Sisi dan Arga tengah duduk di pinggiran kolam renang di temani lampu kelap-kelip berwarna, terlihat cahaya menyinari air tenang itu. Malam hari memang membuat suhu Sisi sedikit menggigil. Arga melepaskan jas baju yang melekat di tubuhnya, di kaitkan ke tubuh Sisi yang dingin itu. Sisi sedikit terkejut sikap Arga kepadanya.
"Terima kasih," senyum Sisi, Arga membalasnya.
"Aku," bersamaan mereka bersuara.
"Kamu dulu," ucap Arga, "Kamu dulu," oper Sisi.
Karena saling oper sana-sini, jadi Arga mengalah lebih dulu.
"Baiklah, aku dulu. Asal tempat tinggalmu di mana?" tanya Arga to the poin.
Sisi menoleh kejut atas pertanyaan Arga barusan. "Maaf, kalau aku sedikit lancang menanyakan asal tinggalmu, karena aku tahu Maharani tidak punya anak kedua. Jadi ...," Belum selesai Arga bicara, Sisi sudah memotong.
"Aku tinggal di kota kecil Tuban pantai tanpa nama. Apa kamu juga tinggal di kota itu?" Giliran Sisi bertanya kembali pada Arga.
"Ahh ... tidak, hanya pernah mendengar, temanku tinggal di sana," jawab Arga jujur.
"Benarkah? Memang siapa temanmu? Maaf kepo, mungkin aku mengingatnya, karena aku juga punya sahabat di sana. Sudah lima belas tahun aku dan dia pisah. Paras wajahnya saja aku tidak mengingat," Sisi tiba bercerita pada Arga. Arga menatap wajah Sisi ada yang kehilangan di dalam dirinya.
"Apa kamu merindukannya?" tanya Arga
"Iya, aku merindukannya. Saat aku di angkat dari keluarga Maharani, dia terus melarangku untuk pergi, aku masih ingat saat dia mengatakan 'aku akan menunggumu, aku tetap akan menunggumu kembali pulang! apa pun itu! aku menunggumu!' itu terus yang dia ucap sampai aku pergi meninggalkan kota itu. Komunikasiku pun hilang, karena aku telah mengecewakan perasaannya. aku tidak tahu apa aku merindukannya atau aku benar mempunyai hati untuknya. Aku pun bingung. Tahun demi tahun aku mencoba mencari rutinitas dalam kesibukan untuk mencoba melupakan rasa hati ini. Tapi, sulit, hingga semua pria datang mengenali diriku dari kak Gea, aku menolak karena rasa ini membuatku sulit berpindah lain hati," jawab Sisi menatap dua bola warna hitam pekat milik Arga.
Arga mengerti Sisi masih memiliki hati pada sahabat kecilnya, Arga tidak tahu siapa sahabat kecilnya, mungkin Arga bisa mencoba mengisi hati Sisi untuk melupakan orang yang terus menghantuinya. Apa ini dinamakan Egois.
"Maaf, kok aku jadi menceritakan masa lalu sih ke kamu, terus kegiatanmu apa saja selama di kota ini?? Aku dengar dari Kak Gea, kamu buka usaha kuliner di sini, ya?" Sisi mengalihkan topik pembicaraan,
"Tidak apa-apa keluarkan saja semua rasa kesedihanmu, aku siap mendengarkannya. Asal perasaanmu ringan. Pekerjaanku, ya, biasa saja jika ada proyek baru dikerjakannya, aku buka usaha kuliner namanya Arga Cake. Seperti namaku. Arga. Hehehe..." jawab Arga senyum dalam canda tawa. Sisi turut ikut tertawa mendengarnya.
Sisi merasa nyaman saja jika mengobrol dengan lelaki ini. Banyak kesamaan di antara mereka berdua. Membuat rasa was-was pun terlepas. Malam mulai semakin mencengkeram, Arga melihat jam arlojinya
"Sudah jam sebelas tidak terasa kita mengobrol terlalu lama, ternyata bercengkerama itu lupa pada waktunya. Kalau begitu aku balik dulu. Kapan - kapan datanglah ke kulinerku mungkin kamu suka dengan hidangan cita rasa kue buatan Arga, hehehehe ....." Seru Arga mulai bersiap pamit untuk undur diri.
