Chereads / DAYS WITH MY UNEXPECTED BOSS / Chapter 10 - Not A Little Party [Part A]

Chapter 10 - Not A Little Party [Part A]

"Bagaimana dengan dia, Jessy?!" Sharon berteriak tepat di telingaku agar suaranya terdengar lebih jelas di antara hingar-bingar musik keras di sini. Kenyataannya, suaranya nyaris membuatku tuli.

"Tidak," ini sudah penolakanku yang kesekian kalinya.

"Apa?! Tidak, lagi?! Ayolah, Jessa, ini sudah pria panas yang kedua belas, dan kau masih bilang tidak?!" Sharon menatapku dengan pandangan tak percaya. Aku memilih untuk mengabaikannya dan kembali meneguk whiskey-ku.

"Jessa!" Sharon kembali berteriak lagi. Astaga, dia benar-benar berniat merusak telingaku.

"Sudahlah, aku tidak berminat dengan semua pilihanmu. Semuanya menunjukkan wajah pria bajingan," ucapku asal. Sebenarnya aku tidak tahu bagaimana wajah-wajah dari pada pria panas yang Sharon tunjukkan padaku, aku tidak memperhatikannya dengan sepenuh hati.

"Memang kau pikir kau wanita baik-baik?" sahabatku mencibirku. Bagus.

"Memang kau pikir wanita nakal tidak menginginkan pria baik-baik?" aku membalikkan pertanyaannya.

"Siapa pria baik-baik yang mau denganmu?" Sharon memicingkan matanya padaku. Ia mulai kesal rupanya.

"Setidaknya aku tidak seperti wanita nakal lainnya."

Lainnya?

Entahlah.

"Yaa yaa yaa...Teruslah beralasan, Jessy," kemudian Sharon meneguk martini miliknya, sedangkan aku memalingkan pandanganku pada sekumpulan manusia tidak sadar di hadapanku. Melompat-melompat tidak tentu arah, saling menggesekan tubuhnya dengan orang lain tanpa rasa malu di bawah kerlap-kerlip lampu yang berputar di atas mereka.

Suasana hatiku sedang buruk, orang-orang yang awalnya akan Sharon bawa dalam rencana pesta kecilku tidak ada yang datang dengan beragam alasan, membuatku terdampar hanya dengan Sharon yang berisik dengan pria-pria pilihan asalnya. Sekarang aku jadi menyesal datang dan merelakan waktu tidurku.

Aku melirik pada Sharon, hanya ingin memastikan apakah wanita itu masih pada posisinya. Namun, ternyata tidak. Sharon sudah menghilang lebih dulu. Cepat sekali, tapi biarlah.

"Jessy!" aku mendengar seruan seseorang memanggil namaku di antara bisingnya ruangan. Penasaran, lantas aku menoleh pada asal suara yang kuyakini berasal dari pintu masuk utama.

Allan?!

Pria itu melambaikan tangannya ke arahku meminta perhatian. Wajahnya tertimpa cahaya lampung yang berputar.

Aku memang tidak jadi mengundang pria HRD itu, namun kehadirannya tiba-tiba berada di sini, dan Allan tidak sendirian. Ada seorang pria yang tidak kukenal datang bersamanya.

Begitu berhasil mendapatiku, Allan melangkah mendekat dengan pria yang bersamanya, mengekorinya dari belakang, dan aku hanya memperhatikan mereka.

Jantungku bertalu lebih cepat, napasku seolah tertahan kala sepasang manikku menatap pria yang bersama Allan lebih jelas. Wajah Adonis dengan bola mata beriris cokelat, rahang yang menggantung tegas di wajahnya, dan raut wajah tenang berhasil menghipnotisku begitu saja. Napasku masih terasa tercekat hingga mereka berdua berhenti di depanku.

"Hei, jangan menatapnya dengan tatapan seperti ingin menelannya." Aku terkesiap mendengar penuturan Allan.

"A-apa? Aku tidak menatapnya begitu," protesku menyangkal tuduhan tidak berkelasnya. Diam-diam aku merasa malu sendiri. Allan pun menyeringai seperti biasa.

"Jadi, sedang apa kau di sini, Jessy?"

"Berenang," jawabku singkat.

"Berenang? Seingatku tidak ada kolam renang di bar ini." Aku tidak tahu seberapa tingkat kebodohan Allan.

"Kau melihatku duduk di depanmu dan kau masih bertanya apa yang sedang kulakukan?" sindirku. Aku tidak tahu mengapa Allan malah tertawa.

