Chereads / DAYS WITH MY UNEXPECTED BOSS / Chapter 6 - Lunch. [Part A]

Chapter 6 - Lunch. [Part A]

Aku menepi sebentar di koridor, tangan kiriku merogoh saku jas dan mengambil sebuah benda persegi panjang yang sudah berteknologi tinggi di jaman ini.

Aku selalu bertanya-tanya, mengapa mereka rela menghabiskan waktu membuat benda semacam itu. Tapi, terima kasih. Kalian pahlawanku. Aku mematikan mode pesawat yang kunyalakan sebelum tiba di sini, dan puluhan notifikasi pun memenuhi layar ponselku.

Mom.

Mom.

Mom.

Mom.

Dan, Mom.

Ini gila. Mom meneleponku 67 kali dan mengirimku pesan 82 kali. Sebenarnya berapa banyak tangan yang ia punya. Mom benar-benar wanita yang tangguh, aku ingin menjadi seperti dia.

Semalam Mom memintaku untuk menghubunginya sebelum aku pergi wawancara hari ini, tetapi karena pagi yang heboh aku jadi lupa. Sebuah ikon pesan kutekan dan munculah berpesan-pesan dari Mom yang sudah seperti deretan gerbong kereta. Bahkan kalimatnya sama semua, "Sweetheart, bagaimana wawancara kerjamu?" Pasti ia hanya meng-copy paste berulang kali.

Tidak ingin membuat Mom tersayangku khawatir, aku segera membalas pesannya. Ah, mungkin juga harus menghubungi Dad juga. Siapa tahu ia akan mengirimkanku hadiah atas berhasilnya aku diterima bekerja di sebuah perusahaan.

Aku kembali mengambil langkah sembari mengetik pesan balasan, terlalu lama di koridor hanya akan membuang waktu istirahat siang ini sia-sia. Aku belum siap waktu istirahat berakhir, pasti Bos gilaku masih gila.

'Dukk!' tanpa sengaja bahuku menabrak bahu orang lain.

Belum sampai aku melihat siapa yang bertabrak bahu denganku dan meminta maaf, suara lainnya mengudara lebih dulu.

'Braakkk!' tanpa peringatan apapun, suara benda metal menghantam lantai terdengar keras. Sebuah ponsel terjatuh dan beradu dengan lantai marmer yang mengkilat. Layarnya langsung retak begitu saja.

"Monster gila!" pekikan seseorang yang sangat-sangat tidak ingin kutemui merusak telingaku. Apa-apaan dia berteriak di tengah lobi seperti itu.

"Kau mau apa, sinting?" tanyaku sengit. Aku masih berdiri dengan ponsel di tangan kiriku, balasan untuk pesan Mom belum selesai kuketik.

"Kau membanting ponselku, Jessick!" auman penuh kemarahan kembali merusak telingaku. Ini kedua kalinya dalam selang waktu beberapa detik.

Pandanganku menunduk, menatap ponsel tak berdaya di atas lantai ketika si pemiliknya sedang protes bak monyet berteriak di hutan. Si pirang itu membuat orang-orang sekitar mencuri pandangan ke arah kami, membuat kami jadi pusat perhatian. Dasar pirang sinting tidak tahu malu! Terlalu drama!

"Apa yang kau katakan? Tidakkah kau lihat aku sibuk di sini?" ya, mengetik balasan untuk Mom lebih menyibukan dari pada harus melihat wajah di pirang sinting. Itu juga tidak membuatku mual.

"Apa kau tidak tahu cara berjalan yang baik dan benar, hah?!" tiga kali ia berteriak, orang-orang yang berlalu lalang mulai berbisik dan menggeleng-gelengkan kepalanya heran. Tuhan, izinkan aku menebas kepalanya.

"Berhenti berteriak jalang tidak tahu malu," sinisku seraya kembali mengetik pesan untuk Mom. Tidak ada kalimat apapun setelah itu, yang kudengar hanya geraman dan umpatan pelan, namun penuh kekesalan.

Aku malas melihatnya. Sangat malas. Dan, semuanya terjadi begitu saja tanpa kubisa proses.

'Braakkk!!' bunyi hantaman yang lebih keras terdengar. Beberapa orang sampai terlonjak kaget dibuatnya.

Tangan kiriku telah kosong seketika. Si sinting itu membanting ponselku dengan seenak jidatnya. Bisa-bisanya setelah lama tidak saling bertatap muka, ia memberikan sambutan yang kurang ajar untuk kedua kalinya.

