•-----•
Bicarakan kalau ada yang perlu diselesaikan. Sebab, diam tak merubah apa-apa.
•-----•
"Aisyah, sampai kapan kamu akan seperti ini? Aku tau kamu kembali ke sini karna Jeffry kan?" ucap Fathan.
Hari ini adalah hari ke tujuh, Aisyah menetap di apartemennya yang ada di Jakarta Selatan.
Fathan dan Aisyah sedang buka puasa bersama di sebuah restoran yang tak jauh dari apartemen. Itu permintaan Aisyah.
"Jangan sok tau, Fath. Aku ke sini karena ada urusan kerjaan," bantah Aisyah.
Waktu sudah menunjukkan pukul 19.00, Aisyah dan Fathan sudah melaksanakan sholat Maghrib sebelum makan tadi.
"Udahlah, Aisyah. Aku udah tau semuanya. Jeffry udah cerita sama aku, kalau kamu bilang sesuatu ke Khuma." Fathan mendengus sebal.
Laki-laki itu tak habis pikir dengan wanita di depannya itu. Bagaimana bisa, Aisyah --wanita yang Fathan cintai dengan tega ingin menghancurkan pernikahan adik tercintanya. Fathan tak akan tinggal diam.
Aisyah menyunggingkan senyumnya. "Oh, ternyata adikmu itu tukang ngadu juga ya. Pasti dia cerita yang macam-macam sama suaminya."
Hampir saja Fathan lepas kontrol. Dia mengepalkan tangan yang ada di bawah meja, dan mengembuskan napas pelan.
"Kamu emang sahabat aku dan Jeffry. Kami juga sayang sama kamu, Aisyah. Tapi, apa yang kamu lakuin ini nggak akan bisa aku maafin."
Aisyah menatap Fathan. "Siapa juga yang minta maaf? Emangnya salah aku apa? Salahin aja tuh cinta!" sahutnya tak terima.
"Cinta nggak salah! Tapi orang yang merasakan dan cara mengekspresikannya yang salah! Termasuk kamu, Aisyah!" sahut Fathan dengan lantang.
"Sepertinya, aku telah salah mencintai orang selama ini...
... aku tau perasaan kamu ke Jeffry. Tapi, aku selalu berpikir positif tentangmu Aisyah. Aku percaya kalau kamu nggak akan mengubah rasa kagummu terhadap Jeffry menjadi sebuah obsesi."
Fathan mengusap wajahnya, lalu kembali menatap Aisyah. "Tapi aku salah... ternyata cinta yang kamu punya itu udah berubah jadi obsesi."
"Ya udah, aku nggak minta buat kamu cinta sama aku. Karena percuma, aku nggak akan ngeliat ke arah kamu sedikit pun. Hati aku udah dibawa pergi sama Jeffry!" sahut Aisyah dengan perasaan yang begitu menyakitkan.
Ada apa dengan Aisyah sebenarnya? Benarkah kini wanita itu terobsesi dengan suami orang lain? Yang tak lain adalah Jeffry, suami Khuma --adik Fathan.
Tapi, Fathan tahu. Dia sangat mengerti dengan sikap Aisyah sekarang. Fathan pun hampir saja terbawa oleh permainan Aisyah. Wanita itu hanya tersesat oleh perasaan yang dimilikinya.
"Hentikan semua ini, Aisyah! Aku tau, kamu nggak akan tega ngelakuin hal kayak gitu ke Khuma apalagi Jeffry. Mereka udah menikah. Kamu nggak bisa masuk dan jadi orang ketiga di antara mereka."
Aisyah diam tak bergeming. Sorot matanya menunjukkan bahwa wanita itu terlihat lelah. Singkat saja, Aisyah hanya ingin pembuktian dari Jeffry. Setelah semua yang dia lakukan hanya untuk laki-laki itu.
Namun, Jeffry hanyalah laki-laki yang memiliki pandangan lurus. Jika dia sudah mencintai satu orang wanita, dia tak akan mengizinkan siapa pun masuk ke dalam perasaannya. Aisyah sekali pun --sahabat baiknya.
Mustahil memang ada laki-laki seperti Jeffry dalam kehidupan ini. Tapi itulah kenyataannya. Bila Jeffry sudah kecewa, menjadikannya teman pun dia tak akan bisa walau sudah dimaafkan.
Ya, Jeffry kecewa dengan Aisyah. Dia sudah menganggap Aisyah sebagai adiknya sendiri tapi karena perasaan yang Aisyah miliki dan tujuan tak baiknya, membuat Jeffry tak ingin mengenalnya lagi.
"Fath...
... apa susahnya buat bilang, aku sayang kamu?" ucap Aisyah tiba-tiba.
Fathan menyerngitkan dahi. "Apa maksudmu?"
"Iya... kenapa Jeffry nggak pernah bilang kayak gitu ke aku? Sayang sebagai sahabat juga aku nggak masalah." Aisyah kembali menyesap minuman jus jeruknya.
"Kamu pikir Jeffry itu seperti apa? Mana mungkin dia mengatakan hal itu, sama aja dia ngasih harapan lebih ke kamu Aisyah...
