"Siapa nona kecil ini, hm?" aku menoleh cepat ketika mendengar suara Adam. Ia berbicara dengan Lisa. Tanpa berbicara denganku lebih dulu.
"Maaf, aku lupa memperkenalkannya. Ia Lisa, adik sepupuku. Hati-hati dengannya, ia anak nakal." Sebelum Lisa yang menjawab, aku lebih dulu menanggapi Adam meskipun awalnya ia tidak berbicara padaku.
"Lisa tidak nakal, Jessy! Lisa anak baik, kok~" tidak terima, Lisa memprotesku.
Aku mendengus meresponnya, lalu sedikit mencuri pandang ke arah Adam. Kulihat ia tertawa kecil. Aku tidak terima.
"Nampaknya kalian ini tidak akur, ya," Allan angkat bicara. Tidak salah karena Lisa tidak bisa diajak akur.
"Aku bersumpah, Lisa itu anak nakal." Aku masih tidak rela Adam memperlakukan Lisa dengan baik. Lihat saja wajah tampannya yang tersenyum itu sedang mengobrol dengan Lisa. Aku kan juga ingin berbicara dengannya, ingin ia tersenyum ke arahku.
"Ihh! Lisa bukan anak nakal, tahu!" Lisa yang mendengar ucapanku, berbalik protes untuk kedua kalinya.
"Baiklah, anak baik tidak boleh berteriak. Apa kau ingin memakan sesuatu?"
Panas. Sialan panas. Hatiku semakin dongkol. Sekarang Adam lebih memperhatikan Lisa. Bahkan ia membukakan buku menu untuk Lisa.
"Sudahlah, Jessy. Lebih baik kau cepat memesan sesuatu untuk dimakan daripada berdebat dengan anak-anak." Allan benar, Lisa hanya akan membuat keriput muncul di kulitku dan aku tidak ingin itu terjadi.
"Lagipula Lisa memang terlihat seperti anak baik, tuh," dan Allan ikut membela Lisa. Sial, mereka belum saja melihat kelakuan monster kecil itu. Aku yakin, mereka bisa kejang di tempat.
"Adam, aku ingin ini, boleh?"
Aku menoleh cepat ke arah Lisa yang menunjuk sebuah gambar daging panggang dengan saus lada hitam. Sejak kapan mereka sudah bertukar nama?!
Meskipun Lisa hanya bocah berumur lima tahun, tetap saja aku tidak terima ia mendapat semua perhatian Adam. Seharusnya aku yang mendapat semua perhatian itu.
"Hmm... kurasa itu terlalu pedas untukmu, Lisa." Adam menolak untuk bocah itu. Gayanya sudah seperti ayah yang melindungi anaknya dari makanan berbahaya.
"Aku tidak suka pedas," mendengar demikian, Lisa menggelengkan kepalanya cepat.
"Baiklah, biar aku yang memilihkannya untukmu."
Oh, heiii! Aku juga mau dipilihkan menu oleh, Adam!
Aku terlalu larut dengan mencuri pandang pada Lisa dan Adam, sampai buku menu di depanku terabaikan. Sedangkan Allan, ia tengah mengangkat tangannya ke udara, memanggil pelayan.
"Kalau begitu, biar aku yang memilih menu untuk kita."
Terserah Allan, hasrat ingin makanku juga sudah turun karena Lisa. Kenapa dia yang tidak dekat-dekat dengan Allan saja, sih?! Jadi, biarkan aku dekat-dekat dengan Adam.
Sang pelayan kulihat telah berlalu. Entah apa yang Allan pesan, aku tidak mendengar percapakannya dengan si pelayan tadi.
"Wah wah wah, belum satu jam, tapi kalian sudah seperti paman dan keponakannya." Aku menyindir Lisa dan Adam. Mereka berdua menoleh ke arahku.
"Adam sangat baik, tidak seperti Jessy. Jessy galak!" Sudut bibirku berkedut mendengarnya. Jika dalam animasi, sudah ada perempatan siku di keningku sebagai tambahan.
"Setiap hari aku dimarahi terus. Tidak boleh berisik, tidak boleh jadi Barbie, tidak boleh makan es krim."
Allan mengeluarkan semburat tawa, sedangkan Adam terkekeh kecil. Berbanding terbalik denganku, wajahku terasa panas karena malu dan sebal.
Sudah kubilang, mulut jujurnya Lisa itu kurang ajar.
"Kan sudah kubilang agar kau menjadi an-"
"Tadi sebelum berangkat, aku juga dimarahi. Padahal aku mau jadi barbie...." wajah Lisa berubah memelas. Pandai sekali mencari perhatian.
"Itu karena kau mengacak-acak lemari pakaian dan alat riasku, Lisa." Buru-buru aku menambahkan alasan sebelum dua pria yang satu meja dengan kami menganggap aku wanita yang galak.
"Lisa tidak mengacak-acak. Lisa hanya meminjam!" Bocah licik!
"Kau tidak izin padaku!"
"Jessy pelit!"
"Kau nakal!"
"Jessy galak!"
"Diam, Lissaaa!!"
"Jessy menyebalkan!"
Aaarrrgghhhhhh!
