Aku menggerutu tanpa sadar. Mulut sialan. Allan terkekeh menanggapi gerutuanku, sedangkan aku merengut sebal dengan cepat.
"Ayolah, santai saja. Aku bisa menjadi pemandu tur untukmu," lalu ia merangkulku di bahu. Allan terlalu seenaknya dan kurang ajar, tapi sepertinya dapat membuatku cepat akrab dengannya. Setidaknya aku harus punya satu atau dua sekutu di sini.
"Kalau begitu ayo ke cafeteria, perutku sudah meronta ingin diisi," tanpa menunggunya lebih dahulu, aku langsung menarik tangannya yang sebelumnya merangkul bahuku, menariknya agar mengikutiku berjalan lurus ke depan.
"Heii, kita mau ke mana?! Cafetaria di sebelah sana, Nona." Ck, baiklah, aku memang sok tahu.
Lalu, Allan menarik alih tanganku agar mengikutinya ke arah yang berlawanan dariku. Kami berjalan seperti seorang ibu yang menarik paksa anaknya untuk pulang. Oh, Allan benar-benar cocok sebagai seorang ibu nantinya.
Tidak, dia pria. Aku yakin ia berbatang.
Eh, entahlah, aku tidak tau karena aku belum melihatnya.
Dia terus menyeretku hingga kami memasuki cafeteria sekalipun. Ramai. Satu kata yang tergambarkan olehku. Benar-benar napsu seorang pekerja keras memang buas. Namun, ada satu meja dengan dua kursi kosong di pojok ruangan yang tertangkap retinaku.
"Ah, itu kursiku!" seru Allan sebelum lagi-lagi menyeretku. Apakah ia dulunya seorang penggembala sapi? Aku bertanya-tanya.
Salah satu kursi ditariknya, mempersilakanku agar duduk di salah satu kursi kosong, dan dia menempati kursi di seberangku.
"Kau tahu? Ini meja khususku yang sudah kupesan untuk makan siang setiap harinya," celotehnya tanpa kuminta.
"Oh ya? Curang sekali kau. Padahal kuyakin ada orang lain yang bisa lebih dulu menempati meja ini."
Diam-diam aku bersyukur karena tidak harus mengantri untuk mendapatkan meja kosong lainnya. Tidak kusangka ia memang cerdik.
"Hei, aku membayar untuk ini," sergahnya. Dasar orang banyak uang, kesalku dalam hati.
"Jadi, apakah ini hari keberuntunganku bertemu denganmu?" ekspresiku seolah-olah senang.
"Wah-wah, mungkin aku dewa Fortunamu, Jessy, boleh kupanggil begitu?" tanyanya meminta persetujuanku. Aku tidak tahu ia memiliki sopan santun untuk hal...ya...yang kuanggap sepele.
"Baiklah. Kalau begitu aku juga akan memanggilmu dengan nama kecilmu," ucapku seraya mengendikkan bahu sekali, dan dia tersenyum simpul. Cara berbicaranya yang santai lebih nyaman untukku.
"Tidak masalah, malah terdengar akrab untukku. Oh ya, kau bisa pesan sesuatu, aku akan mentraktirmu sebagai ucapan selamat datang, hahahaa..." tawanya renyah, sedangkan kedua bola mataku berbinar senang.
"Oh, Tuhan! Kau benar-benar Dewa Fortunaku!" aku pun langsung menyambar buku menu di atas meja, membalik halaman demi halaman untuk menemukan sesuatu yang menarik. Karenanya aku bisa menyimpan uangku untuk hal lain, wine misalnya. Dan malam ini mungkin aku bisa mengundangnya ke pesta kecil-kecilanku. Aku menyebutnya kecil-kecilan karena aku tak sanggup membuat pesta besar.
Oh, Jessy. Kau tau jika itu pasti butuh uang banyak? Aku tidak ingin menguras rekeningku yang sudah kuperjuangkan mati-matian.
Tidak juga, sebagian besar adalah uang kiriman Mommy.
"Jadi...apa kau sudah menentukan pesananmu?" tanya Allan tiba-tiba, membuatku terdongak menatapnya sesaat sebelum kembali menatap buku menu.
"Aku ingin ini," tunjukku pada sebuah gambar pasta dengan steak besar di atasnya. Oke, Jessy, tahan air liurmu.
"Minumannya?" tanya Allan lagi.
"Umm... ice coffee latte." Beruntung Mom tidak ada di sini, atau dia akan menceramahiku dengan artikel tidak baiknya kopi untuk kesehatan.
