Chereads / DAYS WITH MY UNEXPECTED BOSS / Chapter 15 - I'm Better Than Her! [Part B]

Chapter 15 - I'm Better Than Her! [Part B]

"Berhentilah menghina orang lain Samantha, apalagi kau tidak mengenalnya." Adam membelaku, membuat raut tidak suka wanita itu semakin parah tertuju padaku.

Apa-apaan sih, wanita itu. Aku bahkan tidak pernah bertemu dengannya ataupun tertarik untuk mengenalnya. Benar-benar seolah ingin mengibarkan bendera perang denganku.

"Aku serius Ad-"

"Cukup. Aku akan kembali." Adam berdiri spontan, kursinya berjengit menandakan kemuakannya.

"Tidak! Aku akan berhenti~" Tangan itu menyentuh Adam lagi, mencekal lengan bosku sebelum benar memilih pergi.

Terima kasih, Tuhan, aku tahu kau mendengar kutukanku untuknya.

Wanita yang Adam panggil dengan nama Samantha itu merengut, mungkin ia berpikir Adam akan merasa iba dan bersalah padanya. Nyatanya tidak, Adam terlihat masa bodoh dengannya.

Seorang pelayan dipanggil oleh Samantha, ia memesan dua minuman seolah hanya ada ia dan Adam di sana.

Aku masih tidak mengerti apa masalahnya.

Adam menambahkannya dengan menanyakan apa yang ingin kupesan. Aku sudah malas berpikir, jadi aku mengatakan pesanan yang sama dengan Adam, secangkir latte, hanya saja aku memilih latte dingin.

"Jessy, tolong catat beberapa poin penting selama obrolan ini," tukasnya penuh titah.

Dengan senang hati, Bos.

Mereka berdua mulai membicarakan mengenai bisnis. Samantha atas utusan ayahnya, katanya, menawarkan kerja sama dengan Adam dalam menangani pembangunan sebuah hotel di tanah bekas pabrik yang telah mengalami kebangkrutan.

Ayah Samantha yang membeli tanah dan pabrik itu, dan ia meminta Adam untuk mengurus bagian pembangunannya.

Diskusi mereka tidak alot seperti yang kukira. Ya, itu karena Samantha begitu menurut dengan Adam. Itu membuatku penasaran bagaimana hubungan mereka sebenarnya. Samantha jelas nampak memuja Adam, sama sepertiku, ck. Namun, Adam terlihat enggan bertemu dengannya meskipun ia tetap datang.

Ah, masa bodoh, yang penting Samantha bukan wanita yang menjadi salah satu sainganku.

Obrolan mereka berlanjut dengan Samantha mengajak Adam untuk makan siang bersama. Sayangnya Adam menolak, namun Samantha tidak ingin mengalah. Kali ini ia membawa ayahnya untuk turut serta.

Cih, bersikeras sekali, padahal sudah jelas Adam menolak di depan wajahnya.

"Katakan pada ayahmu, lain kali saja. Aku sudah berjanji akan makan siang bersama Jessy."

Aku mendongak dengan sigap. Bola mataku melebar, menatap Adam dengan pandangan terkejut. Dan senang sekaligus.

Ya, meskipun aku tahu sebenarnya ia hanya beralasan untuk menolak Samantha. Rasakan itu, wanita bodoh! Pergi sanah!

"Kau-!" netra berkilat penuh kebencian langsung tertuju padaku. Samantha menahan kalimatnya di ujung lidah. Rahangnya mengeras dan bibirnya juga berkedut.

Aku menang. Aku menang.

"Kalau begitu, aku dan Jessy pergi." Adam segera bangkit dari kursinya. Tiba-tiba tanganku tertarik, membuat tubuhku ikut beranjak.

Astaga, astaga, astaga. Tangannya menyentuh tanganku.

Inilah yang namanya jackpot!

"Adam, tidak! Tunggu, Adam-" jelas Samantha tidak terima. Samantha mencekal pergelangan tangan Adam begitu siap melangkah pergi.