"Sudah, sudah. Jangan berkelahi di meja makan." Adam meletakkan telapak tangannya di pucuk kepala Lisa, menepuk-nepuk pelan di sana mencoba untuk menenangkan Lisa.
Dongkol luar bisa. Aku merengut dengan pipi mengembung.
"Tidak disangka, Jessy mudah terpancing oleh anak-anak. Berapa umurmu, sweetheart?" Allan menatap Lisa.
"Aku lima tahun. Tahun depan akan sekolah~" Padahal hanya ditanya umur, cih.
"Woaahh, hebat. Semoga kau menjadi insinyur, Lisa~" kali ini Allan mendoakan.
"Aku mau jadi dokter hewan~!"
Ya, ya, ya, sanah menjadi dokter hewan dan pergi ke hutan, jangan kembali!
"Permisi Tuan dan Nyonya," seorang pelayan datang dengan kereta makanannya yang didominasi oleh potongan daging segar. Tidak ketinggalan juga saus dan pemanggang mininya.
"Mari berpesta," Allan berseru.
"Yeiii pesta~!" Lisa tidak mau kalah. Ia bahkan sampai mengulurkan tangannya ke atas, kemudian bertepuk tangan dengan riang. Sedangkan aku sangat ingin membawanya pulang.
Pelayan itu pergi setelah menyalakan pemanggang, kendali meja makan pun diambil oleh Allan. Pria itu mulai mencapit dagingnya, memindahkannya satu persatu ke atas pemanggang.
"Aku mau yang tidak pedas~" celoteh Lisa dari kursinya.
"Mau kupanggangkan?" dengan baik hatinya Adam menawarkan diri.
Bukan padaku, tapi pada Lisa!
Mana mungkin Lisa menolak, sudah pasti bocah itu mengangguk setuju. Awas saja sampai Adam juga menyuapinya.
Tiga tangan memainkan daging di atas pemanggang. Tanganku, Adam dan Allan. Kami nampak fokus, seolah sedang berada dalam kompetisi memanggang daging.
Aku dan Allan melumuri daging dengan saus ada hitam, sedangkan Adam melumuri dagingnya dengan saus manis. Pasti untuk Lisa.
"Apa dagingku sudah matang?" Lisa bertanya, matanya memandang Adam penuh tanya dan harapan.
Adam pun menoleh ke samping, kemudian mengulas senyum ringan di wajah tampannya.
"Sebentar lagi hingga benar-benar matang," ucapnya.
Aku sangat iri.
Ternyata benar kata Allan di telepon tadi kalau Adam menyukai anak-anak. Jadi, ingatkan aku agar tidak membawa anak kecil lagi ketika akan bertemu dengan Adam. Tidak Lisa, tidak juga yang lain.
Aku gemas seorang diri di tempat. Mengumpati Lisa berkali kali di dalam benak. Oh, Bibi Emily, Paman Simon, jemput anakmu sekarang juga!!
"...sy?"
"Jessy?"
"Jessy?"
"A-apa?!" aku mengerjap cepat, kembali ke kesadaranku.
"Dagingmu menciut dan menghitam," Adam berbicara padaku untuk pertama kalinya hari ini.
"Pftt! Kau melamunkan apa, huh?" Allan tertawa di bangkunya.
"Aku tidak melamun, tuh," enggan aku mengakui, memalukan sekali jika mereka tahu kalau aku melamunkan Adam dan seorang bocah yang membuatku cemburu.
Iya. Aku. Cemburu.
"Ahahaha, Jessy tidak bisa memasak. Jessy tidak bisa memasak~" Lisa menyorakiku dengan senang, tepuk tangannya mengundang orang-orang untuk menatap kami. Ia membuat meja kami ramai.
"Diamlah, Lisa. Kau mau kutinggalkan di rumah sendirian?" jengkelku. Senang sakali dia mencari perhatian.
"Lisa, lihat! dagingmu sudah matang." Sepertinya Adam tidak ingin lagi ada keributan kekanakan antara aku dan Lisa. Ia mencoba mengalihkan perhatian Lisa pada hal lain, tentu saja ia tahu kalau aku tidak akan terpancing jika Lisa yang tidak memulai.
Keadaan menjadi lebih tenang ketika Adam menaruh seluruh perhatiannya pada Lisa, membuat bocah lima tahun itu tergelak tawa beberapa kali.
Sesekali Adam menyuapinya dan juga menyeka noda saus di sudut bibir Lisa! Mereka sialan akrabnya dalam kurun waktu satu jam.
"Makan, Jessy. Jangan menatap mereka seperti kau akan mengeluarkan laser dari bola matamu," tukas Allan. Ia sudah kembali memanggang daging baru. Lahap sekali makannya, seperti belum makan selama berhari-hari.
Daripada aku merana karena patah hari melihat keakraban Lisa dan Adam, aku bergabung dengan Allan. Kupastikan dagingku kali ini tidak akan gosong dan menciut. Kuabaikan Lisa dengan menanggapi obrolan Allan. Berkali-kali gelak tawa Lisa terdengar. Entah apa yang Adam perbuat atau katakan sampai Lisa tertawa geli seperti itu.
Ketika aku sudah asik mengobrol dengan Allan, tiba-tiba...
"Jessy... aku mengompol..."
Oh, Lisa dan bencana.
.
.
.
- To be continue -