... Itu alasannya. Dan kamu harus tau, tanpa Jeffry bilang sayang ke kamu sebagai sahabat tapi dia membuktikannya dengan perbuatan! Kamu lupa? Apa ini yang kamu bilang cinta? Nggak Aisyah!"
Menghela napas panjang, Aisyah menatap Fathan. "Kamu sendiri gimana?"
"Aku? Kenapa sama aku?" sahut Fathan yang kembali bertanya.
"Iya, kamu. Aku tau kalau kamu suka sama aku. Emangnya kamu nggak sakit hati liat aku yang terus-terusan ngejar Jeffry?"
Deg!
Pertanyaan yang membuat Fathan diam tak bergeming. Laki-laki itu belum siap untuk ini. Tapi, mau bagaimana lagi? Mungkin inilah saatnya Fathan menyelesaikan perasaan yang dia punya untuk Aisyah.
"Sakit hati? Nggak. Tapi kecewa."
Fathan menjeda ucapannya beberapa detik. Tatapannya pada Aisyah tak lepas hingga Aisyah sendiri yang mengalihkannya dengan menatap arah lain.
"Kecewa sama aku?" tanya Aisyah.
Fathan menggelengkan kepalanya. "Nggak. Tapi kecewa sama diri aku sendiri. Nggak seharusnya aku menaruh harapan lebih ke kamu. Aku terlalu percaya diri, kalau kamu akan melihat ke arahku dan melupakan obsesi kamu ke Jeffry."
"Tapi, justru malah buat aku makin sayang ke kamu Aisyah. Aku nggak mau kecewa untuk kedua kalinya dengan berhenti mencintai kamu."
Kali ini, Aisyah yang dibuat membeku di tempatnya. Wanita itu tak menyangka dengan jawaban Fathan. Niat awal ingin membuat Fathan berhenti mencintainya, tapi malah sebaliknya.
Aisyah menatap Fathan, dengan tatapan yang sulit diartikan. Membuat Fathan diam-diam merasa lega sebab dia tahu kalau Aisyah masih bisa ditarik kembali dan diarahkan ke jalan yang lebih baik.
•-----•
Di sisi lain.
Di ruang makan, Jeffry dan Khuma sedang makan malam setelah pulang sholat Tarawih. Mereka berdua makan dengan suasana hening, tak ada obrolan seperti biasa.
Entah kenapa, Khuma merasa kalau dirinya sering kali lelah akhir-akhir ini. Padahal puasa baru berjalan sekitar satu minggu.
"Sayang... kamu kenapa?" tanya Jeffry yang tak tahan dengan suasana canggung ini.
Khuma menggelengkan kepalanya. Lalu kembali mengaduk-aduk makanannya tanpa niat dimakan.
Jeffry dibuat heran dengan sikap Khuma yang tak biasanya seperti itu. Dengan sabar, Jeffry mencoba membuat sang istri mengatakan apa yang dirasakannya.
"Kenapa makanannya nggak dimakan? Mau makan diluar?" tanya Jeffry kembali.
Bukannya menjawab, Khuma malah meletakkan sendok dan beranjak dari duduknya. "Nggak mas. Aku udah kenyang. Maaf ya, aku ke kamar duluan."
Tanpa menungu jawaban Jeffry, Khuma melangkahkan tungkainya menuju kamar di lantai dua. Dengan perasaan campur aduk, Khuma juga tak mengerti dengan sikapnya sekarang.
Jeffry pun kehilangan selera makannya. Bahkan dia sampai berpikir, semua ini ada sangkut pautnya dengan Aisyah. Apa jangan-jangan wanita itu mengatakan hal yang macam-macam pada Khuma.
Tak ingin ada kesalahpahaman, Jeffry akhirnya memutuskan untuk menyusul Khuma ke kamar. Tapi sebelum itu, dia membersihkan meja makan dan mencuci piring.
Di dalam kamar, Khuma langsung merebahkan dirinya di atas kasur. Dia menatap langit-langit tanpa tahu memikirkan apa. Namun, tiba-tiba saja kedua matanya mengeluarkan bulir-bulir bening --air mata.
"Lah, kenapa malah nangis? Aku kenapa sih?" gumamnya.
Khuma mengubah posisinya menjadi duduk menyilang di atas kasur. "Mas Jeffry mana lagi? Kenapa nggak nyusul aku? Apa dia marah?"
Perasaan sensitif, penuh kekhawatiran. Itulah yang dirasakan oleh Khuma sejak tadi. Bahkan dia malas untuk sekedar bergerak dari tempatnya. Rasanya ingin marah tapi tidak tahu pada siapa.
"Kangen bunda..." rengek Khuma tiba-tiba. Dia mengambil guling yang ada di sampingnya dan memeluknya.
Khuma menangis.
Menit berikutnya, Jeffry masuk ke dalam kamar dan terkejut karena istrinya sedang menangis tersedu-sedu.
"Ya Allah, sayang kamu kenapa?" Jeffry menghampiri Khuma dan duduk di sisinya.