Tangan kiriku masih menggantung di udara, seolah masih menggenggam ponselku, sedangkan tangan kananku sudah mengepal. Jika ini di dalam animasi, aku sudah mengeluarkan api dari kepalan tanganku.

"S-s-sialan..." aku menggeram dengan mengeratkan kepalan tanganku.

'Craaackkk!' dengan cepat aku mengangkat kaki kiriku dan menghantamkannya sekuat tenaga ke arah ponsel milik si pirang di atas lantai. Aku masih belum ingat siapa namanya.

Ujung runcing heelsku memperparah kondisi ponsel miliknya. Kini layar yang tadinya hanya retak itu menjadi bolong meskipun tidak sampai menembus. Kelopak mata membulat, sama dengan mulutnya nyaris jatuh. Wajah terkejutnya terlihat jelas di bola mataku. Bukan salahku yang memulai perang, dia melempar umpan pada orang yang salah.

Tidak berhenti sampai di sana, aku lantas menyambar ponselku dengan cepat dan berlari menuju lift. Begitu lift terbuka, aku langsung masuk dan menekan tombol berangka 1. Tombol menutup pintu lift kutekan dengan beringas, aku tidak ingin si sinting yang namanya belum teringat di otakku mengejar.

Aku membolak-balikkan ponselku, memeriksa kerusakan yang diakibatkan oleh pirang brengsek. Padahal ponsel ini baru empat bulan lalu kubeli, dan sekarang berakhir mengenaskan. Seluruh layarnya pecah karena dibanting secara sengaja, dan buruknya ponselku tidak bisa menyala kembali.

Aku memaki di tempat, benakku merutuki si pirang dengan berbagai umpatan. Kemudian segera menarik napas panjang, mencoba kembali tenang hingga dentingan lift mengudara. Aku sudah tiba di lantai satu. Tapi, tunggu—

Aku teringat sesuatu. Aku masih baru di sini dan tidak memiliki teman seorang pun, mana aku tahu tentang seluk-beluk perusahaan ini. Bagaimana aku bisa sampai di cafeteria nanti?

Tidak beruntungnya, aku belum mendapat teman hari ini, malah aku harus bertemu dengan makhluk-makhluk aneh. Ini yang membuatku takut untuk bertanya pada orang lain.

Mungkinkah, hari keberuntunganku sudah berakhir, dan dewi Fortuna mengkhianatiku sehingga dia sudah kembali terbang ke kayangan?

Lagipula, tidak adakah peta mengenai denah perusaahan ini? Aku akan mengajukan proposal untuk masalah ini agar pada newbie hijau sepertiku tidak tersesat.

"Nona Ellsworth!" seseorang memanggil namaku tepat di belakangku.

Eh, benar namaku, kan?

"Nona Ellsworth?" panggilnya sekali lagi, memastikan. Aku rasa orang itu memang memanggil namaku.

Akhirnya aku memberanikan untuk menoleh ke belakang. "Ya?" sahutku merespon panggilannya.

"Ternyata benar kau," serunya senang, seperti sudah memenangkan undian lotre.

Aku mengerjap cepat, memastikan yang kulihat tidak salah, "Tuan Allan?!"

Orang yang memanggilku adalah si HRD abnormal.

Aku menangkap seringai tipis dari bibir seksinya ketika ia mendapatiku menoleh ke arahnya. Aku tak bergeming sampai dia menghampiriku, menyapaku seolah teman dekatku. Uh, padahal belum ada dua puluh empat jam aku mengenalnya.

"Senang bertemu denganmu lagi, Nona Ellsworth." Aku tidak mengerti, dia seperti seorang Casanova, tapi menurutku dia lebih baik dari Bosku tadi...atau aku yang belum melihat dirinya yang lain? Masa bodoh dengan itu.

"Aaa...ya... senang bertemu denganmu juga, Tuan," aku menyunggingkan senyumku, memberikannya senyum formal yang manis andalanku.

"Kau tampak bingung. Apa ada yang mengganggumu?" ia bertanya, tapi nadanya terdengar usil di telingaku. Apa dia sedang meledek?

YA! Bos, perusahaan ini, dan semua pegawainya membuatku ingin membenturkan kepalaku ke langit-langit.

"Aku hanya tidak tahu seluk-beluk kantor ini. Cafetaria dan sebagainya. Seharusnya mereka memberikan peta cetak atau elektronik untuk pekerja baru di kantor ini, menyebalkan."

.

.

.

.

.

- To be continue -