Chereads / DAYS WITH MY UNEXPECTED BOSS / Chapter 20 - The Woman [Part A]

Chapter 20 - The Woman [Part A]

Bukan. Wanita itu bukan wanita jalang yang bersama Sam saat di kantor hari itu. Wanita kala itu sangat jauh berbeda dari penampilan si wanita ini yang elegan. Rambut cokelat kemerahan yang diikat tinggi berpadu dengan gaun ungu muda berlengan panjang dan setinggi paha putih mulusnya. Ekspresinya sangat tenang, namun awas di saat bersamaan.

Cih, merusak mataku saja. Lagipula untuk apa aku memandanginya. Tapi, tapi, aku merasa familiar dengan wajahnya.

"Karena Adam tidak memberi kabar ke kantor, aku bawa saja sekalian asistennya." Allan menyela dengan menjawab pertanyaan Sam. Jawabannya tidak terdengar adanya alasan yang bagus. Apa hubungannya dengan Adam tidak memberi kabar dengan membawaku ikut ke rumah sakit? Padahal ia sudah memberitahuku tadi.

Tidak buruk, sih. Aku jadi bisa melihat keadaan bosku secara langsung.

"Oh, kupikir Jessy ingin kembali bertemu denganku." Sam mengerling menatapku, aku nyaris muntah di tempat. Menggelikan sekali melihat tingkahnya dan mengingat saat ia menipuku dengan menjadi sosok si Bos.

"Jangan bermimpi," sahutku cepat.

Sam hanya tertawa menanggapi responku sebelum berpaling kepada Adam yang kembali larut dalam dunianya. Bahkan ia tidak memandang ke arah kami yang datang untuknya.

"Kakak, aku datang bersama dengan Kak Luna." Adam menoleh pada Sam, kemudian pada wanita di samping adiknya itu sesaat. Tidak terlihat tertarik, Adam malah menghela napas tak nyaman.

Ada apa dengan mereka? Jiwa penasaranku mulai bergejolak.

Sam yang tidak mendapatkan sahutan berarti dari sang kakak pun mendengus, kemudian mengangkat lengannya yang dilingkari oleh arloji.

"Ini sudah lewat jadi jam makan siang. Bagaimana kalau kita makan siang bersama? Aku tahu kalian pasti belum makan siang, bukan?" Semua pasang mata tertuju pada Sam yang sudah terlihat santai kembali. Ia tidak semurung Adam, padahal ibunya tengah kritis di dalam kamar sana.

Oh, atau mungkin ia yang pandai menyembunyikan perasaan?

"Aku setuju. Aku juga tidak mungkin membiarkan Jessy tidak makan siang." Aku melirik cepat ke arah Allan. Jelas saja ia pasti akan setuju dengan acara makan siang bersama ini. Aku yakin ia juga mengenal Sam dan wanita bernama Luna itu.

"Kakak, kau juga harus ikut. Kau belum memakan apapun sejak pagi." Sam kepada Adam. Tidak kusangka ia cukup pengertian dengan kondisi kakaknya sendiri. Kali ini Adam tidak menolak, ia menggumam tak jelas sebagai tanda setuju.

"Kak Luna, kau tidak terburu-buru, bukan?" Sam nampak akrab. Mungkinkah mereka bertiga kakak beradik? Tapi, aku tidak menemukan kesamaan garis wajah di antara mereka.

"Yah, jadwal pemotretan selanjutnya masih empat puluh lima menit lagi."

Jadwal pemotretan, katanya? Jadi, dia seorang model ternyata. Dasar, cara bicaranya itu pasti ingin pamer. Ternyata wanita-wanita yang ada di dekat Adam itu semuanya tukang pamer, sama seperti wanita di restoran minggu lalu. Aku tidak ingat namanya!

"Baiklah, ayo pergi. Ada kafe di dekat gedung rumah sakit ini." Sam seperti menjadi pemandu wisata dadakan, dan kami seperti turis yang mengekorinya untuk menuju ke destinasi selanjutnya.

