Acara makan siang bersama ini tidaklah panjang. Selesai dengan makan siang kami, Allan pamit untuk menemui seseorang. Aku tidak tahu siapa, karena aku memang tidak ingin tahu.
Tidak enak berada sendirian di kerumunan yang masih asing untukku, aku memutuskan juga untuk pergi. Namun, aku ingin ke toilet dulu untuk merapikan diriku. Dengan sedikit touch up tentunya.
Baguslah, perusahaan ini menggantungkan papan petunjuk arah di mana toilet berada. Jadi, aku tidak harus keliling mencari di mana toilet.
Begitu aku membuka pintu toilet wanita, irisku menangkap pemandangan yang ingin membuatku muntah di tempat.
Seorang gad- wanita tengah menoleh padaku begitu aku masuk. Sepertinya dia terusik dengan pintu yang terbuka.
"Hai, pegawai baru~" sapanya dengan nada sensual. Sial, dia membuatku merinding geli.
"Er...hai juga, Nona asisten pertama."
Ya, dia gadis yang mengangkangi bosku di ruangannya tadi, yang sialnya menjadi ruanganku juga.
Aku melihat dia kembali menolehkan wajahnya ke cermin di depannya, mengoleskan lipstik merah terang ke bibirnya.
Aku bertanya-tanya apakah Bos tidak merasa pahit ketika menciumnya. Atau... siapa tahu lipstik miliknya terbuat dari cokelat atau wine yang candu? Jessy, itu tidak penting.
Tidak ada tanda-tanda ia akan kembali berbicara. Jadi, aku memutuskan masuk lebih dalam, berdiri di sampingnya untuk mencuci tangan.
Kemudian, aku mengeluarkan bedak dan lipstik merah dari balik saku jasku. Sebelum keluar ruangan Bosku, aku itu sempat membawa bedak dan lipstiku dari tas yang malah kutinggal di meja kerja.
Membubuhkan bedak sedikit di wajahku untuk menyamarkan kilap yang mulai muncul dan melajutkannya dengan menorehkan lipstik di bibirku. Tidak semerah seperti wanita di sampingku.
Sedikit aku mencuri pandang ke wanita itu yang masih saja mewarnai bibirnya yang seperti sudah berlumuran darah. Aku bergidik geli.
Berapa lama yang dia butuhkan hanya untuk memerahi bibir sok seksinya itu? Aku ingin bertanya, namun juga tidak ingin bertanya sekaligus.
Seusai dengan kegiatanku sendiri, aku berniat pergi meninggalkannya lebih dulu. Sengaja aku tidak berpamitan secara formalitas padanya.
"Aku tidak akan membiarkanmu merebut Sam."
Satu kalimat itu tiba-tiba mengalun memasuki gendang telingaku, membuat langkahku yang hampir mencapi pintu pun terhenti. Aku berbalik ke arahnya.
"Sam? Pria yang kau cumbui seharian ini?" aku bertanya kebingungan. Maksudnya si Bos, kan?
"Ya! Dia itu milikku!" dia menekankan kata terakhirnya.
"Ah, sayangnya nanti dia yang akan meninggalkanmu, tuh~" Aku dan bibir sialanku. Cih.
Matanya langsung menatapku dengan tajam, seolah-olah dengan tatapannya itu bisa membunuhku. Tapi, sayangnya tidak. Kupikir aku akan selamat.
Wanita barbar itu melangkah mendekat ke arahku dengan tangan kanannya yang terangkat ke udara. Sebelum mengetahui apa yang akan dia lakukan, aku langsung berbalik dan pergi meninggalkannya.
Maaf saja, waktuku lebih berharga daripada berurusan dengan wanita gila itu yang bahkan entah siapa namanya.
Dari balik pintu, aku mendengar ia mengumpatiku kasar. Biarlah, apa peduliku.
Aku kembali ke tempat di mana meja kerjaku berada, dan aku mendapati ruangan kosong. Mungkin Bos belum datang dan kuharap dia tidak datang.
Aku ingin cepat pulang.
Tidak tahu harus melakukan apa, aku mengeluarkan ponselku dan memainkan salah satu game di sana.
Tetris. Game yang sangat melegenda.
Belum sampai aku menekan tombol 'play' di layar ponselku, suara pintu terbuka terdengar. Bos dan wanita barbar itu telah kembali.
Tidak ingin mendapat label 'Pegawai Kurang Ajar', aku memutuskan berdiri dan menyapa mereka. Hanya sekedar basa-basi.