Jalang ini bernar-benar tidak mengerti arti kalah dan malu.

"Tolong. Jangan mengangguku." Nada suaranya dingin dan Samantha sukses dibuat membatu. Sedetik kemudian Samantha melepas tangannya dari Adam, menghentakkan ke sisi tubuhnya karena kesal.

Adam tidak berkata apapun lagi, ia berbalik dengan masih menggenggam pergelangan tanganku.

Aku sih, senang senang saja~

Jangan tanyakan aku bagaimana Samantha setelah itu, aku terlalu malas untuk menoleh ke belakang. Lagipula pemandangan di depanku lebih menyenangkan. Aku menatap punggung tegap dan tangan berurat Adam secara bergantian, masih tidak percaya.

Genggamannya baru terlepas begitu kami tiba di samping mobil. Aku tidak rela.

"Maafkan aku." Aku tidak tahu mengapa ia meminta maaf, padahal aku senang senang saja tanganku digenggamnya.

"Tidak apa, Tuan. Saya mengerti maksud Anda."

Oh, bisakah ia memberikan satu kecupan saja daripada meminta maaf?

"Terima kasih," sahutnya singkat, bibirnya tersenyum tipis.

"Ah, kasual saja, Jessy. Kita sedang tidak di kantor. Agak lelah mendengarnya," ia melanjutkan dan lengkung bibirnya melebar satu sentimeter.

Bagus. Aku naik satu tingkat.

"...Baiklah, Adam?" alisku meninggi satu, menatapnya untuk meminta pendapat.

"Ya, itu terdengar lebih santai, Jessy." Aku membalasnya dengan satu anggukan, serta senyum berseri-seri.

Adam membukan pintu mobil, kemudian mempersilakanku masuk untuk duduk di samping kursinya.

Ini menyenangkan. Serius.

Kupikir Adam akan melarikan mobilnya kembali ke kantor, namun roda audi hitamnya berbelok memasuki pelataran parkir sebuah kafe. Benakku bertanya, siapa yang akan ia temui lagi kali ini?

Aku menoleh pada Adam saat ia tengah melepas sabuk pengamannya, "Apa kita akan menemui orang lain lagi?"

Adam menggeleng, lalu menoleh sesaat pada arloji di lengannya. Kepalanya menoleh padaku, telunjuk tangannya yang bebas mengetuk ketuk layar kaca arlojinya.

"Kita akan makan siang, Jessy. Aku sudah bilang, bukan?"

Dia tidak bercanda. Kalimatnya sebelum meninggalkan Samantha bukanlah alasan semata. Ia pandai sekali membuatku meledak karena senang.

"Kupikir, tadi itu hanya agar kau terbebas dari wanita bernama Samantha itu." Seperti apa yang ia bilang, aku akan mencoba santai.

"Haha, delapan puluh persennya benar. Dua puluh persennya karena aku merasa tak enak membuatmu bertemu dengannya."

Ya, dia menyebalkan! Terima kasih atas perhatianmu, sayang.

"Ayo keluar," sambungnya atau waktu makan siang akan semakin berkurang.

Adam keluar lebih dulu, menungguku sampai aku berdiri di depannya. Kami melangkah masuk bersama ke dalam kafe itu, interiornya dihiasi oleh warna cokelat dan gradasinya. Aroma latte tercium lembut begitu pintu dibuka.

"Setiap harinya mereka menggunakan aroma kopi yang berebeda-beda," tukas Adam tiba-tiba seolah sudah hafal jadwal pergantian aroma kafe itu.

"Wah, sepertinya mereka tahu betul bagaimana membuat pelanggan merasa tenang dan tidak bosan.

"Ya, kau betul. Pun aku tahu karena aku pelanggan aktif di sini," ia menjawab dugaanku.

Aku mengambil satu langkah di belakangnya, membiarkan Adam yang memilih di mana kami akan duduk dan makan siang romantis bersama. Aku berharap.

Ia memilih meja dengan dua kursi kosong tepat di depan konter kafe. Seorang pelayan pria dengan sigap menghampiri kami, dengan akrab menyapa Adam.