"Iya, Makasih sudah mendengar ceritaku, Ah... ini jasnya Makasih sekali lagi, aku pasti datang kok ke kulinermu, Hati-hati di jalan kala-" Arga mencium pipi Sisi tiba-tiba. Membuat Sisi terdiam sesaat, degupan jantungnya berdetak lebih lambat seakan berhenti.
Arga menjauhkan wajahnya senyum pada Sisi lalu pergi begitu saja, Sisi masih diam di tempat tidak percaya apa yang dilakukan oleh Arga tadi itu seperti mimpi bukan. Mobil Arga telah keluar dari rumah parkiran halamannya. Sisi menyentuh hangat di pipinya rasa cap bibir Arga tadi. Dia jadi malu sendiri, perasaan apa yang ia rasakan tadi.
Sisi Masuk ke kamarnya, dicubit kembali pipinya ini sakit, benaran bukan mimpi. Apa maksud Arga tadi, getaran ponsel Sisi berbunyi ringtone pesan masuk di sana. Sisi mengecek nya nomor tidak ia kenal.
+6216618xxx
Maaf soal tadi.
Aku terlalu gemas dengan pipimu.
Membuatku sedikit mempunyai rasa di hati ini.
Sweet dream, My Queen.
Sisi tidak percaya dengan pesan whatsapp di ponselnya. Arga yang mengirim pesan. Degupan jantungnya semakin berdebar cepat. Wajahnya panas, segera di timbun wajahnya pada bantal itu. Dia benar tidak menyangka dengan rasa di dalam tubuhnya.
****
Dea datang ke rumah Richie, padahal Richie malas berjumpa siapa pun. Ini rujukan dari Aneta. Mau tak mau Richie pun mengiakan.
Sekarang Dea duduk di sebelahnya, meskipun jaraknya cukup jauh. Dea datang ke sini karena Izan tidak ingin membantunya lagi.
"Eh ... bang Richie, sudah makan?" tanya Dea basa-basi, Richie diam tidak menjawab masih tetap fokus dengan ponselnya.
Dea cari bahasan lain mungkin bisa direspons oleh Richi,
"Ah ya, bang Richie bisa bantu aku jadi guru Privat lukis nggak? Di sekolahku mau mengadakan lomba lukis. Cuma aku di suruh sama Ketos jadi peserta. Padahal kan aku nggak pintar amat," ucap Dea mengharap Richie mau menerima permintaannya.
Dia memasukkan ponselnya ke kantong saku celananya. Dea iming harap pasti dikabul.
"Pulang sana, sudah malam, nggak baik cewek seperti kamu datang ke rumah cowok. Kasihan orang tua mencarimu." usir Richie lalu dirinya masuk ke dalam menggubris Dea yang dari tadi mengharap cowok itu mau jadi guru privatnya.
Izan keluar mewakili Richie, Dea merenggut sia-sia ia datang kesini di cueki sama pujaan hatinya.
"Apa aku bilang, percuma kamu kejar dia. Dia saja nggak mau terima cintamu. Tuh lihat kardus indomie dua kotak darimu semua, sebentar lagi di bakar sama Bang Richie. Menyerah saja. Bang Richie cuma punya satu, cinta pertamanya," kata Izan berdiri dari duduknya kemudian ikut masuk ke dalam rumah.
Dea merenggut menatap kardus indomie itu, "Aku pastikan kamu jatuh cinta padaku apa pun itu!" - batin Dea dalam hati.
Dea pun telah pulang ke rumahnya, di sana Izan mendengus kasar menatap Mira sang adiknya yang masih kecil sedang menikmati susu hangat dari ibunya.
"Semoga kamu juga jangan kayak dia, ya, dek. Jadi wanita karier saja. Cinta itu bisa datang kapan saja tanpa harus mengejar." gumam Izan menyelimuti Mira yang masih tidak mengerti apa itu cinta.