"Selamat siang, Tuan," sapaku semanis mungkin. Oh, lihat, wanita barbar itu otomatis menatapku sengit.
"Oh, selamat siang, Jessy. Bagaimana makan siangmu?" Bos menghentikan langkahnya tepat di depan mejaku. Matanya mengerling menggoda ketika menatapku.
"Anda memiliki perusahaan dengan cafeteria yang bagus," jujurku. Sangat jujur.
"Senang mendengarnya. Lain kali kita akan makan siang bersama, bagaimana?" aku melirik pada wanita di sampingnya.
Aku tidak mengerti di mana letak kesalahanku. Tidak bisakan dia berhenti menatapku penuh dendam seperti itu. Menyebalkan, ingin kucolok matanya dengan jari berlumuran saus cabai.
"Umm, ya. Itu terserah Anda, Tuan," jawabanku membuat wanita itu mendelik tajam lebih dari sebelumnya. Oh, Tuhan, izinkan aku untuk benar-benar menusuk matanya. Jariku semakin gatal.
"Kalau begitu, kau bisa bersantai hari ini. Pekerjaanmu mungkin akan dimulai besok."
Sial. Mengapa tidak sedari tadi ia mengatakannya dan meliburkanku. Waktuku benar-benar terbuang sia-sia. Wawancara tidak jelas, teman lama yang gila, Bos dan wanita gilanya.
Dewi Fortunaku sepertinya sedang berjalan-jalan, meninggalkanku dengan kegilaan.
"Baiklah, kalau begitu saya akan pulang saja," Bos mengangguk sebelum menarik pinggul wanitanya. Tanpa membuang waktu lebih lama, aku segera merapikan barang-barangku ke dalam tas, lalu melesat keluar ruangan dengan cepat.
Arlojiku belum menunjukkan pukul empat sore, lebih tepatnya sekarang masih pukul dua siang. Matahari sangat menyengat begitu aku keluar dari pintu utama. Aku tidak ingin pulang sekarang atau aku akan mati kebosanan di apartemenku. Namun aku juga tidak mau berlama-lama berada di luar seperti ini. Kulit mulusku akan rusak karena terbakar matahari.
Aku memutar otak, sekiranya mencari hal yang dapat kulakukan untuk membunuh waktu kebosananku ini. Dan satu ide yang masuk dalam otaku hanya 'bear'. Mungkin terlihat aneh jika aku pergi ke club di siang hari, seperti seorang pegawai yang baru saja di PHK. Lagipula, club mana yang bukan di pukul dua siang ini?
Aku menggelengkan kepala cepat. Rencana itu seharusnya kulakukan nanti malam seperti yang sudah kurencakan sebelumnya.
Oh, Tuhan dan Mom. Lalu apa yang harus kulakukan sekarang?
Dan, Hei! Mengapa aku betah berdiri di depan pintu masuk sembari merenung?!
Sial, aku tidak mendapatkan ide. Aku membawa langkahku keluar dari wilayah Blue Pacific Properties dan menunggu taksi kosong yang lewat. Pada akhirnya aku memutuskan untuk kembali ke apartemen.
Aku ingat jika aku masih memiliki persedian popcorn, cereals, macaroni, pudding, chips, chocolate, yogurt, dan spaghetti. Semua itu adalah harta karunku, pemilik hatiku. Aku bersyukur aku termasuk dalam jenis manusia yang dapat makan banyak tanpa memikirkan berat tubuhku yang akan naik.
Begitu aku sampai di depan pintu kamar apartemenku, aku menggesekkan keycard untuk membuka pintu. Hening tidak ada sapaan selamat datang seperti di California.
Aku rindu Mom dan juga Dad. Sedang apa mereka di sana? Ah, pasti Dad sedang di kantornya dan Mom sibuk dengan serial drama siangnya.
Kadang kala aku berpikir untuk mencari kekasih lagi, dengan begitu mungkin aku bisa tinggal bersamanya tanpa merasa kesepian seperti ini. Melakukan hal-hal yang menyenangkan dan...nakal bersama-sama. Hahaha.
Pada kenyataannya aku sedang malas berurusan dengan sebuah hubungan. Dua bulan lalu aku baru menendang benda kebanggakan mantan kekasihku ketika aku mendapatinya tengah memberi kissmark pada wanita jalang di club. Aku benci penghianatan.
Baiklah, aku tidak ingin mengingat si bajingan itu lagi.
.
.
.
.
.
- To be continue -