Allan menganggukkan kepalanya sekali sebelum menjulurkan tangannya ke udara, bermaksud meminta perhatian seorang pelayan.
"Ya, Tuan?" seorang pelayan pria muda yang kutaksir lebih muda dariku menghampiri meja kami.
"Aku ingin dua steak pasta dan dua ice coffee latte." Dia mengikuti pesananku, aku hanya mendelik padanya yang tak dibalas apapun.
"Baiklah, mohon tunggu sebentar, Tuan dan Nona," pamitnya untuk berlalu ke dapur. Mungkin.
Allan kembali menatapku, "Bagaimana dengan Bosmu?"
Bagus, kau mencoba merusak napsu makanku.
Aku memaksakan senyum manisku ini, seolah berkata jika semua berjalan dengan mulus nan indah. Aku ingin jujur, tapi tidak ingin jujur juga pada Allan. Jika aku jujur, bisa-bisa aku ditendang dengan tidak elitnya hari ini juga karena telah mencela Bosnya yang kelewat berotak miring.
Oh, memang sepertinya aku harus berbohong saat ini.
"Umm...ya. Dia menyenangkan," ucap dustaku dengan anggukan kepala yang entah mengapa aku lakukan.
"Pfftt!" Oh, sial. Dia bahkan tertawa. Apakah ini lelucon? Pasti dia menyembunyikan sesuatu dariku.
"Bagaimana bisa kau beranggapan bahwa ia Bos yang menyenangkan?" maniknya menatap jenaka padaku, sedangkan aku menatapnya dengan mata memicing.
"Ya...dia menyambutku dengan baik sebagai asisten barunya." INI ADALAH DUSTA TERBESAR.
Oh, Tuhan, mulutku telah berkata kasar.
"Oh, begitu, kah? Baguslah kalau begitu," Allan tersenyum miring di balik kalimatnya. Membuatku curiga.
Baru saja aku ingin membuka mulutku untuk bertanya satu hal padanya, seorang pelayan wanita datang menghampiri kami dengan kereta makanannya. Dasar pengganggu, celaku dalam hati.
"Pesanan Anda sudah tiba, Nona, dan Tuan Allan," tuturnya, dilanjutkan dengan menyuguhkan dua piring steak pasta dan dua gelas coffee latte.
"Selamat menikmati~" ucapnya lagi sebelum pamit pulang ke tempat asalnya.
"Oh yaโ"
"Ayo sekarang kita makan~" Allan memotong ucapanku tanpa berniat mendengar kelanjutannya, aku mendengus kesal.
Aku mengambil satu garpu dengan tangan kiriku dan mengambil satu pisau dengan tangan kananku. Tubuhku kutegakkan dan diam-diam dengan tangan kiriku aku mengukur batas antara perutku dan meja sebatas satu jengkal tertutup.
Aku sedang mengingat pelajaran table manner yang sudah kupelajari dari YouTube. Kurasa sudah benar, aku mulai mengiris steak di atas piringku.
"Bagaimana rasa steaknya?" tanya pria di depanku itu tiba-tiba.
Hei, tidakkah kau lihat jika aku bahkan belum menggigit seujung daging itu?! aku menjerit tanpa suara. Lagipula cepat sekali dia sudah mulai mengunyah makanannya.
Atau aku yang terlalu sibuk dengan mengingat table mannerku? Allan bahkan makan dengan santai, untuk apa bersusah payah dengan table manner.
"Sepertinya enak, dilihat dari kau yang sangat menikmati steak ini, Allan," aku sengaja mengangkat potongan steakku dengan pisau ke udara.
"Cobalah kau makan dulu, Jessy. Jangan menarik kesimpulan hanya dengan menatap orang lain makan, jika kau belum memakannya." Kupikir Allan benar-benar mendewakan makanan ini.
"Ya, aku akan makan," tanpa menunggu apapun lagi, aku memasukkan potongan daging itu ke dalam mulutku. Mengunyahnya pelan sembari mengecap pelan rasa yang membaur di dalam mulutku.
Allan benar.
"Umh. Kwau bewnar, iniw ewnak," komentarku tak jelas karena aku berbicara sambil mengunyah.
"Telan dulu makananmu, Jessy," sindirnya halus.
Dan akhirnya kami menikmati makan siang hari ini dengan obrolan ringan diantaranya. Allan terus mewawancaraiku mengenai masa kecilku dan keluargaku. Membuatku lupa akan pertanyaan yang sebelumnya ingin kulontarkan padanya.
Biarlah, esok hari masih ada.
Itu pun jika aku bisa hidup sampai esok hari.
Eh?
.
.
.
.
.
- To be continue -