Khuma yang sedaritadi menyembunyikan wajahnya di guling, kini mendongak dan menatap Jeffry. "Kamu kenapa lama banget nyusul akunya?"
"Maaf sayang, mas abis beresin meja makan dan nyuci piring... kamu kenapa, hm?" sahut Jeffry.
Bukannya menjawab, Khuma malah memeluk Jeffry dengan sangat erat. "Aku kangen masa..."
"Sama bunda? Mau ke rumah bunda?"
Khuma menggelengkan kepalanya. "Tadinya kangen bunda, tapi sekarang kangen kamu aja mas. Aku kangen..." Perempuan itu kembali menangis.
Masalahnya, Khuma menangis tersedu-sedu seperti sudah sangat lama tidak bertemu. Ada apa dengan Khuma?
"Kenapa malah nangis? Mas udah di sini kan, lagi dipeluk kamu nih... udah ya jangan nangis," ucap Jeffry mencoba menenangkan Khuma dengan membalas pelukannya.
Detik berikutnya, Khuma melepaskan pelukannya. "Aku juga nggak ngerti kenapa aku kayak gini. Besok, kamu nggak usah masuk kerja ya mas? Aku mau sama kamu terus..."
"Aku -aku nggak mau ditinggal sendirian. A—" Khuma tak melanjutkan ucapannya. Dia diam sebentar dan membuat Jeffry bingung.
Baru saja Jeffry ingin bertanya, Khuma sudah berlari ke kamar mandi yang ada di ruangan tersebut.
Hoek!
Hoek!
Hoek!
Jeffry pun menyusul Khuma dengan perasaan khawatir yang teramat. "Sayang... kamu nggak apa-apa?"
"Buka pintunya, jangan dikunci!" teriak Jeffry saat menyadari pintu kamar mandinya dikunci.
Tak ada jawaban dari Khuma, yang terdengar hanya suara air keran dan Khuma yang muntah-muntah. Jeffry takut sesuatu terjadi pada Khuma.
"Apa Khuma sakit? Ya Allah saya harus gimana?" Jeffry sedikit panik.
Tanpa berpikir lama, Jeffry langsung menghubungi Mama Syifa --ibunya.
"Assalamu'alaikum, ma. Tolong Jeffry."
"Wa'alaikumsalam. Ada apa nak? Kenapa suara kamu seperti khawatir?"
"Jadi gini, Khuma lagi muntah-muntah di kamar mandi. Pintunya dikunci, Jeffry khawatir. Jeffry harus apa ma?"
"Istrimu sakit? Dobrak aja Jeff kalau nggak dibuka juga, bawa dia ke rumah sakit. Besok mama ke rumah kamu. Atau pakein aja minyak kayu putih di tengkuknya dan dipijet pelan-pelan."
Baru saja Jeffry ingin menjawab ucapan sang Ibu di telepon, terdengar suara knop kunci pintu akan terbuka.
"Iya ma, udah dulu ya."
Setelah mengucap salam, Jeffry meletakkan ponsel di nakas samping pintu kamar mandi.
Khuma membuka pintu kamar mandi sepenuhnya. "Mas..." panggilnya.
"Iya sayang, kamu kenapa? Ayo duduk dulu sini," sahut Jeffry lalu memapah Khuma agar duduk di tepi ranjang.
"Kita ke dokter ya sayang..."
Khuma menggeleng lemah. "Nggak mau. Kebanyakan nangis doang aku makanya muntah."
"Ya udah tunggu sebentar, mas ambilin air hangat ya?"
Lagi, Khuma menggelengkan kepala sekali. "Nggak usah. Aku cuma mau tidur aja, tapi sambil dipeluk sama kamu ya mas."
"H-hah?" Jeffry setengah tak percaya. Tak biasanya Khuma seperti ini.
"Kamu nggak mau? Ya udah, aku tidur sendiri."
Jeffry menghela napas. "Astaghfirullah, salah lagi mas tuh..."
Khuma menarik selimut dan menyembunyikan wajahnya. Dia kembali menangis.
Jeffry yang menyadari itu langsung merangkak ke atas kasur dan merebahkan dirinya di samping Khuma. Tanpa kata-kata, Jeffry memeluk sang istri menyamping dengan mesra.
Khuma yang mencium aroma tubuh suaminya itu langsung menoleh dan mengubah posisinya menjadi menghadap Jeffry. Dia menelusupkan wajahnya pada dada bidang milik laki -laki itu.
Menyunggingkan senyum. Jeffry memeluk Khuma gemas. "Mas nggak tau kamu kenapa. Intinya mas mau manja-manjaan sama kamu. Sini, jangan jauh-jauh tidurnya."
Seperti mengetahui keinginan Khuma, Jeffry memeluk istrinya itu sambil mengusap punggungnya pelan.
"Jangan lupa baca doa ya sebelum tidur.. mimpi indah bidadari surgaku," ucap Jeffry setelah mengecup kening Khuma.
Mereka berdua pun akhirnya tertidur sambil berpelukan.
•-----•