Sam, Luna, dan Allan berjalan di depan, sedangkan aku dan Adam berada di belakang mereka. Adam masih lesu, seolah semangat hidupnya sudah tak ada. Ia pasti masih mengkhawatirkan kondisi ibunya, hal yang paling berharga di hidupnya.

Karena langkahnya yang lebih lamban dariku, aku mencoba mengimbanginya hingga kami berjalan beriringan. Aku menoleh dari sisi kanan, mengintip wajah tampannya.

"Hei," aku memanggilnya pelan, mencoba menarik perhatiannya agar tidak terus-menerus menatap lantai rumah sakit saja. Sudah sejak aku datang melihatnya, Adam hanya menatap lantai rumah sakit tanpa berpaling jika tidak diajak bicara. Ini sisi yang baru kulihat sejak aku bekerja dengannya. Sedikit aneh, namun aku tidak ingin menghakiminya.

"?" Kulihat ia sedikit tersentak sebelum menoleh ke arahku, membalas menatapku dengan pandangan linglung. Kupikir nyawanya baru kembali lagi setelah berkali-kali datang dan pergi dengan begitu cepat.

"Kau tidak apa, Adam?" Seharusnya tidak perlu kutanyakan, jelas sekali ia terlihat tidak baik-baik saja. Bodoh.

"Entahlah, aku sendiri juga tidak tahu," Adam menjawab dengan ketidakpastian. Mungkin ia berada dalam situasi berharap bahwa semuanya akan baik-baik saja, namun takut jika akhirnya akan tidak baik-baik saja. Aku jadi bertanya-tanya sudah berapa kali ia merasa seperti ini.

"Jangan keras dengan dirimu sendiri. Ibumu sedang berjuang di sana, apa bagus jika kau malah bersedih dan murung seperti ini?"

Hening. Adam tidak menanggapi.

Sial, sial, sial. Pasti aku mengatakan sesuatu yang salah. Argh, mulut sialan!

Jangan-jangan Adam jadi mencapku kurang ajar karena seenaknya berbicara begitu. Memang tahu apa aku tentang masalahnya?!

"Hahaha, kau benar."

Tunggu-

Apa yang barusan dia katakan?! Aku benar?!

Oh, Dewi Fortuna, syukurlah Adam tidak marah padaku. Bahkan ia tertawa meskipun terkesan miris menertawakan dirinya sendiri.

"Aku yakin energimu akan tersampaikan kepada ibumu. Jadi, janganlah berpikir negatif, itu mungkin akan membuatnya sedih."

Aku tidak tahu mengapa aku bisa melanjutkan berbicara sok bijak seperti itu. Mulutku ini sering mengumpat, aku jadi takut kalau kalimat-kalimat yang keluar malah akan memperburuk keadaan.

"Tidak kusangka, kau melihat keadaanku yang seperti ini, Jessy. Aku sebagai atasanmu merasa malu." Kekehan ringan pun lolos dari bibir yang sejak tadi datar, juga ada lengkung tipis di saja. Adam tersenyum simpul, membuatku membeku sesaat karena terperangah.

Mau tidak mau, aku ikut melemparkan senyum simpul. Diam-diam aku luar biasa senang karena kupikir aku bisa sedikit menghiburnya.

Percaya diri saja. Itu kunci utama!

"Ahahaha, tidak masalah, Bos. Aku bisa menjaga rahasia!" dan kami pun tertawa pelan bersama. Sekilas aku melihat Luna mengintip ke arah kami melalui bahunya, mungkin merasa penasaran denganku dan Adam yang tiba-tiba tertawa. Padahal cukup pelan, Sam dan Allan saja tidak terusik dan tetap asik mengobrol berdua.

