Ponsel Richie bergetar di saku celananya. Merogoh ke dalam kantong celananya, di lihat layar ponsel itu dari Michel.
"Halo, Bro! gue mau kasih tahu ke elo! Lusa lo bisa datang ke Surabaya?" suara seberang dari Michel satu tim artistiknya.
"Ngapain?!" balas Richie dengan suara Bas serak
"Pokoknya lo datang saja deh, ada hal penting yang mau disampaikan. Pokoknya lo bakalan suka deh! Menyangkut masa depan keluarga, Bro!"
"Nggak ada kerjaan lain saja, lo?! Mau cari bini jangan bawa gue!"
"Ta-"
Richie malah matikan ponselnya, di buang puntung rokok sembarangan tempat dari mulutnya. Hari sudah mulai sore, ia pun kembali ke rumah panti.
Di rumah telah berkumpul, ada Anita, Kevin, Izan, Mira, Renata, Rita dan Mario. Semua tengah berkumpul untuk makan bersama. Anak panti lainnya sudah di adopsi oleh orang tua angkat masing-masing, hanya Richie seorang yang tidak ingin diadopsi siapa pun.
"Richie, ayo makan!" seru Renata, Mengambil nasi untuk Richie.
Dia lebih banyak diam sejak kepergian Sisi.
Suasana rumah panti tidak seperti dulu lagi yang penuh keceriaan, sekarang menjadi kebisuan. Dia tidak ingin berargumentasi kepada siapa pun. Dia lebih memilih untuk diam dalam kebisuannya. Hanya Izan yang bisa mengajaknya untuk mengobrol meskipun selalu di abaikan olehnya.
Selesai makan malam bersama, dia pun masuk ke kamarnya. Tidak ada yang berani masuk ke kamarnya. Dia lebih banyak mengurung diri di kamar hingga raut malam menggambar wajah Sisi dari ingatannya. Setiap kekesalan, kejengkelan yang ia dapat semua digambar sketsa itu.
****
Sisi terlihat sangat cantik memakai gaun putih selutut tanpa lengan, rambutnya ia gerai serupa dengan gaun yang ia kenakan. Dandan sedikit tipis di wajahnya. Ia terlihat cantik menawan, saat berada di depan cermin.
Gea sudah berteriak sedari tadi di bawah menyuruh Sisi untuk segera turun. Para tamu sebentar lagi akan datang.
"Sisi!!! Sudah siap apa belum sih! Tamunya sebentar lagi datang?!" teriak Gea di lantai satu.
"Iya sebentar!" Sisi mengoleskan bibirnya lipstik transparan merah jambu dengan kata lain pelembab.
Kalau bukan bujukan dari Gea, Sisi juga tidak akan mau mengikuti comblang darinya. Selalu saja mengenalkan beberapa pria padanya.
"Memangnya dia tidak laku apa?" - gerutunya dalam hati.
Tak lama kemudian tamu undangan dari Gea pun datang, Gea mempersilakan tamu masuk. Seorang pria berparas wajah yang tampan, postur tubuhnya tinggi, rahang lebar dan tegas, pokoknya perfect cocok untuk Sisi dijadikan suami.
Saat Sisi akan turun dari kamarnya, sepasang mata pria itu melihat keanggunan pada wajah Sisi. Pria itu berdiri geming menatap wajah Sisi yang bersinar.
Gea sudah tahu kalau pria ini pasti, terpukau akan kecantikan Sisi. Sisi benar-benar sangat cantik. Sisi berdiri di sebelah Gea, pria itu masih tidak mengedip matanya. Sisi terlihat malu karena pria itu di depannya memperhatikannya tanpa berkutik sedikit pun.
"Ehem!" Gea menyenggol siku pria itu, "Sudah jangan dilihat begitu, adikku jadi salah tingkah sendiri loh!" goda Gea membuat pria itu senyum.
"Cakep banget!" - batin Sisi saat melihat senyuman pria itu.
"Si, ini loh yang kakak cerita tadi. Bukan minta langsung iya, kan, ya, berteman dulu. Mana tahu ada yang cocok baru deh ke pelaminan," ngegas saja nih Gea. Pria itu senyum saja sih lihat sikap Gea sama Adiknya.
"Ih... kakak, malu tahu, kecil kenapa?!" elak Sisi merasa tidak enak hati sama pria di depannya.
"Ahh... nggak usah malu. Iya, kan, Arga!" Balas Gea lirik pria itu yang bernama Arga Marwan Rindra.
"Iya!" responsnya.
"Nama Adikku, Sisi Cahaya Maharani, ayo saling berkenalan setelah itu kita makan bersama!" kepo Gea.
"Sisi," balas sambutan tangan Arga,
"Arga,"
Setelah semua saling mengenal diri, di rumah Maharani membuat suasana bercengkerama satu sama lain. Sisi terus membantah percakapan Gea. Sedangkan Arga hanya bisa senyum melihat sikap kedua wanita di depannya. Arga mengagumi kecantikan Sisi, selain itu ketekunan dalam bidang Fashion memang luar biasa. Gea memang sudah menceritakan semua kepada Arga. Gea sengaja memperkenalkan Arga pada Sisi agar bisa terbuka pada pasangannya. Selama ini Sisi tidak pernah membuka hati pada pria mana pun. Gea hanya ingin Sisi bisa mengenal dunia percintaan di usia 28 tahun seharusnya menikah.
Gea berharap Arga bisa mengambil hati Sisi, dengan begitu Sisi bisa bahagia kelaknya.
Sedangkan Richie masih mencoret pensil hitam di kertas itu. Wajah Sisi saat tersenyum membuat ia merindukannya. Penantian dari gadis kecil adalah kenangan paling menyakitkan baginya.
I Love You, Sisi