"Adam dan hari Jumat, americano dan mocha waffle, ya." Pelayan itu bahkan bukan bertanya, ia langsung mencatatnya di memo kecil.

"Ya, seperti biasa. Bagaimana denganmu, Jessy?" Adam menanyakan pesananku. Aku saja belum melihat-lihat isi menunya.

"Ia terlalu cepat datang, aku belum sampai membuka menunya." Adam terkekah, sedangkan si pelayan tertawa singkat sebelum meminta maaf.

Perhatianku teralihkan sejenak pada buku menu, melihat-lihat apa yang kafe ini miliki. Namun, sama saja seperti kafe kebanyakan, seharusnya aku tidak berharap lebih. Kupikir bisa menjadi daftar rekomendasiku agar aku bisa datang lebih sering, dan tentunya bisa bertemu Adam juga.

Enggan membuat si pelayan berdiri lebih lama di antara kami, aku memutuskan untuk memesan lasagna dan cold latte extra sugar. Pelayan itu pun pergi setelah mencatat pesananku dan Adam.

"Hei, apa aku boleh bertanya sesuatu?" ucapku tiba-tiba.

Aku masih penasaran bagaimana hubungan Adam dengan wanita gila si Samantha. Kupikir lancang jika menanyainya langsung, tetapi aku diburu rasa penasaran.

"Silakan, Jessy. Apa itu?" dengan ringan Adam menanggapi.

"Sebenarnya bagaimana hubunganmu dengan Samantha itu? Kulihat ia akrab padamu, namun kau sebaliknya."

Adam terdiam memandangku. Sial. Dia pasti juga bertanya-tanya untuk apa aku menanyakan ini.

Jadi, aku segera meralat pertanyaanku, "Ma-maksudku, ia adalah rekan kerjamu, namun mengapa kau nampak tidak senang dengan itu?"

"Bukankah kau lihat sifatnya tadi? Bagaimana menurutmu?" ia menimpalinya dengan pertanyaan lagi.

"...menyebalkan?" suaraku menciut di akhir.

"Ya, jujur saja ia memang menyebalkan, meskipun kami sudah saling mengenal sejak sekolah menengah atas. Ayahnya adalah rekan kerja ayahku."

Hm, tidak banyak informasi yang Adam berikan. Tetapi, cukup untuk menjawab tanda tanyaku.

"Oh, ya, dan kulihat...ia sangat menyukaimu," aku mencoba menggodanya.

Adam mendengus pelan, raut wajahnya langsung menunjukkan ketidaksukaan yang jelas.

"Bisakah kita tidak membicarakannya lagi?" ia meminta, raut wajahnya berubah memelas sekarang.

Aku jadi semakin percaya diri.

"Baiklah, aku tidak akan."

"Bagaimana dengan pekerjaanmu?" Topiknya biasa sekali. Ini pasti karena aku masih terbilang pekerja baru. Kuharap Adam tidak sedang menguji.

"Baik-baik saja dan semuanya menyenangkan." Sungguh aku tidak berbohong, itu semua karena bosku adalah Adam.

"Baguslah, aku jadi tidak perlu mempersiapkan asisten baru," ada nada jenaka dalam kalimatnya, ditambah ia tersenyum miring. Sepertinya ia mencoba membalas godaanku yang sebelumnya.

"Hei, apa semua bos selalu seperti itu?!" spontan aku tidak terima. Aku hanya tidak ingin digantikan. Aku tidak rela.

"Ya, karena mereka membutuhkan pekerja yang kompeten, Jessy," bosku menanggapinya dengan serius meskipun suaranya terdengar santai.

"Baiklah, aku akan berusaha!" semangat sekali aku menjawabnya.

Adam pun tertawa dan ikut menyemangatiku. Detik selanjutnya pesanan kami datang, aroma kopinya mendominasi. Kami menikmati makan siang ini berdua, diselingi obrolan ringan masih seputar pekerjaan.

.

.

.

.

.

- To be continue -