"Baiklah, baiklah. Aku melihatmu. Oh ya, biar kuperkenalkan kalian." Allan melirik sekilas pada pria di sampingnya, sedangkan pria itu nampak sedikit terkejut begitu menangkap lirikan Allan.

"Jessy, ini Adam. Dan Adam, ini Jessy." Aku menggulirkan pandanganku pada pria yang Allan maksud dan pandangan kami bertemu.

Oh, Tuhan. Aku merasa panas. Apakah ini sebuah tanda?

"Hn, aku Adam. Senang mengenalmu, Jessy?" pria yang mengaku bernama Adam itu mengulurkan tangan kanannya padaku sebagai tanda untuk mengajak berjabat tangan.

"Sebenarnya namaku Jessica. Tapi banyak yang memilih memanggilku Jessy. Senang mengenalmu juga, Adam." Aku menyambut uluran tangannya dengan senang hati. Kami pun berjabat tangan sejenak sebelum kembali menarik tangan masing-masing. Aku tidak rela.

"Kau sendiri, Jessy?" Allan kembali buka suara.

"Sekarang? Ya, seperti yang kau lihat. Awalnya aku bersama sahabatku sebelum dia menghilang tiba-tiba." Ya, aku belum melihat tanda-tanda kemunculan Sharon. Semoga ia pergi cukup lama.

"Kalau begitu biar kami yang menemanimu," terdengar jika Allan dan Adam akan menjadi hostku, kupikir itu akan menyenangkan.

"Bagaimana jika kita pindah ke VIP?" kali ini Adam angkat suara.

Selama aku berkunjung ke bar ini, belum pernah satu kalipun aku menginjakkan kakiku di ruangan yang bahkan bisa menguras isi dompetku. Aku terlalu sayang uangku untuk hal itu.

Allan mengangguk setuju, lalu mereka menatapku meminta persetujuan. Padahal mereka bisa pergi berdua tanpa aku ikut andil.

"Sepertinya aku akan nyaman jika di-"

"Akan kutraktir," sela Adam sebelum aku menyelesaikan ucapanku. Ini benar-benar lucu, seolah dia mengerti apa yang menjadi masalahku.

"Sudahlah, ikut saja jika ada yang menawarimu kesempatan bagus, Jessy," tanpa persetujuanku, Allan menarik lenganku dan mulai melangkah menuju anak tangga di sisi Barat ruangan ini. Adam sudah berjalan lebih dulu.

Kesempatan bagus, aku akan pamer pada Sharon nanti.

Hal pertama yang kulihat begitu kami bertiga tiba di lantai atas yang menjadi ruangan VIP dari bar ini adalah sofa merah marun dengan dinding kaca blur di depannya, memperlihatkan hingar-bingar di lantai bawah tampak tak jelas dari atas. Suara permainan musik dari disk jokey di lantai bawah pun hanya terdengar samar. Untuk sesaat rasa peningku sedikit berkurang.

Aku duduk di salah satu single sofa, sedangkan Allan dan Adam menjatuhkan bokongnya di sofa berukuran lebih panjang. Tidak begitu ramai, hanya ada beberapa orang lain di counter atau di sofa lain.

"Pesanlah sesuatu yang kalian mau," Adam menatapku dan Allan bergantian.

"Aku sudah meminum tiga gelas whiskey sebelumnya. Mungkin sekarang segelas wine?" aku menatap Adam seperti sedang meminta izin.

"Hn, terserah padamu, Jessy."

Adam berpaling lagi untuk menatap Allan, ia menunjuk konter dengan dagunya sebagai isyarat. Allan menghela napas sebentar sebelum bangkit dari sofa dan berjalan menuju konter. Aku ingin tertawa melihatnya seperti anak anjing yang penurut.

Aku menegakkan posisi tubuhku. Hanya tersisa aku dan Adam di sini. Aku tidak tahu kenapa degup jantungku kembali berdetak lebih cepat. Padahal tadi aku sudah berusaha menormalkannya.

"Kau terlihat akrab dengan Allan," iris cokelatnya menatapku. Oh, aku tidak menyangka Adam akan berbicara duluan.

"Sebenarnya tidak. Bahkan aku baru mengenalnya hari ini," mengingat hal itu aku juga merasa sudah mengenal Allan sejak lama. Mungkin karena pembawaan Allan yang termasuk sok dekat walau dengan seorang yang baru dikenalnya.

"Oh, itu pasti kebiasaannya. Dia memang mudah bergaul dengan siapapun," kalimatnya ditutup bersamaan dengan kedatangan Allan. Pria itu membawa dua botol wine dan tiga gelas berkaki tinggi.

Sial, cepat sekali Allan kembali.

.

.

.

.

.

- To be continue -