha mengekorinya lebih cepat. Tidak ada lagi yang menyusul, karena dokter hanya memperbolehkan dua orang ketika menjenguk.
Tidak sampai lima menit, Adam kembali keluar bersama Samantha. Ia mempersilakan Allan yang ingin bertemu ibunya.
"Kau mau ikut Jessy?" Aku ragu dan sedang merasa asing. Linglung juga. Dungu juga.
"Masuk saja, tidak apa." Adam tersenyum padaku, dan ya...itu sedikit meringankanku walau dongkol di hatiku belum hilang.
Tidak enak menolak kemurahan hati bosku sendiri, aku mengikuti Allan masuk. Namun, tidak kukira Adam tetap di luar, ia kembali masuk bersamaku dan Allan.
"Hai, Bibi Lyn. Sekarang Bibi sudah akan segera sehat kembali, setelah Adam menangis tadi," Allan berbicara seolah sosok wanita yang terbaring itu sudah terbangun dan menyambut mereka.
"Aku tidak menangis," Adam menyahut cepat. Aku jadi teringat ketika aku mencoba menghiburnya tadi yang memang terlihat akan menangis. Tepatnya, matanya saja yang memerah.
"Hari ini ramai sekali yang menjenguk Bibi Lyn. Bahkan kami sempat makan siang bersama sebelum mengunjungimu."
Allan memang pandai berbicara, aku sampai kehabisan kata-kata dan tidak tahu harus apa selain memperhatikan sosok wanita yang dipanggil sebagai Bibi Lyn oleh Adam.
"Oh, ya, hari ini Adam tidak masuk kantor lagi tanpa kabar. Aku sampai membawa asistennya kemari." Baiklah, yang satu ini memang tidak penting untuk diceritakan. Untunglah Bibi Lyn tidak mendengar secara langsung.
"Apa kau ingin mengatakan sesuatu, Jessy?"
A-apa? Aku?!
Bagus, aku tidak mempersiapkan pidato atau pantun untuk ini.
"Selamat siang, Nyonya besar." Sial, aku bingung bagaimana untuk menyebutnya. Bosku ada di sini dan aneh jika aku sok kenal dengan memanggilnya sebagai Bibi Lyn.
"Pftt!" Allan menahan tawanya.
"Tidak apa jika kau ingin memanggilnya seperti Allan. Aku tahu ia tidak akan keberatan." Adam menolongku, bosku itu memang yang terbaik.
"Saya belum lama bekerja dengan Adam, tapi saya berjanji akan membantu Adam bagaimana pun keadaannya."
Aku terdiam dengan kata-kataku sendiri. Terdengar aneh di telingaku, tapi Adam dan Allan tidak merasa terganggu. Jadi, kulanjutkan saja.
"Saya harap Bibi segera sadar, karena..." aku melirik ke arah dua pria di ruangan itu, mereka membalasku dengan pandangan bertanya.
"Adam merindukan Bibi."
Adam sedikit terkejut, mungkin tidak menyangka aku akan mengatakan hal itu. Lagipula ia tidak menampik, itu membenarkan ucapanku tanpa konfirmasi.
Allan menghela napas lega begitu keluar dari ruang rawat. Aku tidak tahu ia setegang itu hanya karena Bibi Lyn. Kamar itu tidak langsung kosong, kali ini Sam yang menggantikan sendiri. Samantha masih di sana, bangkit dari kursi dan menghampiri kami, atau lebih tepatnya Adam.
"Kalau begitu, aku akan kembali ke kantor. Ini sudah terlambat dari seharusnya, aku tidak mau gajiku dipotong lagi." Aku tahu Allan sedang menyindir Adam.
Tentu saja tentang insiden Sam menjadi bos gadungan. Saat itu Adam berkata akan memotong gajinya, entah betul atau tidak.
Adam mendengus geli sebelum berkata, "Kali ini tidak akan kumasukkan sebagai masalah."
"Kalau begitu, sampai besok, Bos." Sebagai asisten yang baik, aku harus pamit dulu kepada Bos.
"Terima kasih untuk hari ini, Jessy. Maaf merepotkanmu secara konyol seperti ini. Sampai jumpa besok."
.
.
.
- To be continue -