Tidak lama kemudian, yang lainnya menyadari perubahan suasana hati Adam yang kini menjadi lebih baik. Obrolan pun meluas, kami saling melemparkan tanya ringan sembari melangkahkan kaki menuju kafe yang dimaksud Sam. Hanya Luna yang pasif di antara kami, irit sekali berbicaranya. Kalau bukan Allan atau Sam yang berbicara padanya, ia akan lebih memilih acuh. Kutebak sih, ia tipe-tipe wanita yang sombongnya tidak ada obat, namun karena sekarang lagi tenang, jadi belum terlihat saja.

Masa bodoh, ah. Toh, Adam juga nampak tidak mempedulikan kehadirannya di sini.

"Woahh, benarkah Kak Luna lusa akan terbang ke Perancis? Bolehkah aku ikut?!" Sam yang baru kuketahui masih berumur sembilan belas tahun itu memiliki perangai yang sedikit kekanakkan di balik sifat kurang ajarnya.

"Aku tidak mengizinkanmu." Sebelum Luna angkat bicara menanggapi Sam, Adam lebih dulu angkat suara sebagai sang kakak. Ya, itu karena,

"Kau tetap di sini dan pergi kuliah," Sam sudah sering membolos kelas di kampusnya. Parahnya, ia juga mengulang satu tahun kuliahnya karena ia pernah menetap di rumah neneknya di tahun lalu.

"Lihat? Adam tidak memberimu Izin. Mungkin lain kali, Sam," Luna menambahkan, membuat Sam langsung berwajah masam.

"Kakak tidak seru sekali, sih," itu jelas ditujukan pada Adam.

"Ya sudah, Jessy nanti temani aku lagi di kantor, ya. Aku akan menggantikan kakak besok." Lagi-lagi Sam mengerling padaku. Bocah ini genit sekali. Walaupun kuakui Sam itu tampan seperti kakaknya, tapi maaf saja. Aku tidak tertarik dengan sifat sok badboy-nya yang norak.

"Satpam di gerbang depan tidak akan memperbolehkanmu masuk lagi. Berhentilah mengacau di kantor, Sam." Adam sudah mengatakannya dengan serius, sedangkan Sam seolah tidak peduli.

"Allan akan membantuku." Aku tidak mengerti mengapa Sam si bodoh senang sekali bermain-main di kantor. Anehnya juga saat itu Allan terlibat meskipun sudah tahu kelakuan Sam.

"Aku bersedia meninju mereka. Kebetulan aku pernah ikut kelas karate."

Itu aku yang mengucapkannya, lengkap dengan senyum manis tapi menakutkan. Mereka semua menatap ke arahku, terkecuali Luna yang entah sejak kapan sibuk dengan ponselnya.

Pintu kaca yang menghubungkan area gedung dan luar pun terbuka. Sam bilang kafe tersebut ada di samping gedung utama. Baru saja kami akan berbelok, suara asing tak asing terdengar memanggil,

"Adam!"

Oh, oh, oh, tamu tak diundang hadir.

Aku sangat ingat wajah wanita yang berdiri di depan kami. Sayangnya, tidak dengan namanya. Masih segar di otakku, pengalaman menyenangkan dengannya di pertemuan pertama.

Wanita itu mempercepat langkahnya, mendekati Adam seolah di sana hanya ada dirinya dan Adam seorang. Tanpa permisi langsung memeluk Adam di tempat.

"Kau tidak apa-apa, Adam?!"

Brengsek, dia masih tidak kapok juga.

"Ayah bilang kalau Bibi Lyn masuk rumah sakit lagi, jadi aku segera ke sini."

Adam yang risih menjadi bahan tontonan di depan pintu masuk rumah sakit, mencoba melepaskan dirinya dari pelukan itu. Agak sulit karena si wanita memeluknya cukup erat.

"Kalau begitu, kau bisa langsung pergi saja ke ruangan ibuku dirawat, Samantha," tukasnya begitu Adam terbebas dari wanita gila itu.

Akhirnya aku ingat namanya.

.

.

.

.

.

To be continue.